EP 8

1257 Words
[EVRA'S POV] "Mas...!!" Ai berteriak cukup kencang saat aku mendorongnya ke pintu. "Kenapa Ai didohmmppp hmmpp..." aku tidak berikan Ai kesempatan untuk bicara karena sudah lebih dulu membungkam mulutnya. Ai memukul-mukul lenganku tapi tidak aku hiraukan. "Hmmpp Mas!!" Protesnya. "Ughhh..." Untuk pertama kali aku mendengar suara itu keluar dari bibirnya. Terdengar benar-benar berbeda. Perlahan perlawanan Ai melemah. Aku bebas menjelajahi lehernya di balik jilbab yang ia gunakan. Napas kami saling berpacu. Wajah Ai memerah dan tatapan matanya terlihat benar-benar berbeda. Kami saling menatap satu sama lain. "Punggung Ai sakit..." cicitnya. Aku tersenyum tapi juga sedikit menyesal. "Sakit ya? Sorry, nggak sengaja.." sebenarnya bukan tidak sengaja, tapi aku sudah tidak bisa menahan diri. "Sakit banget?" Aku gosok-gosok punggungnya yang tadi membentur pintu kamar. Ai menggeleng. Terdengar pintu diketuk. "Vian, Ai, kalian di dalam?" terdengar suara Mama dari luar. "Iya, Ma. Kenapa?" Aku tatap Ai dan ia juga tengah menatapku. Napas ku masih memburu dengan hebat. "Bisa keluar sebentar? Papa mau ngomong sama kamu.." Aku menghela napas. "Harus sekarang, Ma?" "Mas, buka dulu pintunya. Ngomong sama Mama.." Ai buka suara. Kenapa baru bilang sekarang? Harusnya dari tadi. Tck. Apa dia tidak tau kalau aku bahkan tidak berniat untuk pergi. Kalau aku membuka pintu mau tidak mau aku harus pergi. "Besok aja, Ma. Sekarang Vian—" "Mas, mana tau penting.." Ai menyela. "Nggak bisa. Papa mau ngomong sekarang. Besok Papa mau ke Sumba." Damn! "Aku capek. Baru balik pesta juga. Mau ngomong apaan sih?" "Mas, kok ngomel gitu. Nggak baik. Mungkin penting makanya Papa mau ngomong sekarang." "Iya iya.." aku melepaskan Ai, kemudian merapikan sedikit pakaian. Kemudian aku keluar meninggalkan Aisyah di dalam kamar. ... Sudah jam 1 lebih dan ini benar-benar melelahkan. Ini bukan pertama kali aku menghadiri pesta hingga larut malam. Bahkan kadang kami berpesta sampai pagi. Tapi hari ini lain dari biasanya. Hari ini benar-benar melelahkan. Obrolan dengan Papa memakan waktu hampir 1 jam. Aku kira ada yang penting. Ternyata hanya masalah pekerjaan. Sudahlah. Lupakan dulu pekerjaan. Apa Ai sudah tidur? Sudah jam segini. Mungkin dia sudah tidur. Tck. Batal. Rencanaku gagal sudah. Padahal tadi sudah hampir. Kamar kami gelap. Hanya cahaya remang yang berasal dari lampu di dekat tempat tidur. Ai sepertinya benar-benar sudah tidur. "Mas.." tiba-tiba lampu kamar menyala. "Kamu belum tidur?" Ai mengusap matanya. "Udah hampir, tapi kebangun lagi. Ai nungguin Mas, malah ketiduran.." "Ngapain nungguin? Kalau ngantuk tidur aja duluan. Kamu pasti capek di pesta berjam-jam.." Aku membuka jam tangan, meletakkan di atas meja. Kemudian membuka kancing kemeja. "Masa Ai tidur duluan. Mas mau mandi? Ai siapin air hangat. Tadi Ai udah siapin, tapi Mas ternyata lama. Airnya pasti udah dingin.." Ai turun dari kasur, mencepol asal rambutnya. Kemudian ia berjalan menuju kamar mandi. "Udah.." ia muncul lagi. "Mau pakai baju yang mana?" "Terserah.." ... Biasanya aku suka mandi lama. Apalagi kalau sudah berendam, aku bisa habiskan berjam-jam. Terutama jika badan sedang lelah begini. Tapi barusan aku mandi hanya beberapa menit saja. Keluar dari kamar mandi, ternyata Ai masih belum tidur. Ia di atas tempat tidur, sedang membaca buku dengan kaca mata bacanya yang terlihat kebesaran untuk wajah kecilnya. Sesaat mataku terpaku pada sosok perempuan yang sudah sah jadi istriku itu. Harus aku akui kalau dia cantik, meski dia sama sekali bukan tipeku. Mendekati saja tidak. Badannya kecil, yang lainnya juga tidak terlalu besar. Tapi dia punya senyum yang manis. Sepasang lesung pipi. Bulu mata lentik dengan mata bulat yang terang. Dan bibirnya sangat manis. Shit! "Ai.." aku mendekat, kemudian duduk di sampingnya membuat Aisyah membulatkan matanya karena kaget. Ia otomatis memundurkan tubuhnya. "Kenapa Mas? Kenapa nggak langsung pakai baju?" Aku bisa menangkap ada nada was-was pada suaranya. Aku meraih tangannya. "Kenapa muka kamu merah gitu?" Aku melihat ke arah Ai mengarahkan matanya. Ke badan polosku yang tidak dibalut sehelai benangpun. "Masa kamu masih malu lihat yang beginian?" Aku menggodanya dan Ai langsung mengalihkan pandangannya. "Ai nggak malu. Mas pakai bajunya? Nanti masuk angin.." "Oh ya? Jadi kamu nggak malu? Kalau nggak malu coba lihat sini.." Ai menggeleng. Aku tarik dagunya dan Aisyah langsung menutup matanya. Aku tersenyum. Jujur saja, aku menikmati semua ini. Reaksinya. Terlihat lucu dan menggemaskan. Seumur hidup, baru satu kali aku bertemu perempuan seperti dia. Aisyah membuat aku percaya bahwa ternyata masih ada perempuan polos di dunia ini. Aku kira perempuan model begini sudah musnah sejak abad 20. Hebatnya lagi perempuan langka ini adalah istriku. Aku tiba-tiba punya ide menjahilinya. Aku tarik tangan Aisyah, kemudian mengarahkan tangannya ke mulutku. "Aghhh.." dia menjerit kemudian langsung membuka matanya. "Mas kenapa jari Ai digigit?" Protesnya. Aku tertawa. "Ai.." aku tatap matanya. Ai menoleh dan pandangan kami bertemu. "Ingat nggak yang dibilang Ibu-Ibu di pesta tadi?" Kening Ai mengerut. "Huh?" "Gimana kalau kita kabulin harapan mereka?" Aku semakin mendekatkan wajah ke arah Ai. Ia masih terlihat bingung. Kini wajah kami benar-benar dekat sampai aku bisa dengar dan rasakan hembusan napasnya. "Mau bikin little Evra, nggak?" Seketika mata Ai membesar. Sebelum dia sempat berkata-kata, aku lebih dulu mendorongnya. Kemudian menghimpitnya. Membungkam mutnya. Menyambung menyesap rasa dari bibirnya yang tadi sempat terputus oleh Mama. Tak ada perlawanan berarti dari Ai. "Ughh.." dia melenguh. Aku benar-benar sudah lepas kendali. Aku menyuruk ke ceruk lehernya. Menikmati aroma tubuhnya yang seperti bayi. Meninggalkan bekas-bekas lainnya. Tanda kepemilikan. Aku bisa mendengar dengan jelas bagaimana bunyi decapan-decapan dari bibirku yang menyentuh kulitnya. "Mhass..." panggil Ai lemah. Ia meremas lenganku tanpa tenaga. "Kenapa?" Aku menarik diri sebentar. Dia sudah terlihat kacau. Aku menyukainya karena dia terlihat sangat seksi. "Kita nggak bisa langsung gini.." katanya. Sorot matanya sudah berkabut. "Huh?" "Sholat dulu..." "Udah nggak ada waktu. Aku nggak bisa nunda lagi..." aku tautkan jari-jari kami, kemudian kembali ke tempat tadi. Aku ciumi semua yang bisa aku raih. Matanya. Keningnya. Hidungnya. Bibirnya. Ini tidak akan berhenti. Suara Ai memenuhi kamar. "Tahan ya..." aku tatap matanya. Kemudian aku berikan dia kecupan di bibir. "Ini akan sedikit sakit..." "Mashh..." ... Sejak kapan ada burung berkicau di rumah? Siapa yang memelihara burung? Setahuku tidak ada yang memelihara. Tapi kenapa bisa ada bunyi kicauan burung saling bersaut-sautan begini? Aku perlahan membuka mata meski berat. Butuh beberapa waktu untuk bisa menyesuaikan dengan cahaya. Yang pertama kali aku lihat adalah seprai dan bantal yang berantakan. Tunggu... mana Ai? Kenapa sisi tempat tidur di depanku kosong? "Ai..." aku memutar pandangan. Ini jam berapa sebenarnya? Aku memutar kepala, menemukan jam di atas meja nakas. Jam 6. Kemana perginya Ai? Masih jam 6. Apa dia sudah bangun? Secepat itu? Kami baru tidur pukul 4 pagi tadi. Kenapa dia sudah bangun jam segini? Rasa kantukku hilang. Aku bangun. Mengusap mata supaya penglihatanku segar. "Ai, kamu di dalam?" Aku ketuk pintu kamar mandi. Terdengar suara keran menyala. Lama tak ada jawaban. "Iya, Mas..." akhirnya dia menyahut. Dia membuatku khawatir. Aku takut dia pingsan di dalam sana. Ceklek.. ternyata tidak dikunci. Aku langsung masuk. "Mas.." dia kaget dan langsung menyilang tangan di depan d**a. Dia sedang berendam di bathup ternyata. Tenang saja, aku tidak polos, aku memakai bathdrobe. "Udah berapa lama kamu berendam?" "Sepuluh menit, mungkin.." jawabnya agak tergagap. Ia menghindari tatapan mataku. Aku tau dia malu. Aku berjongkok di samping bathup, kemudian memasukkan tangan ke dalam air. Bukannya mau melakukan sesuatu yang aneh, aku hanya memerika airnya saja. Aku membuang napas pelan. "Ini masih agak dingin. Tambahin air panasnya dikit lagi. Terus jangan lama-lama berendamnya." Aisyah mengangguk patuh. Kemudian aku keluar, meninggalkan ia menikmati ketenangan. ... Aku sudah sering melihat perempuan dengan rambut basah mereka. Kadang ada yang terlihat cantik, kadang ada yang terlihat seksi, ada juga yang terlihat menjijikkan di mataku. Tapi kali ini berbeda. Aisyah yang keluar dari kamar mandi dengan rambut basah terlihat... lembut. Lembut dan manis. "Mas mau mandi?" Ia membuyarkan hayalanku. "Hm.." aku mengangguk kemudian turun dari tempat tidur. Saat hendak melewatinya, aku sempat berbisik. "Kamu cantik.." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD