Bab 8 Mengajak Putus

1253 Words
Semalam Sella menginap di rumah Oma Yati. Sebenarnya nenek itu yang berkeras dengan alasan meminta dipijit dan lainnya, akhirnya Sella pun menurut saja. Dia juga cemas kalau pulang lagi dan mendapati Moris masih di rumahnya. "Ternyata Moris sebenarnya bisa semenakutkan itu," gumam Sella dalam hati. Sella berjalan menuju lobi, meletakkan kartu pegawai pada mesin dan pintu akses karyawan pun segera terbuka. Hari ini pekerjaannya banyak dan dia berharap bisa fokus dan semua berjalan dengan lancar. "Sella!" Sella menoleh ke arah panggilan suara, dan seperti yang dia duga sebelumnya, Rosy berjalan cepat menghampirinya. Sella bahkan harus mengembuskan napas panjang demi bisa mengontrol emosinya. "Selamat pagi," sapa Sella, seolah semua baik-baik saja. "Harimu baik? Semalam ke mana? Kau meninggalkanku begitu saja." Wajah Rosy dibuat merenggut, seperti dia biasanya bila bertemu dan bercakap manja dengan Sella. "Hariku baik, seperti yang kau lihat," balas Sella, enggan berbicara lebih jauh tentang acaranya semalam. "Oya, Sell. Kau masih menyimpan berkas proposal tentang formula baru beserta penelitian pasar enam bulan lalu yang ditolak atasan?" tanya Rosy dengan tatapan keseriusan seperti biasanya. Sella hafal, bila perempuan ini berada pada mode seperti ini, maka wajib baginya untuk melakukan apapun yang perempuan ini minta. Sella semakin muak dibuatnya. "Kenapa?" balas Sella santai. Dia berjalan lagi menuju ke ruangannya, diikuti Rosy di belakangnya. Sella yakin, saat ini wajah sahabatnya itu sedang ditekuk seratus kali. Tapi, dia toh sudah tidak begitu peduli. "Aku akan mempelajarinya lagi, lalu merevisi bagian yang menjadi dasar penolakan. Kemungkinan besar pasti akan diterima karena kami akan melakukan evalusai menyeluruh atas isi proposal yang kamu buat," jelas Rosy panjang lebar, mencoba untuk meyakinkan Sella atas berkas yang dianggapnya menjadi sampah karena ditolak. Sella langsung tersenyum, mengetahui gelagat menyebalkan yang ditunjukkan Rosy, setelah menyadari bahwa perempuan yang sudah dianggapnya sebagai sahabat itu ternyata tidak setulus yang terlihat di matanya dulu. "Kau bermaksud menggunakan proposal lamaku untuk pengajuan proyek, seolah-olah itu rencanamu yang baru?" tanya Sella seraya duduk di kursi lalu mulai merapikan meja kerjanya. Tampak Rosy masih setia mengikutinya lalu berdiri di samping mejanya seperti siswa yang dipanggil keterangannya oleh guru Bp. Sella merasa tingkah Rosy sangat menyebalkan. "Iya begitulah, daripada idemu tidak berguna 'kan. Aku akan membantumu merealisasikan proyek bagus itu, dengan beberapa perbaikan yang bisa diterima atasan," jelas Rosy, menatap penuh keyakinan dan harapan bahwa permintaanya pasti dikabulkan Sella. "Bukankah sangat disayangkan kalau idemu hanya jadi tumpukan map yang bahkan dilupakan orang-orang?" cetus Rosy, meyakinkan bahwa dirinya hanya berniat untuk membantu Sella, mewujudkan mimpi-mimpinya. Sella mengusap wajahnya dengan sebelah tangan. Beberapa kali mengamati Rosy dan bisa dilihatnya bila selama ini perempuan itu sangat modis. Pakaian yang dipakainya hari ini bahkan dulu dibeli memakai uangnya. Saat itu mereka sedang jalan-jalan ke mall, Rosy memilihkan pakaian jelek untuknya dan memilih blouse limited edition untuknya sendiri. Bila mengingat betapa polos dirinya dulu, Sella merasa sangat benci pada jalan pikirannya yang kelewat percaya pada niat baik orang. "Pakaianmu bagus," puji Sella seraya mengalihkan tatapannya dari Rosy ke arah layar monitor yang sudah menyala di hadapannya. "Oh, ini ...." Rosy terlihat sangat kikuk, tetapi tentu saja kebanggaan hadir melingkupi wajahnya saat tersenyum. Dalam hati, Sella ingin mengumpati betapa liciknya perempuan satu ini dalam memanfaatkan kebaikannya. "Kau pun sekarang mengubah gaya pakaianmu jadi lebih kekinian, Sella," sahut Rosy kemudian, setelah sadar Sella tidak sesederhana biasanya. "Kau benar. Isi pakaian di lemariku sudah aku sumbangkan ke yayasan. Banyak yang baru dan bahkan belum pernah aku pakai." "Oh, kenapa?" Rosy tampak melongo. "Karena aku rasa itu bukan model kesukaanku. Bukankah kebanyakan kau yang memilihkan untukku. Kau bilang bagus, tapi setelah sampai rumah ternyata kebalikannya," cetus Sella membuat raut wajah Rosy berubah keruh. Dia merasa sangat tersinggung. "Oya, soal proposal yang kau minta tadi, maaf aku sudah berencana untuk merevisinya kembali. Mengevaluasi kekurangan dan menggunakan segala masukan yang datang untuk memperbaikinya lagi," jelas Sella seraya mendongak, menelisik wajah sang sahabat yang terlihat semakin keruh saja. Tentu saja, Sella yakin sahabatnya itu merasa murka. Tapi, kini Sella tidak peduli. "Kau mau mengajukan ulang sendiri?" "Hem, ini bagian dari impianku. Kau pun tahu sejak awal, saat aku memulai semua riset bahan yang aku masukkan ke dalam formula yang aku ciptakan," terang Sella dengan wajah santai. "Kenapa kau tidak membuat formula yang baru aja sih, Sell. Serahkan saja proyek lamamu padaku dan Moris," bujuk Rosy dengan tatapan penuh harap. "Aku menghabiskan waktu enam bulan untuk riset, Rosy. Bagaimana mungkin semudah itu kalian mengambil alih hasil kerjaku dan tinggal menambal sulam isinya?" Sella langsung berdiri menghadapi Rosy. Dia mengingat, bahkan perempuan ini mengkhianati dengan tidak menyertakan dirinya di dalam proyek ini. Mengklaim sepihak seolah-olah telah bekerja sendiri tanpa bantuan darinya. Tidak bisa, Sella tidak akan membuat hidup Rosy semudah itu dalam mendapatkan pengakuan di perusahaan dengan jalur kotor. "Bukankah kau sudah berjanji pada Moris?" Rosy mengadang langkah Sella saat hendak meninggalkan meja kerjanya. Tatapan yang biasanya sangat lembut dan ramah, kini berubah nyalang penuh murka. Sella menanggapi sikap itu dengan tatapan santai. "Oh, jadi kau sudah membicarakan ini dengan Moris di belakangku?" cetus Sella, membuat wajah Rosy berubah gelagapan. "Padahal aku baru mengatakan segala kemungkinannya, bukan sebuah janji seperti yang kau utarakan tadi." Sella menambahkan. "Itu ... itu, kami cuma kebetulan saja saat membicarakan ini, Sell. Bukan berarti ...." "Ibu Sella, sudah ditunggu di ruang rapat!" Rekan kerja Sella menghampiri, lalu memberikan isyarat untuk bergegas mengikutinya. Sella langsung mengangguk paham lalu pamitan pada Rosy tanpa suara. Dia hanya menggunakan senyuman palsunya pada Rosy, lalu meninggalkan tempat itu setelah mematikan layar monitor, menarik map dari atas meja beserta ponselnya. Sella berlari kecil, menyusul rekan-rekannya yang sudah menunggu diambang pintu agar bisa masuk bersama-sama. Sella merasa lega, terbebas dari drama di pagi hari. Di dalam ruangan telah ada Erick sebagai kepala divisi produksi, ternyata tampak juga Moris duduk di kursi paling ujung. Sella langsung melengos saat beradu tatap dengan pria menyebalkan satu itu. Sella fokus pada pembahasann rapat. "Kita akan mengadakan rapat dengan divisi pemasaran, keuangan, dan personalia. Proposal tentang kemungkinan meluncurkan paket ekonomis agar produk parfum kita bisa menjangkau pasar lebih luas sudah aku pertimbangkan. Terutama menyasar kaum gen-Z sebagai target pemasaran perusahaan ke depannya," ujar Erick seraya menyatukan kedua tangannya di atas permukaan meja. "Hasil riset formulanya sudah saya serahkan pada tim ahli untuk diteliti lebih lanjut," sahut Sella menambahkan tentang kesiapannya. "Ok, pastikan tidak ada yang terlewat. Produk kita harus sudah mencuri start, jangan sampai produksi dan peluncurannya didahului kompetitor kita. Seperti yang terjadi pada tahun lalu." Erick menambahkan, seraya menatap Moris yang tampak melamun. "Baik," jawab Moris terlihat gelagapan, saat semua mata tertuju padanya. Sebenarnya hati pria itu terlihat sangat kesal, mengingat kedekatan Sella dengan Erick. Apalagi semalam perempuan itu meninggalkannya begitu saja. Hati ini dia ingin membuat perhitungan. Moris menepuk pundak Sella saat keduanya berjalan beriringan menuju keluar ruangan rapat. Tentu Sella paham, urusannya dengan pria itu belum usia, meskipun semalam dia bisa menghindar. Sella pun memutuskan untuk menghadapinya, apalagi setelah melihat tatapan Erick yang berusaha untuk meyakinkannya. "Ada apa? Kita bicara di sini saja, tidak perlu jauh-jauh," ucap Sella seraya menghentikan langkah. Dia enggan diajak Moris untuk bicara empat mata di dalam ruangan tertutup. "Kau tidak mau mengakui, apa yang menjadi masa lalumu? Kau pikir aku tidak tahu, kau mencoba untuk mendekati Erick, demi memuluskan jalanmu mendapat proyek terbaru kita dan kau mendapatkan promosi jabatan lebh tinggi dari sekarang?" tuduh Moris seraya membalikkan badannya, menoleh pada Sella yang mematung memandangnya. "Kita putus saja, Moris. Aku rasa, memang sebenarnya kita sudah tidak ada kecocokan lagi," tukas Sella seraya bergerak mundur, hendak meninggalkan Moris. "Apa katamu? Tunggu!" Moris berteriak, seraya berjalan cepat lalu menarik lengan Sella agar tetap berada di tempatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD