Brak!
“Pokoknya saya mau hak asuh sepenuhnya!”
Astaga ibu-ibu ini galak juga. Andai itu meja bisa bicara mungkin dia sudah maki-maki itu ibu-ibu. Aku tersenyum kikuk melihat client super galak hari ini. Inikah alasan Hiro mengganggu hari liburku? Cih, pria itu harus membayar lebih untuk ini.
“Tentu, kami akan menangani masalah Anda untuk menang di pengadilan,” ujarku .
Wanita itu duduk dengan napas memburu. Aku bisa melihat ada raut kecewa dari mimik wajahnya.
“Emm, maaf Bu Siska, apakah Anda memiliki bukti jika suami Anda selingkuh?”
Dia menatapku tajam. “Ini untuk meyakinkan pengadilan .”
Mimpi apa aku semalam sampai harus bertemu dengan ibu-ibu rempong ini. Saat pertama kali Ibu Siska duduk di ruanganku, seketika aura berubah. Dia wanita yang menyeramkan dengan kemarahannya.
“Aku punya banyak bukti.” Dia memeriksa ponselnya dan memberikannya padaku. Sebuah screenshoot chat dengan percakapan tidak senonoh dari seorang pria dan wanita yang aku yakini pria itu adalah suaminya.
“Kami akan mencetak foto ini sebagai bukti,” ujarku membuat Bu Siska mengangguk. Cukup lama kami berbincang sampai akhirnya aku tahu jika mereka menikah karena perjodohan. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai seorang anak perempuan berusia 7 tahun.
Sampai dari cerita ini aku paham betul bagaimana perasaan seorang ibu yang akan dipisahkan dengan anaknya. Setiap kali Siska menceritakan tentang anaknya ia selalu menggebu-gebu. Aku sempat berpikir apakah ibu dan ayahku juga memperebutkan diriku dulu? Aku tersenyum miris, jangankan berebut menengokku saja mereka tidak pernah. Saat aku sedih, kekurangan biaya hidup dan ketika sakit, mereka tidak pernah menghubungiku.
Ya, mereka sudah bahagia dengan keluarga masing-masing. Jika aku menghubunginya, mereka tidak pernah menolak. Mereka tetap perhatian di telephone, tapi haruskah aku yang menghubungi terlebih dulu? Rasa egoku sering muncul dan sejujurnya aku sangat merindukan mereka
Dulu aku tidak pernah mendengar mereka bertengkar. Aku pikir mereka baik-baik saja saat itu sampai akhirnya ayahku menceraikan ibuku begitu saja. Tanpa aku sadari mereka sudah memiliki masalah sejak lama. Mereka menyembunyikan dengan apik dariku sehingga aku tidak tahu sama sekali.
“Bagaimana dengan ibu-ibu itu. Hot, ‘kan?” tanya Raya setelah Siska pergi.
Ini adalah jam makan siang dan seperti biasa Raya akan mencariku untuk makan siang. Sejujurnya aku sudah lapar sejak tadi. Harusnya aku menawari Siska untuk makan siang di restaurant. Untuk sekadar mengakrabkan diri, setidaknya dia tidak perlu teriak-teriak saat bicara padaku. Wanita itu tidak bisa diajak santai. Apa suaminya selingkuh karena sikapnya yang sedikit kasar? Aku tidak peduli lagi. Itu hanya membuat kepalaku pusing saja.
“Iya, Hot. Mulutnya,” ujarku membuat Raya tertawa.
Aku yakin gadis itu senang melihat pagiku hancur. Dari sekian karyawan mungkin hanya aku yang paling sabar menangani semprotan panas mulut client. Sialnya Hiro suka dengan itu. Bicara tentang bos tampanku itu sejak tadi dia belum keluar ruangan. Apa dia ada meeting? Gorden yang biasanya terbuka sekarang tertutup.
“Lagi pacaran sama kasus rahasia,” bisik Raya saat aku bertanya tentang keberadaan bos tersayangku.
“Semoga langgeng deh.”
Kami tertawa. Hiro orang yang pekerja keras sampai lupa waktu dan jarang makan tepat waktu. Kalau sudah seperti ini mau tidak mau sebagai rekan kerja yang baik aku dan Raya akan membelikannya makan siang. Pria blesteran Jepang-Indonesia itu sangat suka dengan nasi goring pete. Tampang boleh luar, tapi rasa tetap lokal.
“Jam segini mau beli nasgor pete di mana?” tanya Raya.
Saat ini kami berada di sebuah kafe di lantai bawah. Banyak pekerja yang sedang makan siang di sini. Beruntung kami mendapatkan meja dan tempat duduk yang kosong.
“Sudah beliin nasgor biasa saja. Nanti aku beliin dia pete sekilo,” ujarku sambil membolak-balikkan menu.
“Hahaha. Kamu itu ya ngerjain orang sampai bikin kacau acara nikahan.”
Aku menatap Raya sambil tertawa. Ada kejadian unik saat Hiro mengadakan resepsi di Indonesia. Saat itu aku memberikannya pete sekilo plus Nasgor pete. Kurang baik apa coba?
Awalnya Hiro cuek denga hadiah yang aku berikan tapi saat aku membuka kotak bekal itu, Hiro langsung mengambilnya. Matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja dapat mainan baru. Ia memakannya dengan lahap di tempat yang tersembunyi, katanya takut jika istrinya tahu kalau ia makan pete. Karena istrinya tidak suka bau pete yang menyengat. Alhasil pada hari itu Hiro dapat kecaman dari sang istri yang ngambek karena Hiro melanggarnya. Bau pete di mulutnya membuat sang istri tidak mau menciumnya. Bayangkan saja bagaimana wajah malang seorang bos yang ditolak mentah-mentah oleh istrinya. Malam panas itu gagal karena pete.
“Terima kasih,” ujarku saat seorang pelayan menyuguhkan makan siang.
“Yakin cuma makan rice bowl?” tanya Raya.
Aku mengangguk, ini sudah cukup untuk menggobati rasa lapar perutku. Kalau pun masih lapar aku bisa memesannya lagi. Kasihan makanan kalau sisa, mau dibungkus pun kadang lupa di makan. Aku orang yang suka menghabiskan makanan sampai bersih bahkan sebutir nasi yang ada di piring pun aku habiskan.
“Sasya.”
Aku menoleh saat seorang pria memanggil namaku. Kevin? Batinku. Tidak ada Raina di sampingnya itu berarti Kevin sedang bekerja. Tumben aku melihatnya di café ini. Apa jangan-jangan Kevin bekerja di gedung yang sama denganku? Jika itu terjadi matilah aku. Setiap hari harus melihat wajahnya. Rasa takut itu masih ada, Kevin memiliki sisi lain yang tidak pernah aku tahu. Pria itu banyak berubah.
“Boleh aku ikut bergabung? Semua meja penuh.”
Aku dan Raya mengedarkan pandangan ke sekitar berharap ada satu meja tidak berpenghuni, namun sayang semua meja terisi penuh.
“Silakan,” ujarku dan Raya bersamaan.
Suasana canggung menyelimuti meja makan kami. Aku rasa Raya pun merasakan hal yang sama. Tidak Nyaman.Kami makan dengan lahap tanpa bicara sedikit pun.
“Apa kalian bekerja di gedung ini?” tanya Kevin memecah keheningan. Seorang pelayan datang ke meja kami dengan sebuah nampan. Sepertinya itu pesanan Kevin. Aku tersenyum tipis saat melihat makan siangnya. Spaghetti . Pria itu pecinta mie, spaghetti adalah favoritnya. Aku sangat hafal tentang Kevin walau kami hanya berpacaran hanya beberapa bulan saja. Saat kami pacaran dulu aku sampai belajar bagaimana cara membuat spagethi yang enak untuknya. Walau pun rasanya masih sangat jauh dari harapan.
“Iya, kami bekerja di aaaww,” pekik Raya.
Aku menginjak kakinya. Hampir saja dia memberi informasi tentang tempat kerjaku. Bagaimana pun, Kevin tidak boleh tahu di lantai berapa aku bekerja. Pria itu sangat berbahaya.
“Kamu gak apa-apa?” tanyaku pura-pura perhatian.
Raya mendelik namun aku abaikan. Aku menaikkan satu alisku, ini adalah kode kami jika melakukan kesalahan.
“Aku baik-baik saja.”
Aku tersenyum kemudian menatap Kevin yang sejak tadi bengong.
“Raya punya asam urat, jadi kadang kakinya sakit,” ujarku. Tentu dengan kebohongan. Raya menatapku horor. Sepertinya dia tidak menyukai perkataanku.
“Aku permisi dulu,” ujar Raya tiba-tiba.
Aku menatap Kevin sekilas kemudian melanjutkan makananku.
“Sasya,” ujar Kevin membuatku mendongkak.
“Ya?”
“Maaf. Aku salah,” ujarnya dengan kepala menunduk.
Aku masih menunggu Kevin untuk bicara lagi. Minta maaf hanya untuk keslahan yang tidak disengaja, sedangkan pria itu melakukannya dengan sengaja. Aku tidak dendam padanya aku hanya kecewa pada Kevin.
“Aku tidak tahu harus bagaimana. Hubunganku dengan Raina hanya sebuah paksaan. Kami menikah karena Raina yang memaksaku.” Kevin menatapku dengan tatapan terluka. “Sudah beberapa kali aku ingin mengakhiri hubunganku dengannya, tapi Raina mengancam akan bunuh diri.”
“Jadi kau takut Raina mati?”
Kevin terkejut mendengar perkataanku. Ia terdiam dengan kepala menunduk.
“Aku tidak ingin ikut campur dengan masalah mu. Apa pun itu kamu sudah membuat keputusan itu Kevin. Kamu sudah menikah, itu adalah keputusan besar setiap orang. Kamu harus mempertanggung jawabkan keputusanmu, Kevin. Tolong jangan ganggu aku lagi. Aku tidak mau Raina berpikir yang macam-macam,” ujarku panjang lebar.
Biarlah Kevin beranggapan bahwa aku itu wanita sok suci dan sok tahu. Aku hanya belajar dari para client ku yang kebanyakan bermaslaah dengan keluarga. Aku tidak ingin suatu hari nanti Kevin atau Raina yang menjadi client selanjutnya.
“Tapi aku masih mencintaimu, Sasya. Aku mencarimu ke mana-mana, terakhir aku mendengar kabar bahwa kau pergi ke luar negeri. Aku putus asa,” ujar Kevin.
“Oh? Kalian belum selesai makan?” tanya Raya setelah duduk di kursinya. Rasa lega terpancar dari wajahnya. Kebiasaan gadis itu ketika makan, dipertengahan akan sakit perut. Aku pikir perutnya tidak mengolah makanan dengan baik, atau pencernaannya yang sangat lancar.
“Aku sudah selesai,” ujarku .
Aku melihat jam tangan yang melingar, hampir saja kami telat. Sisa 5 menit lagi waktu istirahat kami.
“Kevin, kami duluan, ya,” ujarku. Pria itu hanya mengangguk lemah. Semakin cepat aku pergi itu lebih baik.
***
Pekerjaan hari ini cukup melelahkan. Bukan hanya memeras otak tapi juga emosi. Tubuhku rasanya remuk, meski sudah berendam air hangat tetap saja rasanya masih tetap sama. Aku butuh pijitan.
Aku tersentak saat menerima panggilan dari Hiro. Apa lagi sekarang? Tidakkah pria itu mau memberikanku waktu untuk tenang.
“Ada apa?” tanyaku tanpa mengucapkan salam. Aku kesal Hiro merusak hariku.
“Kau belum melihat email? Aku diteror lagi,” ujar Hiro kesal. Aku tersenyum geli mendengar pengaduannya. “Astaga, aku bisa gila karena kalian.”
“Aku akan cek sekarang.”
“Baguslah, lebih cepat lebih baik. Aku bosan melihat namanya di emailku.”
“Iya, bosku.”
Sambungan terputus,. Dengan tergesa-gesa aku membuka pesan dari Jun Hee.
Aku sudah di rumah
Balasku. Aku menunggu jawaban dari Jun Hee dengan jantung berdebar.
Boleh Vidcall? Skype?
Aku memekik senang. Seluruh tubuhku rasanya memanas. Hanya tiga kata membuatku melayang.
Boleh.
Jawabku. Jun Hee benar menghubungiku. Untuk pertama kalinya setelah kami berpisah aku bisa melihat wajah tampannya. Meskipun dia terlihat berbeda dengan rambut yang dicukur pendek.
“Hai,” sapanya. Senyumnya masih manis, bahkan lebih manis dari saat bertemu.
“Hai,” jawabku. Rasa canggung membuatku blank. Awalnya aku ingin berbicara banyak dengan Jun Hee tapi seketika pertanyaanku semua hilang. Aku gugup.
“Kau sepertinya kelelahan. Apa Hiro memaksamu bekerja?” tanya Jun Hee. Walau dia jauh tapi tetap perhatian.
“Tidak, aku hanya kurang tidur.”
“Kenapa seperti itu?”
Karena aku mikirin kamu, ujarku dalam hati.
“Mungkin kelelahan karena … honeymoon.”
Aku sungguh malu mengatakannya.
“Kau mau honeymoon yang sebenarnya? Itu lebih melelahkan,” ujar Jun Hee. Pria itu tertawa. Aku bisa menebak apa isi pikirannya.
“Lucu sekali,” ejekku.
Jun Hee berhenti tertawa. Ia menunduk sejenak sebelum menatapku kembali.
“Sasya, maaf aku tidak akan bisa menghubungimu sesering mungkin,” ujarnya. “Beberapa bulan kedepan aku harus bekerja full.”
“Apa? Tunggu kau bekerja di mana?” tanyaku penasara.
“Mungkin jika di drama korea aku adalah Kapten Yoo Si Jin yang tampan.”
Aku tertegun. Apakah Jun Hee seorang tentara? Itu berarti dia akan pergi untuk berperang?
“Kau akan pergi?” tanyaku lemas.
“Iya.”
“Ke mana?”
“Timur Tengah.”