[EVRA'S POV]
Tamu-tamu undangan sudah mulai berdatangan. Aku baru selesai dengan semua persiapan. Saat ini sedang menuju ke ruangan tempat Aisyah sedang bersiap-siap. Aku tebak aku akan menunggu lama. Tapi saat aku sampai di depan ruangan, bersamaan dengan pintu dibuka. Aisyah dan beberapa sepupuku keluar dari ruangan.
Tumben cepat.
Aku tak begitu mendengarkan kata-kata sepupuku. Yang jelas, aku mengakui kalau Aisyah terlihat sangat cantik malam ini.
Biasanya aku selalu lihat gadis-gadis dengan pakaian terbuka di pesta. Kebanyakan gadis yang aku kencani selama ini juga seperti itu. Sexy. Tapi melihat Aisyah dengan balutan gaun berhijab seperti ini cukup merubah cara pandangku.
Wew, aku bicara apa? Sudahlah lupakan. Kami langsung saja ke lokasi acara. Sudah terlalu lama tamu-tamu menunggu.
Kolega-kolega bisnisku mengucapkan selamat. Ada yang memang tulus. Tapi aku tau kalau ada juga yang hanya mencari muka. Tapi sudahlah. Selama mereka tidak merugikan, aku akan abaikan.
"Kak Aisyah kayaknya berbaur dengan baik. Lihat, dia bisa cepat akrab dengan tamu-tamu."
Aku pandangi Aisyah yang sedang berbincang sambil tersenyum manis.
"Dia sepertinya wanita yang pintar," tambah Jeje. "Dia bahkan bisa bahasa Belanda."
Pffttttt...
"Mas Vian, oh my god. Jorok," protes Jeje karena aku semburkan minuman yang sudah ada di dalam mulut.
Apa dia bilang barusan?
"Apa yang kamu bilang barusan?"
"Apa?" tanya Jeje sembari mengelapi tangannya dengan tisu. Padahal tidak kena. Jeje terlalu lebay.
"Yang kamu bilang barusan? Ai bisa bahasa Belanda?"
Jeje mengangguk santai. "Dia sepertinya juga mahir bahasa Jerman dan Inggris."
Aku benar-benar merasa seperti baru ditumpahi pupuk kompos sebaskom. Jadi?
"Tapi tenang aja. Obrolan kita malam itu dia nggak dengar, kok. Kata kak Ai dia nggak minat denger."
Apa? Sialan. Kenapa rasanya harga diriku baru saja jatuh?
Setidaknya Ai tidak tau. Itu yang penting. Kuteguk lagi air minumku.
"Tapi Jeje cerita ke kak Ai isi obrolan kita itu."
Uhukkk..
Damn! Tadi muncrat sekarang tersedak. Bagus, Je.
"Mas Vian kenapa sih? Minum tuh pelan-pelan."
Jika saja tidak sayang, sudah kubungkus karung adikku ini. Sudah bagus Aisyah tidak tau, kenapa dia malah menjelaskannya.
"Kenapa Jeje kasih tau?" Tanyaku kesal.
"Ya mana tau kak Ai pengen tau. Tapi kayaknya kak Ai nggak kepo. Dia juga santai aja kayaknya kemaren. Lagian kenapa sih, Mas, kalau kak Ai tau? Bagus dong. Harusnya kan emang nggak ada rahasia antara suami dan istri."
God! Hell! Pintar sekali dia bicara. Dari mana dia dapatkan semua pengetahuan itu?
"Jeje sejak kapan jadi dekat sama kak Ai?" Kenapa aku jadi latah ikutan manggil Aisyah dengan Ai?
Jeje kendikkan bahu. "She is a nice girl and fun."
Ok terserahlah. Aku pandangi Aisyah. Kerumunan yang awalnya dipenuhi ibu-ibu itu kini sudah mulai didominasi oleh laki-laki. Aku tidak bisa biarkan ini.
Kurangkul Aisyah. Itu berhasil membuatnya terkesiap karena kaget. Namun bisa kulihat dia dengan cepat kembali tenang lalu melemparkan senyum padaku.
Acting yang hebat. Beraninya dia berikan senyum itu pada laki-laki lain tadi.
Beberapa pasang mata tampak memandangi kami dengan iri. Beberapa rekan bisnisku yang masih lajang tampak iri melihatku merangkul Aisyah. Lalu dengan sengaja aku eratkan rangkulan dan tak lupa berikan senyuman lebar. Seolah aku adalah orang paling bahagia sedunia hari ini.
Tamu-tamu berikan ucapan selamat. Ada yang mendoakan kami langgeng sampai akhirat. Tak sedikit juga yang doakan kami cepat dapat momongan.
"Doakan saja, Tante. Kalau Evra sih pengennya cepet. Tergantung Ai mau nggak diajak sering bikinnya."
Mataku bertemu dengan Aisyah. Dia melotot. Tapi aku abaikan.
"Duh, ya harus mau dong. Senang nggak nak Aisyah dapat suami ganteng kayak nak Evra ini?"
"Hmmm, iya, Tante.." sahut Aisyah pelan.
"Semangat dong, sayang. Masa nggak semangat gitu? Kan kita belum ngapa-ngapain.."
Aisyah melotot lagi. Tapi aku malah berikan ia senyuman tanpa dosa.
Suara MC hentikan obrolan kami. Masuk ke sesi acara.
"First dancing untuk pengantin baru kita."
Musik mengalun. Para tamu mulai menyingkir, memberikan aku dan Aisyah ruang. Kuraih pinggang Aisyah, lalu satu tangan menggenggam tangannya. Kubawa ia bergerak mengikuti musik.
Tamu-tamu bersorak senan. Tapi fokusku tidak bersama mereka. Fokus ku ada pada manik milik perempuan yang beberapa hari lalu ini sudah aku sah kan sebagai istri.
Aisyah memutus tatapan kami dengan menundukkan wajahnya. Tampak malu.
"Ai.."
Ia menyahut pelan.
"Angkat wajah kamu."
Pelan-pelan ia angkat wajahnya.
"Apa aku yang pertama?" Entah kenapa aku penasaran ingin tau.
Dia mengangguk, "iya."
"Kamu belum pernah dansa sama laki-laki lain?" Rasanya bodoh bertanya begini. Melihat lingkungan Aisyah sudah jelas jawabannya belum. Aku ragu apa dia pernah pacaran. Sepertinya belum juga.
Aisyah menggeleng. Apa aku harus senang? Tidak ingin mengakui, tapi kenapa rasanya ingin tersenyum dengan jawabannya itu?
"Tatap aku.."
Aisyah menurut. Namun wajahnya menyiratkan bahwa ia berusaha keras untuk itu. Untung saja cahaya tidak terlalu terang. Aku yakin pipinya memerah saat ini.
Tamu-tamu sudah mulai ikut berdansa. Kuraih tangan Aisyah, menarik pergi. Membawanya menjauh dari kerumunan.
"Mas, mau ke mana?" tanyanya bingung.
Kami sampai di tempat sepi. Lorong hotel. Kitarik Aisyah agak kesudut, lalu kutarik pinggangnya hingga kami otomatis menempel. Aisyah tampak terkejut. Tanpa kata, kuselipkan tangan ke belakang kepalanya, lalu menariknya mendekat hingga bibir kami menyatu. Aku bisa rasakan lembut bibirnya.
Tak ada perlawanan. Aisyah diam. Kupeluk dia agar semakin menempel. Perlahan Aisyah membalas ciumanku.
***
[AISYAH'S POV]
Ya Allah, ini Mas Evra kenapa, sih? Kenapa tiba-tiba jadi ganas begini? Tadi dia tiba-tiba membawaku pergi di tengah pesta dansa. Dan sekarang dia menciumku di lorong hotel. Ini tempat umum dan ciumannya terlalu ganas. Aku jadi susah bernapas.
Kutepuk-tepuk pelan lengannya, memintanya berhenti. Tiba-tiba dia gigit bibirku dan rasanya sakit, jujur saja. Pedih.
"Kenapa bibir Ai digigit?" tanyaku langsung begitu ia melepaskan pagutan bibir kami.
Mas Evra menatapku tenang. Aku tidak tau ekspresi apa yang kini sedang ia tampilkan di wajah tampannya itu.
"Kamu bikin aku gemes."
Keningku mengerut. Jujur saja aku bingung apa maksudnya.
"Emang Ai ngapain?"
Mas Evra buang napas pelan. Ia usap bibirnya dengan jari. Gerakannya terlalu s*****l di mataku. "Ada lipstik, ya?" tanyanya balik. Aku mengangguk pelan, menjawab dengan polos.
Ia tersenyum. Mas Evra dudukkan pantatnya di bingkai kaca.
"Kenapa nggak bilang kalau kamu bisa bahasa Belanda?"
Aku angkat alis. Terkejut dengan pertanyaan itu. "Emang perlu Ai bilang?"
Evra menghela napas. Ia mengusap tengkuknya. Tampak frustasi. Entahlah. Ia kemudian kembali memandangiku dengan kedua tangan berlipat di d**a.
"Jadi apa aja yang udah Jeje bilang ke kamu?"
Apa itu alasan di balik semua sikap Mas Evra barusan? Kalau iya lalu kenapa dia harus menciumku? Apa hubungannya? Apa dia takut aku marah atau salah paham? "Nggak ada. Maksudnya, nggak banyak."
"Kamu nggak marah?"
Aku menggeleng. "Untuk apa?"
Ia pandangi aku dengan kedua alis terangkat. Apa ada yang salah dengan kata-kataku? Memang aku tidak marah. Aku tidak menemukan alasan untuk marah.
"Apa Mas bawa Ai ke sini karena mau nanya itu?"
Mas Evra menggeleng.
"Terus?"
"Apa yang terus?"
"Kenapa tiba-tiba..."
"Tiba-tiba apa?"
Aku hanya bergumam.
"Tiba-tiba apa?" Desaknya.
"Cium Ai.."
"Kenapa? Apa harus ada alasan dulu kalau aku mau cium istri sendiri?" Nada bertanya Mas Evra menyiratkan kalau ia agak kesal dengan pertanyaanku. Kenapa dia jadi marah?
"Bukan. Tapi ini tempat umum. Gimana kalau dilihat orang?"
"Ya biarin, lah. Peduli amat. Amat aja nggak peduli."
Aku memandanginya dengan tampang bodoh. Apa lelucon semacam itu masih ada di abad 21 ini?
"Kita balik ke dalam, yuk, Mas. Nanti orang tua Mas sama orang tua Ai nyariin.."
Mas evra berdecak. Wajahnya merenggut. "Udahlah biar aja. Nggak akan mereka kehilangan. Lagian kita hilang berdua, mereka pasti paham. Kalau hilang satu baru aneh."
"Paham apa?"
Mas Evra menghela napas. Ia pandangi aku dengan tatapan datar. "Paham kalau pasangan baru hilang pasti mau ena-ena."
"Astagfirullah." Aku tutup mulut dengan kedua tangan.
"Udah aku males balik ke dalam. Di sini aja dulu." Mas Evra merogoh kantong jasnya. Ia kemudian mengeluarkan bungkus rokok dari sana.
Mas Evra merokok?
"Mas ngerokok?" Jujur saja aku terkejut. Baru tau.
"Kayak nggak pernah lihat orang ngerokok aja, segitu banget kagetnya." Lalu dengan enteng Mas Evra menyelipkan rokok di antara bibirnya. Kemudian ia mulai menyalakan pemantik api.
Belum sempat api itu sampai ke ujung rokok, aku langsung mengambil rokok di bibirnya, lalu membuangnya ke tong sampah. Mas Evra melotot, protes atas aksiku.
"Apa sih? Nggak sopan!"
Aku tau dia kesal, mungkin juga marah. Tapi aku tidak perduli.
"Rokok nggak baik untuk kese—"
"Stop! Jangan mulai ceramah. Aku ngerokok juga nggak tiap hari."
"Sama aja. Tetap aja ngerokok."
Mas Evra mendengus. "Jangan ngatur-ngatur deh."
Mulutnya memang menyebalkan. Mas Evra ini sepertinya tipikal orang yang selalu keluarkan isi kepala sesuka hati. Tidak perduli dengan orang sekeliling.
Tapi aku harus tahan. Jangan terbawa emosi. Tenang.
"Kalau masih ngerokok, Ai nggak mau deket Mas lagi." Semoga ancamanku berhasil.
Mas Evra diam sebentar, lalu tiba-tiba tatapannya berubah aneh. Ia tersenyum menyeringai. Mas Evra letakkan bungkus rokoknya asal di bingkai jendela. Ia kemudian menarik tanganku hingga aku otomatis mendekat.
Saat ini aku benar-benar berdiri tepat di depannya. Hanya berjarak 5 senti mungkin. Aku berdiri di antara kungkungan kedua kakinya.
"Kamu bisa kasih apa supaya aku berhenti ngerokok?" tanyanya dengan tak melepas tatapan kami.
Kenapa wajahku jadi terasa panas? Apa AC nya tidak berfungsi?
"Btw, aku jadi penasaran saat kamu ngomong bahasa Belanda. Pasti sexy."
"Apanya yang sexy?"
"Itu.." ia tunjuk ke arah bibirku dengan bibirnya. Aku melotot. Astaga, kenapa dia jadi sangat m***m malam ini?
"Mas, malu dilihat orang." Aku berusaha melepaskan diri. Tapi Mas Evra tidak perduli. Dia justru menarikku hingga aku hilang keseimbangan dan jatuh menempel ke atasnya.
Mas Evra sudah menyentuh bibirku, saat tiba-tiba ada yang memanggil kami. Aku terkejut tentu saja. Hendak menarik diri. Tapi Mas Evra justru tidak melepaskan aku. Dia tahan aku dalam posisi setengah memeluknya.
"Kenapa?" Tanyanya enteng dalam posisi dia memelukku. Ini memalukan. Benar-benar memalukan ada yang melihat kami dalam posisi ini.
"Tuan dan Nona diminta ke aula. Ada rangkaian acara yang masih belum selesai."
Mas Evra mendengus. "Iya iya. Sebentar lagi kami ke sana."
"Anda diminta untuk cepat. Kare—"
"Iya! Jangan sampai aku ulang kata-kataku!" Ia agak membentak.
Aku sendiri sudah mematung. Malu.
"Saya permisi, Tuan." Pegawai itu berlalu.
Hembusan napas panjang Mas Evra menyadarkanku. Menarik kembali ke realita.
"Mas, Ai malu..." aku tak sengaja malah memeluk leher Mas Evra. Sumpah, aku benar-benar malu.
"Ai.."
"Hm??"
"Kaki kamu," suara Mas Evra tertahan. "Nyenggol bagian penting. Jangan bikin aku nggak bisa tahan sampai rumah."
Apa???
***