Pria Misterius

1245 Words
Hari ini terasa lebih berat untukku. Setelah mengetahui kenyataan bahwa Jun Hee  akan pergi ke Timur Tengah. Malam kemarin aku tidak bisa tidur sama sekali. Aku khawatir dengannya. “Hei, ada apa? Lo lagi galau ya,Sas?” Raya duduk di depanku. Setelah fotocopy beberapa dokumen gadis itu terlihat lebih santai. “Siapa yang galau?” “Itu muka kenapa dilipat segala?” Aku memalingkan wajah menatap mesin fotocopy yang masih menyala. Perasaanku tiba-tiba tidak enak, segala pikiran buruk berkecambuk. Kata-kata Jun Hee selalu terngiang di telingaku. “Jangan-jangan lo lagi jatuh cinta,” tebak Raya. “Sok tahu.” “Nah, benarkan lagi galau. Akhirnya seorang Sasya Kamila jatuh cinta,” goda Raya. Apa iya aku jatuh cinta? Secepat itukah? Bahkan untuk melupakan Kevin saja aku perlu waktu bertahun-tahun. Sedangkan aku mengenal Jun Hee baru beberapa hari. Itu mustahil. Aku rasa itu bukan cinta, mungkin sekadar kagum pada seorang pria. “Aku gak jatuh cinta. Sudah jangan buat gossip, aku mau lanjut kerja.” “Eh, marah. Jujur saja jangan bohong. Nanti diambil orang baru tahu rasa.” “Bodo amat.” Kuhempaskan tubuhku di sofa ruang kerjaku. Rasanya aku ingin pulang bermalas-malasan untuk menenangkan pikiran. Bekerja pun rasanya percuma karena pikiranku entah kemana. Tok… tok…tok Pintu ruanganku sedikit terbuka. Hiro menyembulkan kepalanya dari luar. Pria itu tersenyum lebar sampai mata sipitnya tak terlihat. Apa lagi sekarang? Apa dia mau melemparku pada buaya betina yang kelaparan? “Kata Raya kamu lagi jatuh cinta? Sama siapa?” tanya Hiro dari luar. Pria itu hanya memasukkan kepalanya. Kuhembuskan napas kesal. Sekarang Hiro ikut-ikutan. “Dia bohong, aku Cuma lagi suntuk.” “Kamu pasti bohong.” “Kenapa kalian gak percaya sih?” Aku mendelik menatap Hiro yang nyengir kayak kuda. Pria itu pasti berpikir yang tidak-tidak. “Jatuh cinta pun gak masalah, yang penting cuma satu?” “Apa?” tanyaku judes. Penasaran juga apa yang ingin Hiro bilang. Jarang-jarang dapat petuah darinya. “Cowoknya Jun Hee hahaha.” Aku melemparinya dengan bantal tapi sial Hiro sudah menutup pintunya. Tawa iblis itu terdengar menggema di lorong kantor. Aku coba mengumpulkan kembali fokusku. Hari ini pekerjaanku cukup banyak dan besok aku harus sidang. Bagaimana pun juga aku tidak mau mengecewakan clientku. *** Tok… Tok… Tok… “Sidang hari ini selesai.” Aku menutup mata sejenak. Hari yang panjang untuk berdebat di depan hakim ketua. Satu hal yang tidak bisa kupercaya bahwa pengacara lawanku adalah Kevin. Kenapa selama ini aku tidak pernah tahu kalau Kevin seorang pengacara. Aku pikir pria itu seorang pembisnis atau karyawan di sebuah perusahaan ternama, karena aku tahu dia sangat pintar. “Kau sangat mengagumkan tadi,” ujar Kevin saat kami berada di luar. “Apa ini ejekan atau pujian?” “Aku tidak bercanda, Sasya, kau sangat mengagumkan tadi. Aku sedang memujimu.” Aku menatapnya dengan senyum tipis. Jujur aku merasa gugup selama persidangan. Kevin selalu menatapku. “Terima kasih.” Aku berlalu dari hadapannya tapi Kevin mencegatku. Kulirik tangannya yang mencekal lenganku. “Maaf,” ujarnya sambil melepaskanku. “Apa kau mau makan malam denganku. Ini sebagai perayaan pertemuan kita kembali. Kau ingin menebus kesalahanku saat itu.” Aku menatapnya datar. Apa dia sudah gila? Makan malam berdua hanya untuk menebus kesalahan. Aku bukan gadis remaja yang baru merasakan cinta. Dia pikir aku bisa dibohongi. “Aku sibuk, maaf.” “Tapi sekali ini saja, ya, Sasya,” ujarnya dengan wajah memelas. Dia tahu kelemahhanku dan dia melakukannya. “Baik, hanya sekali tidak akan pernah lagi,” ujarku seraya pergi dari hadapannya. “Aku akan menunggumu di restaurant itu,” teriaknya. Aku mengabaikan Kevin. Pria itu mulai gila. Aku yakin kalau Raina tahu kami makan malam bersama pasti gadis itu mengeluarkan tanduknya. Raina sangat mencintai Kevin, aku bisa melihat dari sorot matanya. Kevin selalu benar di matanya walau pun pria itu yang salah. *** Raya dan Hiro mengernyitkan alisnya saat mendengar permohonanku. “Pria itu sudah gila?” tanya Raya. “Mungkin dia muai terobsesi sama kamu Sasya,” ujar Hiro. “Jadi, kalian mau ikut?” Mereka melipat tangannya di depan d**a kemudian mengangguk. “Aku ikut.” Malam itu untuk pertama kali kami bertiga makan malam bersama. Sejak Hiro menikah kami jadi jarang pergi bersama. “Gue sudah cantik belum?” ujar Raya sambil memperbaiki rambutnya. “Sudah cantik. Tumben kamu dandan?” tanyaku pada Raya. Aku memicingkan mata membuat wajahnya merona. “Kali aja gue nemu calon suami, lumayankan.” Dari dulu Raya selalu bilang mau cari calon suami tapi pacar saja belum punya. Aku tahu Raya tidak punya banyak teman lelaki sama sepertiku jadi tidak heran kalau kami sehati dan senasib. “Sudah yuk. Hiro sudah nungguin tuh.” Kami bertiga jalan beriringan masuk ke restaurant korea tempat pertama kali aku menjumpai Kevin dan Raina setelah pulang dari pulau cinta. Keadaan restaurant cukup sepi saat kami tiba. Aku tersenyum melihat Kevin duduk di meja dekat jendela. “Maaf menunggu lama,” ujarku padanya. Kevin tersenyum lebar namun itu tidak bertahan lama karena pria itu langsung melenyapkan senyumnya saat Raya dan Hiro bergabung “Ini Hiro bosku. Kebetulan kami berencana makan malam jadi sekalian saja aku ajak. Tidak masalahkan?” Hiro mengulurkan tangannya dan Kevin menyambutnya. Setelah perkenalan itu kami langsung memesan makanan. “Jadi kamu juga seorang pengacara?” tanya Hiro pada Kevin. Aku bersyukur Hiro mau ikut setidaknya Kevin ada teman bicara dan aku tidak perlu repot-repot menanggapinya. “Iya, aku pengacara. Beberapa bulan yang lalu baru pulang dari Singapura.” “Wow,Internasional Lawyer?” tanya Hiro. Aku menatap Kevin penasran. Apa dia sehebat itu? Nyaliku jadi ciut melawannya di pengadilan. Tiga hari lagi pembacaan keputusan dari hakim. Aku jadi was-was. “Bukan. Aku baru menikah di sana.” “Ohh,” ujar kami bertiga serempak. Aku pikir dia seperti ‘pria panas paris’ yang banyak digandrungi wanita cantik dan seksi. Obrolan kami berlanjut, tidak ada yang special lagi. Hanya membahas pekerjaan tidak lebih. “Aku dan Raya pulang dulu. Sampai jumpa lagi,” ujarku. Segera kutarik tangan Raya ke dalam mobil. Berlama-lama bersama Kevin membuat aku tidak nyaman.  Ada rasa takut yang terus meghantui. “Thanks ya, Raya. Hati-hati di jalan, jangan ngehalu mulu,” nasihatku pada sahabat cantik dan manis satu-satunya. “Iya, Mak, Raya gak halu lagi.” “Kapan aku jadi emak mu. Sudah ya aku masuk dulu, bye.” “Bye.” Aku melambaikan tangan pada Raya sampai gadis itu pergi meninggalkan apartemenku. Tubuhku rasanya remuk, aku butuh mandi air panas dan istirahat lebih awal. Keadaan apartemen cukup sepi sedikit seram juga sih karena biasanya ada satu satau dua orang yang selalu berpapasan denganku. Tapi hari ini benar-benar sepi. Aku terdiam saat melihat seseorang dengan topi hitam bersender di tembok tepat di depan kamarku. Lampu kuning yang ada di lorong tidak cukup membuat diriku melihat wajahnya. Kugenggam erat tas yang kubawa untuk menghilangkan rasa takut. Belum pernah aku melihat pria itu berada di apartemen. Apa dia orang baru? Suasana yang sepi membuat suara sepatuku menggema di sepanjang lorong. Jarakku semakin dekat dengan  pria itu namun dia hanya diam tidak bergeming sedikit pun. Tanganku gemetar merogoh tas untuk mencari kunci apartemen. Jantungku berdebar kencang saat kunci itu tidak kunjung aku temukan. Sial, kemana kuncinya. Aku mencarinya dengan panik. Beruntung aku menemukan kunci itu terselip di buku catatan. Dengan tangan gemetar aku membuka pintu apartemen. Klinting…. Kunci itu terlepas saat pria misterius itu menarikku. Napasku tercekat ketika dia menghimpitku ke pintu. “Si-siapa kau?” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD