REVANO
"Anjiiiirrr! Van, itu Randita?" pekik Rio ketika melihat Randita pertama kali dari jauh. Gue cuma tersenyum melihat keterkejutannya. "Gila, lo. Cantik banget. Pantes aja, lo jadi edan."
"Kita kesana, kenalin gue, Van!"
Rio hendak berjalan, namun tangannya segera gue tarik. "Nggak, lo di sini. Nggak kemana-mana dan nggak akan gue kenalin."
"Lah,kenapa? Pelit amat lo! Takut gue embat ya? Tenang aja, Van. Gue nggak hobi nikung pacar temen." Dia hendak jalan lagi dan gue tarik belakang bajunya.
"Duduk!"
"Aelah, Van."
Rio menuruti perintah gue. Tapi matanya nggak lepas mandangi Randita di sana. Gue yakin kalau di film kartun-kartun, ilernya sudah menetes kemana-mana. Menjijikan.
"Lo bisa nggak? Nggak mandangin cewek gue kayak gitu?"
"Nggak. Astaga, dia cantik dan seksi, Bro."
"Lo pengin banget matanya gue colok, ya Yo."
Rio langsung terkesiap menatap gue. "Et dah! Galak amat lo kayak herder."
Gue hanya menatapnya sekilas. "Gue bakalan beneran nyolok mata lo kalau masih aja jelalatan sama Randita."
Gue melirik ke arah segerombolan cewek yang berbondong-bondong menuju aula.
"Hey, kalian mau pada ke seminar?" tanya Rio pada mereka.
"Iya, Kak. Yuk ikut. Tema Materinya keren loh," jawab salah satu dari mereka.
"Emang cowok boleh ikutan?"
"Boleh dong, Kak."
"Siapa pematerinya?"
"dr. Santika psikolog sama Kak Randita influencer yang kece badai. Yok ah, Kita ke sana duluan. Biar bisa duduk paling depan."
"Oke, ntar gue nyusul."
Rio melirik gue cengengesan.
"Apa lo?"
"Gue mau ikut seminar Randita."
"Eh..."
Rio kabur mengejar rombongan cewek tadi. Sialan. Ngebet banget dia.
Randita kenapa jadi cantik begitu sih? Waktu gue mengantarnya tadi pagi sepertinya dia nggak secantik sekarang. Apa dia dandan? Bukan cuma itu, pakaian yang ia kenakan juga beda. Sekarang dia mengenakan blouse lengan panjang yang bagian bawahnya dia masukkan ke dalam rok span selututnya. Astaga, itu tungkai kemana-mana. Gue belum pernah melihat penampilan Randita yang seperti itu. Tapi gue bisa apa, saat melihat rombongan anak cowok juga pada ikutan menghadiri acara itu?
***
Setelah rentetan acara yang perusahaan Randita adakan ini akhirnya selesai, gue langsung menghampiri Randita yang terlihat sedang kelelahan. Gue tadi sempat melihat dia meladeni anak-anak yang ingin berfoto bersama. Nggak cewek, nggak cowok, sama saja. Mereka berebut selfie dengan Randita. Jujur, gue sedikit gedhek melihatnya.
Randita terkejut saat melihat gue datang serta duduk di kursi sebelahnya. Wajah lelahnya sama sekali nggak memudarkan kecantikannya.
"Kamu beda hari ini."
"Apanya yang beda sih, Van?"
"Penampilan kamu. Aku belum pernah melihat kamu kayak gini."
Randita tertawa. "Yak kalau kerja memang seperti ini tiap harinya."
"Aku nggak yakin. Apa kalau ada, event di luar penampilanmu berubah kayak gini?"
"Revano, perusahaan kami itu memproduksi kosmetik. Jadi karyawannya mau nggak mau harus dituntut tampil cantik. Lagi pula di sini aku kan lagi merangkap menjadi SPG juga, Van. Itu salah satu strategi marketing juga."
Gue berdecak nggak terima penjelasannya. Tanpa dandan pun Randita sudah cantik. "Aku nggak suka lihat kamu jadi tontonan cowok-cowok di sini. Mereka terang-terangan bilang kalau kamu itu cantik dan seksi. Apalagi guru-guru cowoknya. Aku tadi sempat lihat mereka pada berebut nyalamin kamu."
Randita tertawa lagi. "Mereka hanya menyambut kedatangan kami saja, Van. Jangan berlebihan begitu."
"Tapi bener deh aku nggak suka, rasanya pengin nyolok mata mereka satu-satu."
"Ih, kejam banget itu mah."
"Ya dong. Biar mata mereka nggak seenaknya jelalatan sama cewekku."
Randita menggeleng lalu menenggak minumannya kembali.
"Halo, sorry ganggu."
Gue dan Randita menoleh saat ada, suara lain menyapa. Meta. Ngapain nih cewek ke sini?
"Vano, kok kamu ada di sini?" tanyanya basa basi, gue tahu kok dia sudah lihat gue dari tadi.
"Emang nggak boleh?"
"Ee, bukan gitu maksudnya... Kak Randita." Dia mengalihkan pandangannya pada Randita. "Aku mau ngucapin selamat, acaranya sukses hari ini."
Randita tersenyum. "Kamu juga selamat ya, Meta. Sudah berhasil mengatur acara ini dengan sangat baik. Hebat! Two thumb for you."
Randita mengangkat kedua jempolnya tersenyum membuat Meta malu-malu.
"Karena sibuk tadi, aku jadi nggak sempat foto sama Kak Dita. Boleh wefie-an nggak, Kak?"
"Boleh dong, ayok sini."
Gue memutar bola mata. Randita terlampau ramah. Meta mulai pindah posisi di sebelah Randita. Lalu melakukan foto selfie beberapa kali.
"Van, sini sama kamu juga. Kita foto bertiga."
"Nggak, lo aja."
"Ayolah, Van." Meta merengek seperti biasanya.
"Van...." Randita ikut-ikutan membujuk dengan tatapan matanya. Apa boleh buat. Akhirnya gue mendekat.
"Satu kali aja."
Kami berswafoto dengan posisi Randita berada di tengahnya.
"Terima kasih ya, Kak. Nanti aku tag akun kakak."
Randita hanya tersenyum menaggapi ke-alayan Meta.
"Van, kamu mau di sini aja? Nggak pulang?" tanya Meta. Sebenarnya gue malas jawab. Karena gue tahu tujuan dia nanya seperti itu.
"Gue pulang ntar setelah mengantar Randita."
"Eh-kok? Wah, padahal tadinya aku mau nebeng kamu."
Benar kan dugaan gue.
"Sorry, nggak bisa."
"Van, aku pulang sama rombongan tim." Randita menyentuh punggung tangan gue. "Kamu bisa anterin Meta dulu."
"Loh, nggak bisa gitu dong, Sayang."
Gue bisa lihat muka tertegun Meta.
"Nggak papa beneran. Aku juga masih ada kerjaan di kantor. Jadi, aku ikut mobil kantor saja."
"Ya sudah, nanti aku telepon kamu lagi."
Randita mengangguk. Dan nggak berapa lama teman Randita memanggilnya.
"Nah, aku sudah dipanggil. Aku pergi dulu ya." Randita berdiri. "Meta kamu bisa pulang sama Revano. Aku pergi yaa...."
Gue terpaksa membiarkan Randita pulang dengan timnya. Tapi yang tambah bikin gue males, gue harus nganterin Meta.
***
Asumsi orang-orang di sekolah soal gue yang pacaran sama Meta pasti semakin kuat, setelah akhirnya gue rela nganterin cewek itu pulang. Kalau bukan karena Randita, mana mau gue melakukan ini?
Di perjalanan, gue lebih milih diam dan menyalakan musik. Meta dari tadi juga diam saja. Aneh. Sampai setengah perjalanan dia baru bersuara.
"Van, tadi kok kamu panggil Kak Randita dengan sebutan sayang?"
Oh jadi itu yang mengganggu pikirannya.
"Memang salah kalau panggil pacar sendiri dengan sebutan sayang?"
Meta langsung menoleh ke arah gue. "Ka-kalian pacaran?"
"Iya."
"Jadi, kalian nggak cuma sekadar saling kenal?"
"Lo denger kan tadi, Randita itu pacar gue, Meta. Garis bawahi pa-car."
"Tapi kok bisa? umur kalian beda jauh."
"Apa sih arti sebuah umur? Kalau kami saling cinta kenapa enggak?"
Raut wajah Meta seketika berubah murung. Bukannya gue tega, tapi gue juga nggak mau dia terus-terusan berharap sama gue.
"Jadi, ini alasan kenapa kamu nolak gue?"
Meta menunduk dalam. Ah! Menyebalkan dia mulai menangis.
"Sorry, Van. Aku nggak tahu."
"Meta, gue minta maaf. Tapi yang namanya cinta nggak bisa dipaksakan. Lo cantik, pinter, tajir banyak cowok yang mau sama lo. Gue yakin."
"Percuma, Van. Aku cintanya sama kamu. Dan maunya kamu."
"Dan cinta gue, cuma buat. Randita."
Merepotkan memang. Tapi gue nggak mau dikatakan manusia super tega.
"Sorry ya, Met."
Gue mengangsurkan sebuah tisu padanya. Dia mulai terisak dan itu sangat mengganggu. Padahal gue nggak melakukan apapun padanya. Kenapa sih urusan cinta cewek jadi sesensitif ini?