WARNING 21+ TOLONG YANG DIBAWAH ITU SKIP.
REVANO
Hari ini Randita pulang pukul tujuh malam. Sebelum maghrib gue sudah berada di rumah Rio. Gue nggak mau Randita menunggu lama.
"Sekarang mah kayaknya lo rutin banget ya antar jemput Randita," komen Rio saat gue datang.
"Ya wajar dong, kan gue cowoknya. Kalau lo yang jemput Randita baru nggak wajar!"
"Njir, ngegas aja lo kalo ngomongin Randita."
"Lagian omongan lo nggak guna banget."
"Iya,iya, tau gue yang udah jadi pacar Randita mah."
Gue tersenyum miring. Rio hanya sedang iri saja melihat gue yang punya wanita sesempurna Randita.
"Btw Meta telepon gue masa, dia tanya apa bener lo jadian sama Randita."
Belum puas rupanya sama jawaban gue waktu itylu, cewek itu mencari kebenaran dari orang lain. Apa dia pikir gue ini tukang ngibul?
"Terus lo jawab apa?"
"Ya gue bilang apa adanya. Meskipun dalam hati gue kasian sama dia. Met, Met, kenapa sih lo nggak suka gue aja? Kalo lo nembak gue, dengan senang hati pasti gue terima."
Gue rasa Rio sudah nggak waras lagi. Arloji yang gue pakai sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Daripada gue nemenin Herio yang lagi gabut mending gue langsung cabut aja ke kantor Randita.
"Gue boleh ikut nggak, Van?" tanyanya ketika gue sedang memakai jaket.
"Enggak."
"Gue nggak ada kerjaan nih di rumah."
"Mending lo belajar deh, biar ujian fisika lo dapat nilai A+."
Rio manyun seketika, pasalnya dia belajar sampai ngesot-ngesot juga nilai fisikanya tidak pernah lebih dari angka tujuh. Berkurang mungkin iya.
"Lo mah manusia super tega."
Modus minta kenalan. Rio itu lidahnya nggak mau berhenti bersilat. Kalau mulutnya sudah kebuka, dia bakal nyerocos terus nggak ada capeknya. Daripada telinga Randita bermasalah, mending gue nggak ijinin dia ikut.
"Pacar lo mana?"
"Udah gue putusin nyokap bokap nggak ngebolehin gue pacaran sebelum lulus."
"Wah,bener banget tuh. Biar lo bisa fokus."
"Fokus apaan yang ada gue gabut terus. Nggak lihat nih bibir gue udah pecah-pecah gini? Lama nih gue nggak cipokan."
Gue memutar bola mata malas. Mungkin dia terbiasa melakukan itu sehari sepuluh kali, jadi sekalinya nggak disentuh panas dalamnya kambuh.
"Cipokan aja sama puddle elo."
"Sialan! Masa gue disuruh cipokan sama anjing, najis."
"Daripada sariawan?"
"Ya mending sariawan lah, njir."
Tawa gue meledak. Akhirnya gue bisa tertawa lepas juga. "Udah, ah. Gue cabut ntar telat."
Ketika gue baru mau masuk lobi, terlihat Randita setengah berlari menuju ke arah gue. Sedang tidak jauh di belakangnya ada seorang lelaki yang gue lihat tempo hari bersama dia. Dari tempat gue berdiri lelaki itu melihat ke sini. Tatapan kami sempat bertemu. Siapa dia? Sorot matanya tajam, seakan mengajakku berperang.
"Ayo, Van. Kita pulang. Aku udah capek." Randita yang sudah dekat denganku langsung menyambar tanganku dan menggeretnya agar segera keluar dari lobi. Gue nurut saja, dan sebelum benar-benar keluar dari lobi, gue sempatkan kembali melihat lelaki itu. Ternyata dia pun sama, masih saja melihat ke arah gue. Sialan! siapa lelaki itu?
"Langsung pulang atau mau makan dulu?"
"Pulang saja."
"Oke."
Di perjalanan pulang, Randita lebih banyak diam. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Lalu ketika kami sampai ke apartemen pun, dia menyuruh gue untuk langsung pulang. Alasannya capek. Jelas gue nggak percaya gitu aja dong. Gue memaksa mampir ke unitnya.
"Ada yang ingin kamu ceritain?" tanyaku setelah berhasil membawanya duduk di sofa.
"Nggak ada, Van. Aku cuma capek."
Gue menatap wajahnya dari samping beberapa saat. Ada yang dia sembunyikan, gue tahu. Gue nggak akan maksa dia bicara, tapi gue akan membuatnya nyaman lalu bicara. Gue membalikkan badannya hingga punggungnya membelakangi posisi gue duduk.
"Kamu mau apa, Van?"
"Rilex, ok? Aku tahu kamu capek."
Perlahan kedua tanganku menyentuh bahunya dan memijatnya. Randita tampak diam saja, artinya dia menikmati. Dari bahu, turun ke lengan. Lalu kedua ibu jari gue buat gerakan memutar di bagian tulang belikatnya. Randita masih diam. Tanganku memijat di area tengkuk lalu kembali menyusur ke bahu dan lengan.
"Gimana merasa enakan?" tanyaku setelah itu. Dia mengangguk dan memutar badannya kembali menghadap gue.
"Kamu ada bakat jadi tukang pijat ternyata."
"Ya,kata mama tanganku ini tangan dewa. Sekali sentuh segala macam capek hilang."
Randita terkekeh. "Aku merasa beruntung sekarang tangan dewa itu jadi milik aku. Jadi, kalau aku capek tidak perlu bayar tukang pijit lagi."
"Sendika dawuh Putri." Gue membuat gerakan menunduk hormat. Randita lantas tergelak.
Wajah ceria dan cantiknya yang sempat hilang tadi kembali lagi. Begitu berhenti tertawa dia mendekat, dan tanpa gue duga dia duduk di pangkuan gue, menghadap gue. Kedua tangannya melingkari leher gue. Dilihat dari jarak sedekat ini Randita sangat cantik. Matanya bulat dengan bulu mata yang lebat. Hidung kecilnya meruncing, bibir merahnya juga sangat.... seksi menggoda. C
"Revano," panggilnya menatap gue. Suaranya serak-serak basah. Sial! Kenapa gue jadi mikir yang enggak-enggak?
"Hmm," sahut gue menelan ludah gugup.
"Kamu sudah pernah ciuman belum?"
Pertanyaan macam apa itu? Ciuman pertama gue, mantan gue yang merebutnya.
"Sudah."
"Oya? Sama siapa?"
"Mmm, aku lupa. Emang itu penting ya?"
"Sepertinya sudah banyak cewek yang kamu cium ya?"
"Ya nggaklah. Tapi gue pernah punya pacar dua tahun yang lalu."
"Kenapa putus?"
"Dia pindah ke luar negeri dan mutusin aku."
"Jadi selama dua tahun itu kamu sudah nggak pernah ciuman lagi?"
"Menurutmu? Aku bukan tipe cowok yang main sosor seenaknya seperti Rio."
"Siapa Rio?"
"Temanku."
"Revano." Dia menyebut namaku lagi. Sebenarnya apa yang wanita itu pikirkan?
"Hmm?"
"Boleh aku menciummu?"
"Jangankan cium, yang lain juga boleh."
Randita tersenyum manis. Lantas dia mendekatkan wajahnya dan benar-benar mencium gue tanpa hambatan apa pun. Gue menyambutnya dengan tangan terbuka. Awalnya pelan, kami hanya saling membalas satu sama lain. Lalu gerakan bibir gue semakin menuntut. Kami saling mencecap dan membelit.
"You are a good kisser, Revan," katanya saat ciuman kami terurai.
Tapi kemudian dia melabuhkan ciumannya kembali. Kali ini semakin dalam dan liar. Randita juga bukan lawan yang remeh. Ternyata dia sangat lihai memainkan lidahnya. Gue harus menyeimbanginya.
Dari bibir, turun ke rahangnya lantas kucecap perpotongan lehernya yang putih dan bersih. Randita mendesis saat lidah gue bermain di lehernya. Tentunya tangan gue, nggak gue anggurin begitu saja. Gue membuat gerakan perlahan mengusap punggungnya dan itu membuat Randita semakin merapatkan tubuhnya. Gue kembali mencium bibirnya dengan tangan yang sudah menyusup ke dalam blouse yang Randita kenakan. Lenguhan Randita lolos saat perlahan gue mengusap dadanya di balik bra yang ia pakai.
Tidak ada tanda-tanda dari Randita menghentikan aksi gue. Maka gue artikan dia mengijinkan gue melakukan lebih. Tangan gue bergerak ke balik punggungnya dan melepas ikatan bra-nya. Setelah itu kembali dengan bebas bermain di kedua asetnya yang... s**t. Gue belum pernah memegang yang sebesar punyanya.
Gerakan bibir gue turun ke lehernya lagi. Randita sudah nggak malu-malu lagi melenguh dan mendesah tiap kali tangan gue bergerak nakal di dalam sana. Mungkin dia sekarang tidak sadar kalau kancing blouse-nya sudah terbuka sebagian menuruni kedua bahunya.