Aku tidak bisa mengontrol perasaan ini lagi. Jun Hee secara illegal mencuri ciuman pertamaku. Kami baru sehari sampai di tempat ini tapi pria itu sudah mendapatkan first kiss-ku. Bagaimana kalau kami tinggal lebih lama. Aku tidak ingin Jun Hee bertindak lebih jauh.
Air mata kembali tergenang. Aku merasa malu dengan Kevin dan Raina melihat ciuman tidak pantas dari Jun Hee. Apa yang harus aku katakana pada mereka jika kami bertemu kembali? Kevin pasti berpikir yang tidak-tidak tentangku.
“Berhentilah menangis. Itu hanya sekedar ciuman tidak akan membuatmu hamil,” ujar Jun Hee tanpa rasa bersalah. Jun Hee terlihat santai memainkan ponselnya sambil meminum kopi.
Tidak ada kata maaf yang keluar darinya. Aku benci pria itu. Setelah menciumku dia malah menyeretku pergi. Jun Hee menyebalkan dia benar-benar membuat aku kesal hari ini.
Cahaya matahari mulai redup, udara terasa dingin ketika pria kurang ajar itu membuka pintu depan penginapan. Kuhapus air mata yang mulai mengering di pipiku. Tubuhku terasa lengket karena keringat. Aku belum mandi saat tiba di resort sedangkan Jun Hee sudah dua kali membersihkan badannya.
“Sasya, kemarilah.”
Ada apa denganku, kenapa aku tidak suka mendengar suara itu. Jun Hee selalu bersikap biasa seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami. Aku enggan menyahutnya.
“Aku mau mandi. Jangan ngintip,” ujarku kesal.
Jun Hee tertawa, ia menatapku dengan mata sipitnya. Kenapa dia terlihat tampan? Membuat mata ini tidak bisa berpaling darinya. Sasya sadarlah jangan terpesona dengan pria itu, rutukku dalam hati.
“Kenapa kau tertawa?” tanyaku galak. Bukannya diam Jun Hee semakin terpingkal. Aku tidak mengerti apa yang ada di pikiran pria itu. Dia aneh, aku harap Jun Hee bukan makhluk luar angkasa yang tersesat di bumi.
“Apa yang perlu diintip? Ukurannya kecil,” celetuk Jun Hee.
Ukuran kecil? Apa itu? Jun Hee menatapku yang kebingungan. Dia menunjuk sesuatu yang aku tidak mengerti. Aku menunduk mencari tahu apa yang dimaksud pria itu.
Kecil? Kecil? Ke….
“AAAA…. Pria m***m!” pekikku sambil menyilangkan tangan di depan d**a. Jadi Jun Hee memperhatikan ‘itu’ sejak tadi? Aku menyesal telah menerima tawaran berlibur dengan orang semesum Jun Hee. Hiro kau tega sekali melempar diriku yang masih suci ini pada buaya darat. Aku mulai merasa keperawananku terancam.
Aku berlari masuk ke kamar mandi, mendengar Jun Hee masih terbahak membuatku ingin memukulnya habis-habisan. Kalau membunuh tidak dosa mungkin sudah kulakukan sejak tadi. Jun Hee tidak bisa dipercaya, pria itu terlalu bahaya untuk gadis polos sepertiku.
Aku termenung. Duduk di atas closet membuat perasaanku lebih tenang. Mungkin karena sudah tidak melihat wajah menyebalkan Song Jun Hee yang tertawa tidak tahu aturan itu.
“Sasya, buka pintunya aku ingin buang air,” ujar Jun Hee sambil mengedor pintu kamar mandi tanpa akhlak. Apa lagi sekarang? Kenapa Jun Hee tidak pernah membuatku tenang?
Aku mendengkus, biar saja dia kencing di celana. Sukurin siapa suruh buat aku kesal. Jun Hee tidak menyerah ia selalu bisa membuat kesenanganku hancur. Bahkan di kamar mandi pun terasa menyebalkan sekarang.
“Iya aku keluar,” sahutku. Baru saja kuputar kunci pintu, Jun Hee langsung menerobos masuk tanpa permisi. Tanpa rasa malu pria itu melepaskan ikat pinggangnya dan ….
“AAAA…” kututup pintu kamar mandi dengan kasar. Mataku yang suci ini ternoda.
“Aku tidak melihatnya. Aku tidak melihatnya. Aku tidak melihatnya,” rapalku bagaikan mantra. Ini pertama kalinya bertemu pria sinting seperti Jun Hee. Tidakkah dia malu telanjang di depan wanita. s**t, aku akan memukulnya sampai pingsan.
“Maaf, aku kira kau sudah keluar. Aku sudah diujung,” ujarnya sambil memperbaiki resleting celana. Aku mentapnya dari atas sampai bawah. Siapa pun yang melihat kami saat ini pasti beranggapan jika aku beruntung bisa bersama pria setampan Jun Hee namun justru sebaliknya.
“Aku benar-benar minta maaf.” Jun Hee menatapku lekat.
Aku belum bisa memaafkannya. Mataku sudah tidak suci lagi, dan itu tidak bisa dikembalikan. Aku tidak mau menatapnya sekarang, emosiku masih menggelora.
“Sebagai gantinya bagaimana jika kau ikut aku jalan-jalan. Kau mau?”
Aku melirik Jun Hee dengan ekor mata, tawaran yang menggiurkan. Aku bisa jalan-jalan di malam hari tanpa takut diculik. Aku mengangguk setuju dengan ajakan Jun Hee. Aku juga penasaran kemana pria itu akan membawaku pergi.
Kupatut diri di depan cermin besar selesai membersihkan diri. Kulirik Jun Hee yang tengah menunggu di luar. Baju kaos lengan pendek berwarna putih dengan rok panjang menutupi tepat sampai bawah lututku. Ini pertama kalinya aku memakai rok, tidak mungkin aku keluar dengan hotpans atau celana olah raga. Itu lebih memalukan dan bodohnya aku hanya menyiapkan dua celana jeans panjang.
Jun Hee menepati janjinya. Di luar cottage sebuah perahu telah datang menjemput kami. Jun Hee membantu aku untuk naik ke atas perahu. Aku tersenyum senang melihat pemandangan malam yang indah dan ketenangan laut yang membuat aku nyaman.
Kutatap Jun Hee yang kini menengadah. Aku mengikutinya. Terasa seperti berada di alam bebas, bulan bintang terlihat begitu indah. Aku bisa melihat ribuan bintang di langit luas dan gelap.
“Indah bukan?”
Kami saling berpandangan sebelum kembali menatap bintang di langit.
“Waktu aku kecil aku sangat suka menatap langit. Berharap suatu hari nanti aku bisa mengambil satu diantara ribuan bintang, Tapi sampai sekarang keinginan itu belum tercapai,” ujar Jun Hee.
“Itu sangat mustahil. Bintang hanyalah sebuah batu yang bersinar. Tidak seindah yang dulu kita bayangkan,” kataku. Jujur saja aku pun memiliki keinginan yang sama waktu kecil, tapi setelah tumbuh dewasa aku mulai paham jika bintang itu sangat jauh dan sulit untuk digapai.
“Kau benar, itu hanya sebuah batu.”
Perahu terus berlayar mendekati bibir pantai. Kami terdiam sampai perahu benar-benar berhenti di tempatnya. Jun Hee mengulurkan tangannya padaku untuk membantuku turun dari perahu. Setelah mengucapkan terima kasih kami pun mulai menyusuri bibir pantai.
Lampu-lampu kuning menghiasi cottage yang kami tempati. Sangat indah jika di lihat dari jauh dan sangat nyaman ketika berada di sana. Kami memutuskan untuk duduk di atas pasir putih, menikmati malam sambil menonton bintang di langit.
“Jun Hee, boleh aku bertanya sesuatu?” tanyaku ragu. Sebenarnya aku tidak ingin mengetahui masalah pribadinya tapi pikiranku selalu mengusik hingga membuatku gelisah.
“Tentang apa?”
“Tentang istrimu. Maaf tapi….”
“Kau ingin bertanya apa?”
Aku terdiam mendengar jawaban Jun Hee, aku pikir jika pria itu akan marah padaku atau bersedih. Tapi Jun Hee terlihat tegar.
“Kenapa kau memutuskan untuk tetap berbulan madu?”
Jun Hee menatapku dia tersenyum sebelum memandang laut yang tenang.
“Dia wanita yang perhatian. Dia tahu aku workaholic, jadi dia memaksa diriku untuk tetap pergi berbulan madu seperti yang direncanakan sebelumnya,” jelas Jun Hee.
“Apa memandang bintang juga bagian dari rencana kalian?” tanyaku.
Kami saling berpandangan. Kupalingkan wajahku menatap penginapan kami yang berada jauh di sana. Jun Hee masih diam. Entahlah apa dia masih menatapku atau tidak yang jelas aku merasa canggung.
“Aku tidak tahu apa yang direncanakannya. Dia memberiku sebuah buku tapi aku belum sempat membukanya. Dia bilang di dalam buku itu ada beberapa list yang ingin dilakukannya selama honeymoon.”
Aku mulai tertarik dengan buku yang dimaksud Jun Hee. Apa yang akan direncanakan wanita pada saat honeymoon? “Boleh aku melihatnya?” Jun Hee menaikkan satu alisnya. Walau pun permintaanku konyol tapi Jun Hee tetap mengangguk.
“Apa dia adalah cinta pertamamu?”
Jun Hee tersenyum sepertinya dia sedang membayangkan masa lalunya bersama istri tercinta. Ya, meski mereka harus berpisah sebelum memulai bahtera rumah tangga yang sesungguhnya.
“Kenapa kau ingin tahu?”
“Apa aku tidak boleh tahu?”
“Tidak.”
“Pelit.”
“Biarin.”
"Nyebelin."
"Kamu juga."
Adu mulut tidak bisa kami hindari. Jun Hee yang awalnya aku pikir adalah pria dingin dan cuek ternyata memiliki kepribadian yang hangat. Pria itu selalu bisa membuat aku tertawa, kesal dan marah.
Angin bertiup sedikit kencang menghantarkan udara dingin yang menusuk tulang. Aku menyesal memilih kaos berlengan pendek yang tipis untuk malam ini. Kuusap lenganku dengan tangan berharap rasa dingin perlahan bisa menghilang. Namun angin kembali bertiup membuat tubuhku menggigil.
Kuraskan tubuhku menghangat ketika sebuah kemeja berwarna-warni khas pantai membalut tubuhku. Kulirik Jun Hee yang kini hanya memakai kaos putih ketat membungkus tubuh kekarnya.
“Pakailah, aku masih kuat dengan dinginnya,” ujar Jun Hee dengan senyum manis. Aku pun ikut tersenyum. Malam semakin larut dan angin semakin dingin berhembus membuat kami memutuskan untuk kembali ke penginapan. Jun Hee terlihat tenang, rambut panjangnya berkibar tertiup angin. Dia pria yang tidak terlalu buruk terlepas dari sifat menyebalkan.
“Jun Hee berapa usiamu?”
Jun Hee menatapku sebelum dia menjawab, “28 tahun usia internasional.”
Eh? 28 tahun? Apa aku tidak salah dengar? Mimpi apa aku kemarin malam sehingga aku bisa terjebak dengan brondong di sebuah pulau romantis. Ya Tuhan kenapa Kau mempertemukan aku dengan brondong tampan?