MASIH WARNING 21+
RANDITA
Aku sadar saat ini sedang apa bersama Revano. Ini bukan pertama kalinya aku b******u dengan seorang pria. Tapi, saat bibir Revano menyentuh lembut bibirku, seketika itu kewarasanku hilang. Apalagi saat tangan Revano bergerilya di balik blouse yang aku kenakan. Aku membiarkan dan menikmatinya saja. Erangan dan desahan yang lolos dari bibirku semakin menyulut gairahnya, aku tahu. Tapi aku tidak bisa berhenti. Ini terlalu memabukkan.
Entah apa yang menyebabkanku jadi begini. Bagaimana mungkin aku bisa begitu jatuh pada pesona seorang anak SMA? Bahkan kini aku sudah tidak mengenakan apa pun lagi, kain penutup yang melekat ditubuhku entah Revano buang kemana.
Tatapan Revano menggelap. Gairahnya tampak sudah memuncak.
"Randita, kamu yakin akan melakukan ini denganku?" tanyanya dengan suara serak.
Aku hanya mengangguk sebagai tanda persetujuan. Kali ini aku yakin.
"Kamu nggak akan menyesalinya?"
"Aku akan menyesalinya kalau kamu berniat meninggalkan aku."
"Aku nggak akan ninggalin kamu, asal kamu mau menungguku."
"Berapa lama?"
"Aku janji setelah lulus akan belajar dengan baik, dan memastikan akan lulus sarjana tidak lebih dari tiga tahun."
"Wow, memangnya kamu begitu jenius?"
"Entahlah. Tapi orang-orang bilang begitu."
"Jadi setelah itu, apa yang akan kamu lakukan?"
"Menikahimu."
"Kalau gitu aku akan menunggumu. Tapi, kalau kamu nggak datang gimana?"
"Aku pasti datang asal kamu nggak lari menjauh dariku."
"Revano."
"Ya?"
"Aku mencintaimu."
"Cintaku sama kamu lebih besar dari yang kamu tahu."
Bersamaan dengan itu, dia mengangkat tubuhku dan membawaku masuk ke dalam kamar.
***
Setelah pelepasan terakhir kami, Revano ambruk di sebelahku. Napasnya memburu. Aku tersenyum melihat wajah lelahnya. Perjuangan banget membuatku tetap rileks. Aku takjub sih, untuk ukuran remaja delapan belas tahun seperti dia bisa jago main di atas ranjang. Sampai membuatku kewalahan dan mencapai pelepasan berkali-kali. Entah dia belajar di mana.
Setelah napasnya kembali teratur, dia merengkuhku dalam pelukannya.
"Randita, itu tadi sakit nggak? Kamu mengeluarkan darah," tanyanya.
"Sakit dan perih. Aku nggak yakin besok bisa jalan atau enggak."
Revano langsung menjauhkan kepalanya dan melihatku. "Kamu serius?"
"Iya, rasanya punyamu masih mengganjal di dalam sana."
"Lalu gimana dengan kerjamu besok?"
"Ya, aku tetap harus berangkat, besok sekolah terakhir di Jakarta sebelum aku tour keluar kota."
"Apa? Kamu kok nggak bilang mau keluar kota sebelumnya."
"Sekarang aku sudah bilang kan?"
"Kemana aja?"
"Banten, Bandung, Bogor, Semarang, Jogja, Surabaya, Bali dan Makassar."
"Astaga banyak sekali? Dan selama itu kamu ninggalin aku?"
"Nggak ada sebulan kok."
"Berarti sebelum Kamu tour keliling Indonesia, aku harus sering menghabiskan waktuku bersamamu, sebagai ganti waktu yang sebulan itu."
Aku terkekeh. Revano itu lucu dan ganteng. Pemikirannya kadang juga tidak bisa aku duga.
"Revano."
"Ya?"
"Apa tadi itu bukan yang pertama buatmu?"
"Kenapa kamu bisa berpikir begitu?"
"Entahlah, aku merasa... Kamu sudah ahli melakukannya."
Revano terkekeh. "Aku laki-laki jadi wajar dong kalau terlihat ahli. Lagi pula kalau laki-laki kan dianugerahi mimpi spesial sama Tuhan."
"Jadi, bukan karena kamu sering melakukannya?"
"Astaga, Randita. Aku nggak mungkin melakukannya sembarangan. Tapi aku berani bersumpah, kamu lah yang membuatku nggak perjaka untuk pertama kalinya."
"Wow, aku tersanjung."
Revano menatapku lalu mengecup pelan dahiku.
"Aku minta maaf, Randita. Tapi, kamu bisa pegang kata-kataku. Aku nggak akan sedikit pun lari darimu. Bahkan seandainya suatu saat kamu akan mengusirku, aku akan tetap datang."
"Kenapa aku harus mengusirmu?"
"Itukan seandainya, Sayang."
Aku tersenyum lalu memeluknya erat. Jika pun hal terburuk itu terjadi, pasti akan ada alasan yang masuk akal di balik itu semua. Meskipun aku belum tahu bisa selamanya bersama Revano atau nggak. Aku harus mempersiapkan segala resiko yang akan terjadi. Karena aku tidak tahu di depan sana ada hal apa yang menanti.
"Kenapa kamu liatin aku begitu?" tanya Revano mencolek hidungku.
"Kamu ganteng banget," jawabku membuatnya tertawa.
"Lalu apa kamu mau kita bercinta lagi?"
"Nggak gitu juga kali, Van."
"Aku sih mau-mau aja kalau diajak lagi. Rasanya memang nagih."
"Mau kamu! Aku lapar sebenarnya, tapi aku kesulitan bergerak."
"Kamu lapar? Biar kamu di sini saja. Aku akan mencarikanmu makanan. Duh kasian banget sih pacarku sampai kelaparan."
Revano buru-buru menyingkap selimutnya. Lalu dia mencari celana dan bajunya yang mungkin berceceran antara kamar dan ruang tengah.
Dari tempatku merebahkan diri, kulihat dia memakai celananya dengan cepat. Tubuh Revano memang tidak sekekar Pak Kevin, tapi itu cukup kokoh bagiku. Dan sepertinya mulai malam ini aku akan menyukai bahu lebar dan punggungnya itu.
"Aku keluar sebentar yah."
Dia pamit setelah memakai celananya, kaos yang tadi dia kenakan mungkin ada di ruang tengah tadi.
***
Meskipun ada sedikit rasa takut, aku mencoba mendamaikan hatiku. Meyakinkan bahwa yang aku lakukan ini bukan hanya emosi sesaat. Aku melakukannya dengan Revano karena memang aku ingin dan aku nggak akan menyesal. Ini pilhanku. Bahkan, saat dulu berpacaran dengan para mantanku, aku tidak sampai seperti ini. Sulit dipercaya, tapi memang semua sudah terjadi.
Di pekerjaanku tadi, aku sempat tersulut emosi pada Pak Kevin. Aku menghormatinya sebagai atasan, tapi tidak dengan sikapnya yang jelas-jelas meremehkan pilihanku soal lelaki yang menjadi kekasihku. Katakanlah aku gila, kurang waras karena berpacaran dengan seorang pelajar. Tapi aku sungguh menyukai dan menyayanginya.
Yang aku dan Revano rasakan beneran tulus. Bersama Revano aku bahagia. Jadi, apa ada yang salah? Jika tidak ada yang sependapat, aku menghargai. Tapi tidak jika lantas ikut mencampuri urusan pribadi kami seperti Pak Kevin.
"Memangnya apa yang kamu harapan dari bocah seperti dia, Randita?"
Pertanyaan yang memicu emosiku pada manajer di kantorku bekerja. Dia itu terlalu sibuk mengurusi perihal pribadiku. Aku tahu, mungkin dia hanya, sedang merasa cemburu atau merasa kalah saing dengan anak belasan tahun untuk menarik perhatianku. Aku nggak nyangka kabarnya jadi cepat sampai ke telinganya. Meskipun masih simpang siur. Karena aku masih tidak mau mengakui soal ini.
"Saya rasa mengenai itu Pak Kevin tidak perlu tahu deh."
"Aku heran aja sama pilihan kamu. Kamu nggak lagi mabokkan saat menerima dia? Randita, di sini jelas-jelas ada aku yang lebih segalanya. Kok malah kamu pilih anak baru kemarin sore yang kencingnya belum tentu lurus."
Dari sini, emosiku mulai mencapai ke ubun-ubun. Dia jelas-jelas sedang meragukan pilihanku dengan cara, merendahkan Revano. Jelas, aku tidak terima. Memangnya siapa dia berani mencampuri dan mengomentari pilihanku?
"Bapak sebaiknya ngaca dulu deh sebelum bicara begitu sama saya. Apa Bapak pikir setelah mengatakan itu hati saya akan berpaling ke Bapak. Enggak akan, Pak. Lagi pula memangnya Bapak tahu kabar yang sebenarnya gimana? Bapak jangan asal menjelek-jelekkan orang lain. Jadi, kenapa saya tidak pernah mau pilih Bapak, tahu kan alasannya sekarang? Karena secara nggak langsung Bapak sedang memberitahu pada saya siapa diri Bapak yang sebenarnya."
Aku sudah tidak peduli sedang berhadapan dengan siapa. Aku paling nggak, suka ranah pribadiku diusik apalagi oleh orang yang sok tahu macam Pak Kevin. Mungkin dia tidak menyangka aku akan semarah itu. Sehingga waktu aku pulang tadi, dia mengejarku untuk meminta maaf dariku. Aku masih kesal padanya. Jadi, aku memutuskan mendiamkannya. Aku hanya akan bicara padanya jika itu menyangkut soal pekerjaan saja.