RANDITA
Garan, Santi. Ah mereka berdua benar-benar membuatku syok. Sama sekali nggak menyangka. Bahkan aku tidak pernah sekali pun berpikiran kalau mereka berdua bisa berbuat seperti itu. Selama ini sikap yang mereka tunjukkan satu sama lain tidak mengarah sedikit pun untuk tujuan itu. Lalu ini, bagaimana mungkin mereka bisa saling menikmati dalam hal...., ah aku hampir nggak percaya. Tapi aku tidak mungkin salah mengenali suara itu tadi. Beneran Garan. Aku yakin sekali.
Begitu pintu lift terbuka, aku segera berlari ke arah Revano yang sedang duduk di kursi lobi sembari memainkan ponsel. Dia cukup terkejut melihatku berlari seperti orang dikejar setan.
"Ada apa, Randita? Kenapa kamu lari-lari? Terus pekerjaan yang kamu ambil mana?"
"Nggak jadi aku ambil, Van. Ayo kita pulang saja."
"Oke,oke. Kamu tenang dulu oke?" Revano meraih pundakku agar tenang.
"Kita datang di waktu yang nggak tepat." Aku menggigit bibir bawahku kecewa.
"Memangnya ada apa?"
"Sudahlah, lebih baik kita pulang dulu sekarang."
Aku menarik tangan Revano cepat-cepat. Lebih baik pulang dan langsung tidur.
"Sebenarnya ada apa sih? Kamu kayak lihat hantu saja," tanya Revano lagi saat sudah berada di dalam mobil.
"Aku takut lihat hantu, tapi ini lebih menakutkan daripada hantu."
"Oya? Apa itu."
"Masa aku lihat sa...."
Aku langsung menutup mulutku. Nggak seharusnya aku bicara begini dengan Revano. Astaga, mulutku.
"Kenapa kok berhenti?"
"Nggak, nggak ada apa-apa. Lupakan saja."
Revano memandangku sekilas. "Aneh banget. Kamu lihat temanmu itu bercinta?"
Aku melotot menoleh. Kok Revano bisa tahu?
"Jadi, bener?"
Aku nggak menjawab dan mengalihkan mataku kemana pun. Tapi tidak berapa lama tawa Revano meledak.
"Astaga, Randita. Mau ngomong gitu aja susah," katanya di sela tawanya. Menyebalkan sekali.
"Berhenti tertawa Revan. Nggak ada yang lucu."
"Mukamu merah, Randita. Kenapa? Kamu ingin juga begitu?"
"Ish! Sembarangan."
Revano kembali tertawa lagi.
"Revan, jangan tertawa terus kamu lagi nyetir."
"Pantas saja kamu lari terbirit-b***t kayak dikejar hantu. Rupanya begitu. Kenapa nggak kamu foto mereka aja?"
Mataku melotot lagi. Dan itu lagi-lagi membuat Revano tergelak. "Dasar sinting."
"Kamu itu, lihat yang kayak gitu aja takut. Wajarlah, temanmu itu kan sudah dewasa."
"Nggak wajar kalau menurutku."
Revano mengernyit. "Loh kok gitu?"
Dia nggak tahu saja bagaimana Santi dan Garan bersikap di kantor.
"Karena mereka berdua sama-sama temanku. Maksudnya mereka berdua di kantor saling melempar sarkas, tapi kenapa bisa begitu? Kan aneh."
"Kamu merasa dibohongi?"
"Enggak juga. Cuma merasa ada yang mereka sembunyikan."
" Ya itu yang mereka sembunyikan."
"Kalau emang mereka punya hubungan ngapain juga disembunyiin pake pura-pura saling nyirnyir."
"Mungkin mereka punya alasan tersendiri. Kamu biarkan saja ya. Jangan bikin mereka merasa bersalah sama kamu."
Aku mengerjap mendengar Revano berkata begitu. Padahal aku sedang berpikir bagaimana cara membuat mereka mengaku. Revano itu dewasa sebelum waktunya ya? Aku dibuat takjup sendiri sama pemikirannya.
***
"Kamu langsung balik aja ke unit kamu. Ini sudah malam, aku juga mengantuk," kataku begitu sampai di depan pintu unit.
"Besok aku akan mengantarmu ke kantor."
"Memangnya itu nggak merepotkan?"
"Nggak juga sih."
"Besok kayaknya aku harus berangkat pagi-pagi deh. Ada event goes to school. Jadi kamu nggak perlu mengantarku."
Revano mengangguk. "Oke, jam berapa?"
"Jam setengah tujuh aku harus sudah sampai kantor. Persiapan ke sekolah agak sedikit ribet."
"Kalau gitu cepat sana kamu tidur. Biar besok nggak telat."
"Oke." Aku berbalik badan hendak membuka pintu.
"Randita," panggil Revano.
"Ya?"
"Kamu nggak kelupaan sesuatu?"
Mataku memicing. "Apa? Kayaknya enggak ada deh."
"O-oh, ya sudah gih masuk, aku balik ya. Nite."
Revano kenapa? Aneh sekali. Dia memutar badan dan melangkah. Jalannya pelan dan menunduk. Tapi sejurus kemudian dia berbalik lagi.
"Randita, love you," ucapnya malu-malu membuatku terkekeh. Dia menggaruk kepala salah tingkah, melangkah mundur, dan melambaikan tangan lantas berbalik lagi.
Ya ampun dia menggemaskan sekali. Aku senyum-senyum geli sendiri seperti orang gila. Entah kenapa rasanya aku ingin... Kepalaku mendongak dan bisa aku lihat Revano sudah hendak memasuki lift.
"Revano!" seruku sebelum dia masuk.
Revano menoleh dan aku segera berlari ke arahnya. Lalu begitu dekat dengannya, aku melompat ke arahnya dan Revano refleks menerima tubuhku yang langsung menempel padanya seperti koala. Aku memeluknya begitu erat sampai langkah Revano mundur, lantas berbisik ke telinganya.
"I Love you too."
Revano tersenyum lebar hingga gigi-giginya yang putih dan rapih terlihat.
***
Setelah Revano mengantarku ke kantor, aku dan tim bergegas mempersiapkan segala yang kami butuhkan di event sekolah. Pihak sekolah juga sudah menginfokan kesiapannya di sana. Di acara nanti aku juga akan mengisi materi bertema membangun rasa percaya diri. Ini pertama kalinya aku memberikan materi di seminar bersama seorang psikolog. Biasanya aku hanya akan memberi tips-tips menjaga wajah agar tetap segar pada sesi perkenalkan produk.
SMU Bunga Bangsa, sekolah yang akan kami datangi pertama kali. Kami memilihnya karena sekolah itu adalah salah satu sekolah terfavorit di Jakarta. Kami berangkat menggunakan mobil perusahaan. Hanya ada empat orang yang ke sana. Tiga orang dari tim marketing dan satu orang dari tim humas.
Acara diadakan di aula dan seminar pengembangan diri yang memulai acara tersebut. Aku senang karena siswi-siswi di sekolah ini sangat antusias. Pesertanya banyak. Semua kursi yang tersedia penuh. Di sesi tanya jawab kami memberikan goodie bag sebagai kenang-kenangan.
Yang paling meriah adalah acara cuci muka bersama. Setelah memberikan tips-tips menjaga kulit wajah, semua peserta yang ikut, melakukan cuci muka bersama. Kami juga memberikan tutorial bermake-up sederhana ala remaja. Produk-produk kami diskon untuk peserta hingga tiga puluh persen. Dan amazingnya semua produk yang kami bawa nyaris ludes. Produk facial foam dan perawatan wajah yang paling banyak diminati menyesuaikan kebutuhan kulit mereka.
Lelah kami sebagai tim rasanya terobati melihat event pertama berjalan sangat sukses. Aku berharap di sekolah lainnya akan sama. Masih tersisa sembilan belas sekolah lagi. Untuk besok masih ada satu sekolah lagi di Jakarta. Selain memang untuk mendongkrak penjualan produk, acara ini juga bertujuan untuk memberitahu para remaja bahwa menjaga kesehatan kulit itu penting dilakukan dari dini.
Aku sedang duduk di stand Bee Fresh untuk beristirahat setelah meladeni anak-anak cewek berfoto bersama. Meskipun lelah, aku tidak mungkin mengabaikan mereka. Ternyata mereka cukup banyak yang mengenalku. Aku pastikan follower akun instagramku bakal membludak lagi.
"Capek banget yah?"
Aku baru selesai menenggak minumanku saat kudengar suara seseorang dari belakang. Aku menoleh langsung. Tidak jauh dari tempatku duduk, kulihat Revano berdiri tersenyum dengan kedua tangan yang ia tenggelamkan ke saku celana. Cukup terkejut melihat keberadaannya. Ternyata tempat yang kudatangi ini sekolah Revano. Jangan bilang dari awal acara sebenarnya dia sudah melihatku.
"Kok nggak bilang kalau kamu sekolah di sini?" tanyaku ketika dia mendekat.
"Kamu nggak pernah tanya."
Aku pernah melihat Revano pake seragam sekolah lengkap, sekali saat pertama kali bertemu yang tanpa sengaja itu. Kali ini aku melihatnya lagi. Jaket yang selalu menutupi seragamnya entah dia buang kemana. Aku meringis menyadari ternyata aku benar-benar sudah sinting mau berpacaran dengan anak sekolah. Tapi, bukankah cinta bisa menyerang siapa saja tanpa melihat usia?