Pulo Cinta
Beban berat terasa menguap dari pundakku seiring ketukan palu oleh sang hakim. Persidangan sengketa ‘pisang ambon’ itu pun selesai dengan hasil yang memuaskan. Tentunya aku merasa lega bisa membantu client-ku. Rendra namanya, seorang pria muda yang baru saja bercerai dan kini terseret kasus ‘pisang ambon’ dalam ujaran mantan istrinya di sosial media.
Aku tidak akan mengatakan hal yang lebih detail lagi mengenai kasus itu, sedikit rumit dan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Namun pada akhirnya client-ku yang memenangkan.
“Terima kasih, Sasya. Kamu selalu bisa diandalkan.”
“Kau tidak bersalah jadi mudah saja bagiku.”
Rendra menyeruput minumannya. Kopi hangat dan sepotong roti menjadi pembuka makan siang kami. Aku yakin Rendra belum sarapan karena tadi pagi-pagi sekali dia menghubungiku hanya untuk memastikan aku sudah siap dengan segala berkas dan tentu tidak ada yang terlewatkan. Akhir-akhir ini Rendra tidak bisa tidur, itu yang dikatakannya padaku saat kami bertemu di pengadilan pagi tadi. Dia pria yang baik namun harus menerima pil pahit perceraian di usia muda.
Aku menggigit nikmat cinnamon roll yang ada di atas piring. Ini adalah salah satu makanan favoritku ketika selesai dengan persidangan. Sungguh hari-hari seperti ini membosankan. Entah kapan bos tampan itu akan melepaskan diriku untuk bisa merasakan nimatnya jadi seorang jomblo. Mengingatnya membuat aku kesal.
“Kau sepertinya betah bekerja dengan Tanaka,” ujar Rendra. Kopi yang ia pesan sudah habis begitu pula dengan sepotong pie yang kini sudah lenyap.
“Ya, dia bos yang baik sekaligus bos yang jahat.”
Tentu sepanjang tahun lalu, Hiro Tanaka—bosku-- tidak memberi cuti sehari pun gara-gara persiapan pernikahannya. Tentu saja aku yang akan memimpin perusahaan selama dia pergi. Enam bulan bukan waktu yang singkat, dan selama itu pula aku berubah menjadi zombie. Bekerja siang dan malam menghandel client yang sifatnya ajaib dan unik. Belum lagi setiap saat harus berkutat dengan ratusan pasal dan undang-undang.
“Kalau kau bosan bekerja dengannya, aku mungkin bisa membantu. Aku butuh sekertaris,” ujar Rendra seraya menyenderkan tubuhnya.
Pria itu duda, meski belum memiliki anak. Kata Raya aku harus hati-hati dengan yang namanya duda, karena mereka lebih hot. Tapi aku tidak percaya. Aku pikir semua pria itu sama, dan suatu hubungan bukan diukur hanya dari kepuasan di atas tempat tidur.
“Terima kasih, tapi aku masih mencintai meja kerjaku.” Jawabku.
Ya, hanya meja kerja tidak ada hal lain. Meja itu memiliki kenangan yang indah di mana ada kejadian yang eksotis di atas sana. Bukan sesuatu yang berbau dewasa karena aku jomblo, tapi peristiwa saat client-ku melakukan hal-hal aneh yang terkadang membuat aku sendiri gigit jari. Ponselku berdering, Raya menelepon, sepertinya ada hal penting.
“Ren, aku pergi duluan. Ada hal urgent,” ujarku sambil menyampirkan tas jinjing di bahu. Rendra berdiri dari duduknya dan menawariku tumpangan, namun aku menolaknya . Bukan karena dia duda, tapi aku tidak mau merepotkannya. Dia pasti lelah.
“Thank cinnamon rollnya,” ucapku seraya berlalu.
Aku berjalan cepat keluar dari café. Ponselku terus berbunyi, kali ini dari bosku. Mereka pasti cemas mencari keberadaanku saat ini karena aku belum mengabari keberadaanku saat sidang usai.
“Iya, Bos?”
“Kau di mana?”
“Aku masih di jalan menuju kantor. Ada apa?”
Aku menyetop taxi yang lewat di depanku. Kujauhkan ponsel untuk menyebutkan alamat kantor.
“Sebentar lagi aku sampai. Sabarlah,” kataku sebelum mematikan panggilannya.
Lalu lintas terpantau padat dan aku mulai kesal terjebak macet di saat genting. Makian tidak akan cukup membuat jalanan kembali lancar. Ayolah, jangan lagi. Tanaka bisa marah seharian jika aku belum sampai di depannya dalam waktu 10 menit. Bosku orang yang disiplin dan tepat waktu. Dia bisa murka jika aku telat satu menit. Itulah kenapa banyak client yang puas dengan pelayanan kami.
Aku merasa lega saat taxi berhenti di sebuah gedung berlantai 30. Perusahaan tempat kerjaku berada di lantai 9 dan kini aku butuh beberapa menit agar bisa sampai di sana. Aku sudah pasrah melihat waktu yang terus berputar. Ini sudah lebih dari 10 menit aku bisa prediksi jika Tanaka akan mengoceh tidak jelas.
Ting …
Suara lift terdengar seperti lonceng neraka bagiku. Kurapikan bluse dan rambut yang sedikit acak-acakan karena lelah menunggu jalanan macet.
“Maaf aku terlambat. Mobil di depanku tidak bergerak jadi perlu waktu lebih,” ujarku pada pria yang kini duduk santai di kursi kerjaku. Dia tersenyum membuat aku merinding. Oh, pasti ada sesuatu yang buruk. Hiro Tanaka sangat jarang tersenyum tapi kali ini tidak ada hujan tidak ada angin dia tersenyum lebar sampai mata sipitnya tenggelam tak terlihat.
“Macet?”
Satu kata itu membuat diriku tersenyum. Itu alasan setiap kali aku terlambat. Itu bukan alasan yang mengada-ada, itu benar terjadi padaku dan aku hanya bicara jujur. Aku mengangguk membenarkan tebakannya. Aku duduk di depannya seraya menopang dagu. Aku malas untuk bekerja hari ini, ingin aku berteriak, “Hiro Tanaka aku ingin liburan. Izinkan aku cuti seminggu.” Namun itu hanya ada dalam benakku.
Karena nyatanya aku hanya diam, duduk manis di depan bosku yang sedang memainkan ponselnya. Ironis, aku tidak berani mengutarakan isi hatiku yang terdalam. Bukan takut dipecat tapi terlebih karena tidak enak hati sudah menggagalkan honeymoon bos tercintaku dengan sebuah kasus yang tidak bisa aku tangani sendiri. Meminta bantuan teman lain? Mereka juga sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Maafkan aku Hiro, aku turut berduka atas kejadian itu.
“Sasya kamu mau liburan?”
Aku terkejut mendengar dia menanyakan hal itu. Tentu saja aku butuh liburan, selama ini aku tidak pernah ambil cuti. Aku terus bekerja dan bekerja sampai aku membenci ruanganku sendiri karena terlalu sering melihatnya. Aku hanya butuh libur tenang walau seminggu. Itu sudah cukup.
“Aku punya paket honeymoon, hanya saja—“
“Benarkah?”
Aku memotong perkataannya. Rasa bahagiaku tidak terkira. Keinginan terbesarku selama ini adalah merasakan honeymoon di sebuah tempat yang indah sebelum usiaku 30 tahun dan sialnya tujuh bulan lagi usiaku genap 30 tahun. Aku ingin menikmati fasilitas bulan madu walau tanpa pasangan. Aku hanya penasaran kenapa setiap pasangan selalu menjadikan honeymoon hal terindah. Kalau untuk melakukan ‘itu’ di rumah pun bisa. Tidak perlu mengeluarkan biaya mahal atau meninggalkan pekerjaan.
“Dengarkan aku dulu, Sasya.” Hiro menatapku jengkel.
Ia sudah hafal sifatku yang berlebih jika menyangkut honeymoon. Aku duduk manis di depannya seperti anak TK yang diberi permen. Aku tidak sabar mendengar kelanjutannya. Sejak tahun lalu aku sudah merencanakan single honeymoon. Untuk diriku sendiri.
Alasannya? Karena aku tidak mau menikah, jika menikah hanya berakhir perceraian untuk apa. Ya, meski tidak semua tapi kebanyakan client-ku seperti itu dan itu membuatku takut untuk menikah. Memimpikan saja tidak. Daripada menikah aku lebih tertarik dengan honeymoon. Semua berawal dari sebuah bloger yang membahas honeymoon dengan fasilitas yang wow. Aku ingin mencobanya hanya karena penasaran tidak lebih.
“Aku punya seorang teman, dia baru saja menikah tapi sayang istrinya meninggal karena serangan jantung di hari pernikahannya.”
“Jadi masalahnya apa antara aku, dia dan honeymoon?”
“Pesan terakhir istirnya tertulis bahwa dia ingin suaminya tetap pergi bulan madu. Dia harap suaminya mengabulkan permintaan itu,” ujar Hiro.
Aku terdiam dengan sebelah alis terangkat. Apa istrinya tidak memikirkan perasaan suaminya untuk honeymoon sendiri? Ini sedikit konyol tapi menarik. Aku yang bermimpi bisa honeymoon sendiri tapi orang lain yang merasakan. Aku masih beruntung belum menikah tapi pria itu? Bayangkan saja sendiri bagaimana perasaannya.
“Jadi apa kau mau menemaninya? Bukankah kau berencana akan bulan madu, sendiri?” ujar Hiro menekankan kata sendiri pada ucapannya.
“Tentu sendiri, bukan berpasangan,” ucapku tegas.
Kedua tanganku meraih laptop yang ada di atas meja. Lebih baik melanjutkan pencarianku pada honeymoon travel untuk liburku bulan depan. Hiro menutup laptopku, dia menyingkirkan benda kesayanganku di bawah meja. Aku mencebik kesal.
“Sendiri itu tidak enak. Apa kau mau ‘bulan madu’ bersama temanku?”
Matanya melotot meski nada suaranya terkesan biasa saja namun ada paksaan dari setiap mimik wajahnya. Pembicaraan kami semakin serius. Aku bisa melihat dari mata Hiro jika ia sedang membutuhkan bantuan. Beberapa kali mencoba menolaknya tapi pria itu selalu bisa membuatku terdiam.
“Apa yang aku dapatkan?”
Hiro tersenyum. Pria asal Jepang itu senang mendengar jawabanku. Percuma jika aku melawan dia punya banyak cara supaya aku menerimanya, seperti ancaman tidak boleh libur, bekerja di akhir minggu dan masih banyak ancaman yang bisa dia berikan padaku. Lagi pula jika dipikir lagi tidak buruk juga honeymoon bersama seseorang.
“Kau bisa mendapat libur berbayar dan tentunya semua fasilitas yang akan kau dapatkan gratis. Kecuali jika kau menyewa kamar yang berbeda, itu tidak termasuk.”
Penawaran yang luar biasa. Aku tidak perlu mengeluarkan uang untuk berlibur dan gajiku tetap sama seperti kerja full time. Hiro adalah bos terbaik, ia mengerti akan keinginan karyawannya tapi juga bos yang sesat membiarkan perawan sepertiku berduaan dengan duda baru.
“Deal,” ujarku menyambut uluran tangan Hiro.
***
Sebuah koper besar berwarna hitam kini berada di sampingku. Mataku menatap satu per satu orang yang yang melintas. Meski masih mengantuk karena hari ini masih jam 01. dini hari. Kutepuk pelan kedua pipiku agar tetap terjaga. Mencari seorang Song Jun Hee tidaklah mudah. Pria Korea tulen itu akan menjadi teman honeymoon-ku selama tiga hari dua malam di Pulo Cinta. Sangat romantis bukan? Tapi sayang aku merasa kasihan dengan pria itu yang harus terjebak dengan orang asing sepertiku.
Aku merasa bersalah pada mendiang istrinya seharusnya aku tidak lancang menerima tawaran Hiro untuk menemani Tuan Jun Hee honeymoon. Bahkan Raya sempat memarahiku habis-habisan karena ia khawatir dengan keselamatan diriku. Honeymoon hanya untuk pasangan yang telah menikah tapi aku dan Tuan Jun Hee? Boro-boro menikah kenal saja tidak. Kami orang asing yang akan menikmati indahnya bulan madu. Aku akan membuat teman-temanku iri.
Seorang pria berambut panjang yang menutupi dahinya datang menghampiriku. Dia menatapku dengan pandangan err… sexy. Tubuhnya tinggi, tidak terlalu gemuk atau kurus, dari segi postur dia sempurna. Namun dia terlihat sedikit kacau dengan pakaiannya yang kusut. Inilah jadinya kalau pria tidak diurus perempuan.
“Nona Sasya?” ujarnya memanggil namaku.
“Song Jun Hee?” tanyaku memastikan.
Dia mengangguk dan mengeluarkan ponselnya. Aku bisa membaca pesan dari Hiro tentang diriku. Aku tersenyum kaku membaca sederet kalimat yang mengatakan aku masih perawan. Sial. Hiro benar-benar membuat aku malu. Untuk apa dia mengatakan hal konyol seperti itu pada pria asing yang belum aku kenal.
“Ayo berangkat,” ujarnya membuat aku sedikit termangu.
“Kau bisa bahasa?” tanyaku dan dia mengangguk. Lega rasanya jika dia mengerti Bahasa Indonesia. Tidak terbayang nanti kami berkomunikasi dengan bahasa masing-masing yang tentu akan sulit untuk dipahami dan mungkin terdengar aneh.
Perjalanan sekitar 2 jam tanpa transit dari Jakarta ke Gorontalo cukup membuatku kelelahan. Setelah menginjakkan kaki di bandara Jalaludin sekitar pukul 06.10. Kami pun dijemput oleh seorang pria yang merupakan pengelola resort Pulo Cinta. Resort itu akan menjadi tempat menginap kami selama dua malam. Tidak ada percakapan yang berarti selama di pesawat. Song Jun Hee hanya diam tanpa banyak bicara. Walau setiap aku bertanya dia menjawab dan setelah itu hening. Dia mengabaikanku dan aku tidak peduli.
Perjalanan kami lanjutkan ke Pelabuhan Boalemo yang memakan waktu kurang lebih 2 jam dari bandara. Selama perjalanan menuju dermaga aku tertidur. Kantuk menyerangku dan aku tidak sanggup lagi membuka mata. Aku bahkan tidak merasakan apa pun lagi. Tepukan halus di pipiku membuat aku terbangun. Song Jun Hee menatapku lekat membuat jantungku berdebar. Aku tidak tahu sejak kapan aku bersandar di bahunya. Mungkin selama perjalanan tadi.
Kutegakkan tubuhku dan tersenyum canggung padanya. Apalagi bahunya harus basah karena air liurku.
“Maaf,” ujarku sambil menujuk pulau buatan yang ada di bahunya.
“Lupakan saja,” ujarnya dingin.
Perjalanan kami lanjutkan menggunakan speed boatuntuk sampai ke resort. Butuh waktu 15 menit untuk bisa melihatnya indahnya pulo cinta. Inikah yang dinamakan Maldives-nya Indonesia? Aku merasa takjub melihat keindahan pulau itu. Resort yang akan kami tempati berada di atas air. Aku tidak pernah membayangkan bisa honeymoon di tempat seindah ini.
Kulirik pria di sebelahku yang terdiam seperti patung. Aku merasa bersalah sekaligus kasihan padanya. Moment yang romantic ini harusnya dia bersama istrinya. Mata kami bertatapan meski Song Jun Hee mengenakan kacamata namun bisa kurasakan jika dia tidak menikmati perjalanan ini.
Jun Hee menatapku, tiba-tiba dia menggenggam erat kedua tanganku. Hati ini berdebar, belum pernah seorang pria melakukan hal seperti ini untukku. Aku merasa seperti ABG yang baru mengenal cinta. Kami berpandangan cukup lama layaknya sepasang sejoli yang dilanda asmara.
Song Jun Hee mendekat menundukkan tubuhnya yang tinggi. Aroma maskulin menggoda hidungku. Jarak kami sangat dekat membuat jantungku menggila. Inikah yang dikatakan Raya, jika duda itu lebih hot.
“Sasya … jadilah istriku selama bulan madu ini.”
“Eh?”
TBC
Apakah yang akan terjadi dengan Sasya dan Song Jun Hee?
Ada yang mau lanjut?