Bab 9 Dilema

1093 Words
"Lepaskan!" Sella mengibaskan tangan Moris begitu pria itu berhasil menggapai lengannya. Rasa trauma pun hadir kembali, tragedi kematiaanya mulai membayangi, kala melihat mata Moris menandakan sinyal kemarahan yang sama seperti siang hari di masa itu. Tubuh Sella terasa gemetaran. Namun, sebisa mungkin dia menyembunyikan ketakutan itu dengan menghela napas kasar. "Kau bilang apa tadi? Bisa kamu ulangi lagi?" cetus Moris menampakkan semburat emosi pada tatapan matanya. "Kita putus saja kalau memang aku tidak lagi penting bagimu." "Tidak penting? Bukannya kau yang berniat untuk menyingkirkan aku? Hah!" Sella melengos, merasa sangat bingung dengan situasi tidak menguntungkan baginya seperti ini. Moris telah membuatnya terintimidasi. Bahkan, caranya bersikap begitu mengkhawatirkan keselamatannya. Sella harus berpikir ulang, bagaimana cara memutuskan hubungan dengan Moris, dalam kondisi pria itu bersalah. "Kau bicara dengan Rosy tentang proposal lamaku tanpa melibatkan aku? Kau pikir aku siapa, jadi kau bisa berbuat seperti itu?" Sella menghadapi Moris, tidak lagi berusaha untuk kabur seperti beberapa menit yang lalu. "P-proposal?" Wajah pria itu berubah menjadi kaku. Tentu saja, hal itu malah membuat hati Sella menjadi lega. "Kau akan menggunakannya demi masa depan kalian berdua. Apa di antara kalian, sudah tidak mengharap aku ikut terlibat?" Moris mengalihkan pandangan ke arah lain. Sangat terlihat, pria itu kaget bukan main dengan pertanyaan yang diberikan kekasihnya ini padanya. Sella mengamati perubahan sikap ini dengan baik. "Aku yakin, kalian sudah berhubungan lebih dari sekedar teman," batin Sella, mencoba menampik rasa sakit hati yang menjalari tubuhnya. Dia mencoba untuk mengenyahkan rasa kecemburuan, demi keselamatannya di masa mendatang. "Kau ini bicara apa, Sella?" tukas Moris, menampakkan senyuman, yang diyakini Sella sebagai upaya berbaikan. "Aku sudah menganggap Rosy seperti adikku sendiri. Apa kau sedang cemburu?" Moris tergelak, seolah-olah dia laki-laki hebat yang patut dicemburui. Sella hanya bisa menyembunyikan rasa muaknya dalam hati. "Aku tidak cemburu, lagipula kau tidak mungkin merendahkan martabatmu dengan berselingkuh, apalagi dengan sahabatku sendiri, bukan?" cetus Sella seraya membalas senyuman Moris dengan sinis. "Heih, kau ini bicara apa? Aku benar-benar menganggap Rosy seperti adik perempuanku sendiri." "Aku tetap minta putus, Moris. Biarkan kita jalan masing-masing." Sella membalikkan badannya, lalu berjalan hendak meninggalkan tempat mereka bertemu. Namun, alangkah kagetnya saat Moris membanting segelas kopi instan yang kebetulan ada di atas meja di sebelahnya. Sella memang menghentikan langkahnya, tetapi enggan menoleh lagi ke belakang. Dia tahu, raut wajah pria itu lebih mengerikan dari yang dia kira sebelumnya. "Bilang saja tentang aku dan Rosy hanya akal-akalanmu saja!" Sella masih bergeming, tidak ada niatan untuk membalas kekasaran Moris dengan kalimat apapun. Rasanya lebih baik menunggu, daripada lelah menghadapi pria seperti itu. "Jadi benar, kau meminta putus dariku gara-gara Erick, bukan? Kau ingin menaikkan jenjang kariermu dengan menggodanya. Kau bahkan, tidak rela hasil risetmu aku pakai bersama Rosy. Kau sibuk menuduh kami yang bukan-bukan, padahal jelas di sini kaulah si pengkhianat itu!" Moris berjalan cepat, lalu meraih pundak Sella agar menghadap padanya. Namun, bukannya tangisan yang dia peroleh. Namun, tatapan kaku dan menantang Sella berikan padanya. "Darah memang lebih kental dari air bukan? Keturunan selingkuh, maka penyakit seperti itu tidak akan jauh-jauh dari kehidupanmu!" Moris segera berlalu dari hadapan Sella. Tidak lupa membanting pintu di hadapannya demi bisa menunjukkan pada Sella kalau dirinya amat marah. Sella menarik napas lalu mengembuskan perlahan demi bisa menguasai dirinya lagi. Tidak, gadis itu sedang menetralisir rasa takut dan cemas yang sempat hadir kala melihat dengan mata sendiri segala kekasaran yang dilakukan Moris padanya. *** Sella membali ke meja kerjanya dalam kebisuan. Beberapa temannya menyapa, tetapi Sella hanya membalas sekilas lalu fokus lagi ke dalam pekerjaannya. Sella sesekali mencuri pandang pada Erick yang sedang fokus di dalam ruangannya. Ingatan tentang peringatan pria itu tentang Moris mulai hadir dan menggangu pikiran Sella. "Kenapa kau bisa tahu, kalau Moris tempramen?" batin Sella seraya meletakkan pulpennya lalu menoleh pada Moris yang juga sibuk mengerjakan tugas. Sella mengalihkan pandangannya dari Moris ke arah Rosy. Terlihat perempuan itu berbincang dengan rekan kerja yang lain. Dengan gayanya yang manja dan sok akrab tentu saja. Sella lama-lama merasa kalau perempuan itu sangat oportunis. "Apa aku terima saja penawaran Pak Erick tentang nikah kontrak?" batin Sella lagi, mulai merasa sangat resah. Sella merapikan meja kerjanya, hendak ke ruangan Erick dengan pura-pura meminta masukan atas sampel yang telah dia buat. Namun, saat hendak berdiri, ternyata Rosy sudah berada di sebelahnya. Sella sangat terkejut, dan respon itu juga berhasil membuat Rosy terkejut juga. Keduanya pun langsung tertawa bersama saat menyadari itu sangat lucu. "Kau dulu membuat aku merasa memiliki keluarga, Rosy. Tapi, aku tidak menyangka kau akan mengkhianati aku dengan kejam," batin Sella, seraya menatap Rosy yang masih tertawa geli. "Apa kau bertengkar dengan Moris? Aku lihat dia menendang pot di samping ruangan setelah bertemu denganmu," bisik Rosy membuat Sella merasa tidak nyaman. Rasanya aneh, tidak seperti dulu saat harus menceritakan tentang hubungannya dengan Moris. "Kami hanya salah paham," sahut Sella, membuka sedikit informasi, tapi enggan bercerita tentang kejadian sesungguhnya. "Apa yang membuat kalian salah paham?" "Kau bisa tanyakan langsung padanya. Bukankah kalian cukup dekat beberapa bulan terakhir ini?" cetus Sella menyiratkan bahwa dia tahu apa yang sedang diupayakan Rosy terhadap Moris. Sella berjalan meninggalkan Rosy yang masih melongo, mencoba untuk mencerna kalimatnya tanpa bisa menjawab apa-apa. Sella membawa map, mengetuk pintu ruangan Erick lalu meletakkan barang itu ke atas meja. Tentu saja, dari luar apa yang dilakukan Sella tampak normal-normal saja. Seperti halnya seorang bawahan yang sedang melaporkan tugasnya kepada atasan. "Apa yang membuatmu ke sini?" tanya Erick begitu mendapati Sella berdiri di hadapan meja kerjanya. "Soal semalam. Saya ingin mengucapkan terima kasih," sahut Sella dengan tatapan mantab dan tegas. "Semalam? Aku ngapain emangnya? Ini bukan tentang makan malam kita, 'kan?" Erick membuka map yang disodorkan Sella padanya. Isinya beberapa berkas tentang sampel parfum yang hendak mulai diuji di laboratorium produksi. Tentu saja, Erick tahu pekerjaan itu amat penting. "Kau menyuruh Oma Yati untuk mengecek keadaanku," ucap Sella dengan suara meyakinkan. Erick hanya bersedekap tangan, menoleh ke arah belakang Sella yang memperlihatkan Moris tengah menatap juga ke arahnya. Erick pun menyerahkan map yang ada di atas meja lalu mempersilakan Sella untuk duduk dulu. "Duduklah. Semua staff melihat ke arahmu." Sella langsung menurut, tanpa menoleh ke arah luar. Baginya, memang Moris dan Rosy akan terus memperhatikan gerak-geriknya. "Sesuatu buruk terjadi?" selidik Erick begitu melihat wajah Sella tidak sepercaya diri seperti biasanya. "Aku berniat untuk mempercayaimu," ungkap Sella, mendongak menatap kedua bola mata Erick dengan kesungguhan. "Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanya Erick, seolah menunggu Sella membuat sebuah keputusan besar. "Selain keselamatanku, keuntungan apa lagi yang aku dapatkan kalau aku menerima penawaranmu. Aku benar-benar tidak yakin, kalau keputusan itu tidak membahayakan keselamatanku yang lain," tukas Sella berhasil membuat Erick tersenyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD