Bab 18

1157 Words
Jonathan menggendong Varizen menuju ke ruangannya sambil terus menatap wajah yang terus menunduk dan berkeringan dingin. Diam-diam, pria itu menghela nafas panjang untuk beberapa kali. Ternyata, semua perbuatannya terekam jelas di tubuh Varizen. Terbukti bahwa, gadis itu mulai ketakutan. Kalau dipikir lebih dalam lagi, tidak ada kenangan manis yang terjadi diantara mereka setelah Felisia menikah dengan Berto. Perlahan tapi pasti, Jonathan mulai menjauh dari Varizen. Jawabannya hanya satu, ingin menjaga ibu dan anak itu dari jauh. Namun, langkah yang ditempuh saat ini merasa salah perhitungan. Mereka berdua masuk ke dalam ruangan. Jonathan menaruh Varizen di brankas dengan lembut, “Berbaringlah… sebentar lagi, dokter akan datang.” Baru kali ini, gadis tersebut mendengar suara pelan dan lembut setelah tujuh tahun. Kepala Varizen yang semula menunduk menjadi terangkat dengan berani dan tanpa ragu. Kedua mata mereka bertemu satu sama lain. Seperti tidak ada jarak, mereka terus saja bertatap mata. Orang bilang, mata tidak akan berbohong, dan mata akan menjawab semuanya. Ini saatnya, Varizen menanyakan perihal perasaan benci yang ditorehkan pria itu, “Apakah Kakak benar-benar membenciku?” tanyanya dengan nada lirih karena takut jika pertanyaannya menyinggung hati Jonathan. Pria itu diam membeku terus menatap mata cantik milik Varizen. Seperti biasa, gelagat aneh yang ada di dalam tubuhnya timbul. Seperti, jantung berdebar, darah mendidih, dan tubuh sangat kaku. Tidak lupa, lidahnya yang sulit untuk bergerak. ‘Inikah rasanya gugup?’ tanya Jonathan di dalam hati. Rasa gugup yang menyerang itu membuatnya diam tak berkutik bagaikan patung. Belum sempat ia mengeluarkan suara, seseorang datang sambil mendobrak pintu. Rasa gugup yang mendera seketika hilang. Varizen langsung kembali menunduk saat orang itu masuk ke dalam ruangan. Bau parfum yang familiar membuatnya enggan mengalihkan pandangan dan terus menatap ke bawah. Jonathan memilih berdiri untuk menyambutnya dengan hangat, meskipun tak sudi. “Selamat datang, Ayah,” sapanya dengan ramah. “Sudah aku katakan... jangan kemari!” teriak Berto dengan keras. Untung saja, ruang inap Varizen kedap suara. Ia bisa berbuat apa saja tanpa didengar oleh pihak luar. “Aku datang dengan ibu,” jawab Jonathan enteng. Memang benar, ia datang dengan Felisia. Bersama dengan wanita itu, Berto tak akan berkutik sama sekali. Tidak lama kemudian, dokter dan Felisia datang. Keduanya terkejut karena ada ketegangan di ruangan itu. Untuk mencairkan suasana, wanita tersebut mendekati Berto sambil menyentuh pundaknya. “Dokter, kau bisa periksa anakku,” kata Felisia lembut sambil tersenyum. Sang dokter pun langsung melakukan aktivitasnya. “Kau datang, Sayang... bukankah kau sedang sibuk?” tanya Felisia dengan hati-hati, kemudian melirik Jonathan. “Dekati adikmu, Jo. Dia butuh seseorang disampingnya.” Rahang Berto langsung mengeras dengan wajah merah padam. Ia mengepalkan tangan menahan semua gejolak amarah yang bersarang di hatinya. “Sayang... kembalilah bekerja, biar Jonathan bersama Varizen,” bujuk Felisia seramah mungkin, ia takut jika Berto berada disini malah membuat gadis itu semakin menderita. Lihatlah wajah Varizen yang terus menunduk, tak mau melihat ke ayahnya. Berto masih diam seribu bahasa dan terus menatap Varizen dan Jonathan secara bergantian. Mata itu jelas bahwa seorang pria yang mencintai seorang gadis. Kenapa ia tidak menyadarinya dari dulu? Seharusnya, ia lebih hati-hati karena meremehkan Jonathan. “Jangan bertindak gegabah, Nona. Anda perlu istirahat yang cukup,” kata dokter sambil memasang infus. Varizen hanya mengangguk cepat tanpa menjawab. Jonathan yang melihat itu menghembuskan nafas panjang. “Ingat perkataan dokter, Varizen.” Perkataan Jonathan membuat Varizen merespon. Gadis itu menoleh ke arah kakaknya dengan sedikit takut. Sementara pria itu tersenyum dengan lembut. Berto tambah murka melihat interaksi diantara mereka. Ia ingin sekali memukul Jonathan sekarang juga. Akan tetapi, mengingat Varizen yang sedang sakit, niatnya diurungkan. ‘Tidak sekarang... aku akan membalasmu,’ batin Berto dengan tangan mengepal kuat lalu berbalik arah dengan kasar. Jika ia terus melihat mereka, maka tubuhnya tidak bisa akan bisa mengendalikan diri. Melihat Berto pergi, Felisia datang mendekat ke brankar Varizen. “Terimakasih dokter,’ katanya lembut sambil tersenyum. Sang dokter mengangguk lalu pergi meninggalkan ruangan Varizen. Setelah dokter itu pergi, Felisia duduk di samping Varizen, “Apakah sakit? Mana yang sakit?” tanya wanita itu dengan pelan. Ia tidak menyangka disekolah barunya, gadis itu dibully hingga masuk ke rumah sakit. “Kenapa kau tidak menjaganya, Jo?” tanya Felisia sambil melirik tajam. Seharusnya sebagai kakak, dia bertanggung menjaga adiknya. “Kakak sudah mengantarku, Bu. Dia sibuk dengan tugasnya sebagai guru. Lagi pula, kejadian itu pada waktu jam pelajaran,” sela varizen sedikit berbohong agar Jonathan tidak dimarahi oleh Felisia. ‘Kenapa kau tidak katakan ang sebenarnya, Varizen,’ pikir Jonathan menatapnya dengan sendu. Felisa pun angkat bicara lagi, “Kedepannya, kau harus menjaga Varizen. Aku tak mau kalau dia terluka lagi.” Cukup hanya Berto yang memberi luka kepada gadis itu, tapi tidak dengan orang lain. “Baik, Bu,” jawab Jonathan sambil mengangguk lemah. Rasa bersalah Varizen datang tiba-tiba karena sikap pria itu yang tidak berdaya di depan Felisia. “Sudah, Bu... jangan di bahas lagi. Yang terpenting, aku sudah dirawat.” Senyum Varizen yang manis membuat dua orang tersebut diam membeku. Mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing yang memiliki tujuan sama. “Jaga dirimu, makan yang banyak,” kata Felisia sambil mengelus rambut Varizen. Kehangantan diantara mereka membuat hati Jonathan melembut. Sudah lama, ia tidak melihat keduanya dekat layaknya keluarga. “Ibu pamit pulang dulu karena besok harus ke luar kota. Dan kau, Jonathan,” lirik Felisia dengan tajam, “Jaga Varizen.” Wanita itu bangkit dari kursi, “Ingat... aku mengawasimu,” ancamnya diangguki oleh pria itu. Setelah Felisia pergi, keduanya diam seribu bahasa. Yang satu takut, yang satunya lagi canggung luar biasa. Ini adalah kali pertama setelah tujuh tahun pernikahan Berto dan Felisia mereka bersama dalam waktu cukup lama. “Ehem....!” jonathan berdehem keras membuat Varizen sedikit melirik. Gadis itu pun menarik selimutnya hendak berbaring. Dengan sigap, pria itu membantunya. “Jangan besar kepala!” Varizen tersenyum mendengar ucapan Jonathan. Ia tidak menolak bantuan pria itu sama sekali, “Aku senang Kakak baik padaku,” kata gadis itu sambil memejamkan mata. Rasanya lelah menjalar keseluruh tubuh. Mungkin, efek dari obat yang disuntikkan oleh dokter sehingga mudah mengantuk. Sesudah Varizen terlelap, Jonathan duduk di samping kanan tubuh gadis itu. Ia membelai pipi dan rambut berulang kali. Tidak hanya itu, semua wajahnya disentuh dengan lembut. “Kau seperti putri tidur,” gumamnya pelan. Melihat Varizen tidur, Jonathan memberanikan diri untuk mengecup dahi gadis itu. Hati pria tersebut menghangat sampai meneteskan air mata. Ia memegang tangan Varizen, lalu mengecupnya berulang kali. Kenapa mencintai begitu sakit dan pedih? Orang bilang, jatuh cinta itu indah seperti melihat dunia. Namun, yang dirasakan Jonathan saat ini adalah seperti sebuah sayatan dari pisau. Hatinya sering kali teriris sampai meringis. Jawabannya hanya satu, itulah takdir yang Jonathan pilih. Andai saja ia jujur, pasti bukan hal perih yang didapat. Sekali lagi, jangan menyalahkan cinta karena pilihan. Tuhan, memberi dua takdir yang dijalani seorang manusia. Jenis takdir yang bisa dirubah, dan tidak bisa dirubah. Jika ingin takdir yang bisa dirubah, maka berusahalah. Akan tetapi, bila sudah berusaha merubah tapi tidak berubah, maka terimalah dengan lapang d**a. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD