Setiap manusia memiliki titik lemah yang tersimpan di tubuhnya. Mereka cenderung menyembunyikan di depan public. Apalagi, seorang pembisnis besar seperti Berto. Sebenarnya, tujuan pria itu bertindak kejam adalah sebuah bentuk perlindungan diri.
Namun, hidup dalam kekejaman tentu saja membawa dampak besar baginya.
Semasa hidup Berto, kelemahan yang tidak dapat disembunyikan adalah Varizen. Apabila seseorang memandangnya dengan seksama, pasti terlihat jelas gambaran perasaan yang terukir lewat matanya. Hanya para kaum adam penggila cinta yang tahu sebesar apa rasa yang tertanam dihati pria tersebut.
***********
Wajah Berto yang cemas dan khawatir tampak jelas di mata para suster. Pria itu bahkan berteriak nyaring memanggil dokter sambil menggendong Varizen. Melihat kedatangan penguasa kota yang terkenal kejam, mereka, penghuni rumah sakit langsung bergegas melakukan tindakan medis.
“Berikan pengobatan terbaik!” titah Berto mutlak dan diangguki oleh mereka. Berto ikut mendorong barnkas yang mengarah ke Unit Gawat Darurat. Pria itu hendak masuk, tapi dicegah oleh salah satu perawat.
“Maaf, demi ketenangan pengobatan, sebaiknya Anda tunggu diluar.” Perawat itu menutup pintu tanpa mendengar Berto yang sedang mengumpat keras. Ia terus menatap pintu dengan cemas sambil mondar-mandir.
“Sial!” teriak Berto, menonjok dinding sampai tangannya berdarah. Mengingat Varizen yang tergplek lemah tak berdaya membuat semua tubuhnya sakit dan mati rasa. Jika digambarkan, rasa sakit itu seperti ditusuk ribuan pisau diseluruh tubuh.
“Mereka harus membayar semua rasa sakit ini!” geram Berto dengan amarah yang terus keluar tanpa henti. Ia melepas kasar jasnya lalu melempar ke sembarang tempat. langkah kakinya terus mendekat ke pintu ruangan Varizen diperiksa.
“Varizen,” sesal Berto dalam kesedihan yang mendalam. Ia tak sanggup jika harus kehilangan Varizen. Rasa cinta dan sayang itu sudah masuk ke dalam tubuhnya. bahkan, ikut mengalir dengan darah.
Tidak lama kemudian, Dokter keluar dari ruangan lalu menghirup nafas panjang. Berto langsung menghampirinya, “Bagaimana keadaan Varizen?” tanya pria itu dengan cepat. Namun, sebelum dijawab olehnya, ia masuk menerobos ruangan dan mendapati Varizen tergeletak lemah tak berdaya.
Dokter itu tersenyum ramah, “Nona hanya pingsan. Kedepannya, tolong biarkan dia sarapan agar tubuhnya bertenaga.” Sang dokter melihat ekspresi wajah Berto yang hanya diam, menatap dengan sendu. “Untung Anda cepat membawanya kemari. Kalau tidak, dia bisa terserang hipotermia.”
Hipotermia adalah penurunan suhu drastic yang berpotensi berbahaya. Jika tidak segera ditangani, maka dapat menyebabkan gagal jantung, gangguan system pernapasan, dan bahkan kematian.
Berto menghela nafas lega sambil memegang tangan Varizen yang sedikit hangat. Ia mengelus lembut wajah gadis itu dengan penuh cinta. “Pindahkan ke kamar terbagus, aku harus mengurus sesuatu. Jangan biarkan siapaun masuk kecuali kau dan satu perawat kepercayaanmu.”
Pria itu melepas pegangannya, “Kau mengerti ‘kan? Jika sampai terjadi apa-apa. Kau yang akan aku bunuh,” ancamnya dengan mata melotot sempurna. Sang dokter pun mengangguk cepat, “Saya akan memindahkannya di ruangan mawar nomor satu, Tuan,” jawabnya sambil menunduk.
Berto hanya diam lalu beranjak pergi meninggalkan ruangan itu. Ia harus mencari perhitungan dengan para jalang kecil yang sudah membuat Varizen terkurung dibilik toilet.
Namun, langkahnya terhenti saat melihat Jonathan sedang berlari menuju ke kamar Varizen. Berto langsung mencegatnya, “Tugasmu bukan disini!” terlihat sikap tidak suka dengan kehadiran pria itu.
Jonathan maju, lurus ke depan menghampiri Berto, “Aku sudah menyelesaikan semuanya, Ayah,” katanya penuh penekanan. Seberarnya, pria itu enggan memanggil Berto dengan sebutan ‘ayah,’ tapi karena rasa hormatnya kepada Felisia membuatnya terpaksa.
“Aku tak suka kau dekat dengan Varizen.” Sisi Berto yang posesif muncul jelas disetiap gelagatnya. Jonathan menghela nafas panjang, lalu angkat bicara, “Aku kakaknya dan lebih berhak.”
Jonathan menerobos pertahanan Berto, tapi pria itu di dorong kasar hingga mundur ke belakang beberapa langkah. “Matamu mengatakan hal lain,” ejek Berto murka.
Sesama pria, Berto tahu arti dari mata milik Jonathan yang terlihat begitu mencintai Varizen. Lagi pula, ia sendiri juga sama. Bisa dikatakan, mereka berdua berada di perahu yang sama dengan satu tujuan.
Jonathan membenahi jasnya, “Ayah… aku tak ingin bertengkar karena masalah sepele.” Ia ingin membuktikan bahwa perkataan Berto salah. “Aku akan pergi karena Ayah sudah ada di sini.”
Berat rasanya apabila harus berbohong. Namun, bagi Jonathan tidak ada cara lain lagi. Berto memicingkan mata ketika mendengar perkataan dari pria yang ada di hadapannya. Tidak mungkin kalau tebakkannya salah. Selama ini, ia selalu benar jika menebak lewat mata dan ekspresi wajah seseorang.
Berto menatap mata Jonathan dengan lekat, terdapat mata hitam legam dengan sorot mata yang dingin. Ekspresi wajah yang sulit ditebak dan berubah-ubah. Pria itu menilai bahwa anak tirinya pintar menyembunyikan warna asli dari wajah.
“Kalau begitu, aku pulang, Ayah,” pamit Jonathan sambil berbalik arah. Tidak lupa, tangannya mengepal erat. Salah satu tangannya melambaikan tangan.
“Jangan pulang telat! Ibu pasti menunggumu!” teriak Jonathan sambil tersenyum getir. Nanti, ia akan punya kesempatan untuk bersama Varizen tanpa adanya pria tua yang tidak kenal tempat itu. Akan tetapi, bukan sekarang waktunya.
‘Semoga, kau baik-baik saja,’ batin Jonathan dengan cemas, terus berjalan keluar rumah sakit.
Setelah Jonathan pergi, Berto berbalik arah dan mengusap wajahnya kasar. Semakin hari berganti, Varizen semakin bersinar. Tentu saja dirinya sangat cemas jika pria mendekati gadis tersebut.
“Aku harus menyelesaikannya secepat mungkin dan menikahi gadis itu,” kata Berto sambil mengagguk kemudian pergi keluar rumah sakit. Jika ia tak mengikat erat Varizen, maka ketakutan akan terus hinggap di hatinya.
Setelah Berto benar-benar pergi meninggalkan gedung itu, mata Varizen terbuka. Perawat yang berada disampinya langsung memanggil dokter untuk memeriksa gadis itu.
Dokter tersebut datang dengan buru-buru dan mendapati Varizen berusaha bangkit untuk duduk. “Istirahatlah, Nona. Keadaan Anda sangat lemah,” nasehatnya dengan lembut.
Varizen melihat sekitar ruangan, kemudian menghela nafas panjang, “berapa lama aku pingsan?” tanya dengan hati-hati.
Sang dokter menjawab, “Sekitar tiga jam. Untung saja, Tuan Berto membawa Anda kemari.” Pria itu melihat ekspresi Varizen yang murung setelah mendengar penjelasannya.
“Ijinkan saya memeriksa Anda, Nona,” pinta dokter itu sambil tersenyum dan dihadiahi anggukan olehnya. Sang dokter melakukan tugas itu dengan secepat kilat agar gadis itu nyaman.
“Keadaan Anda sudah lebih baik, istirahat yang cukup, maka Anda akan segera pulang. Kalau begitu, saya permisi dulu. Jika Anda butuh sesuatu, bisa memencet tombol merah itu.” Dokter tersebut tersenyum lalu pergi meninggalkan Varizen dan diikuti perawat dibelakangnya.
Sesudah dokteri itu pergi, Varizen mencabut paksa infusnya dengan kasar sehingga darah keluar menetes di tempat tidur. Gadis itu bangkit, sedikit terhuyung tapi ditahannya. “Aku harus pergi dari tempat ini.”
Varizen tak ingin berlama-lama untuk menunda emas di depan mata. Kesempatan untuk pergi tidak datang dua kali. Mumpung, Berto dan yang lain tidak sedang mengawasinya. Meskipun kondisinya lemah, ia harus terus berjuang untuk hengkang dari kehidupan ayah tirinya.
“Aku tidak akan terikat lagi. Jika ibu memilih untuk tinggal, maka aku akan pergi sendiri,” gumam Varizen, berjalan tertatih sambil menggelengkan kepala berulang kali lantaran nyeri kepala yang menyerang.
Gadis it uterus berjalan hingga keluar ruangan. Ia menoleh ke segala arah melihat situasi dan kondisi. Perasaannya bisa bernafas lega karena tidak ada satu orang pun yang ada di luar.
‘Tuhan masih baik padaku,” kata Varizen tersenyum dengan sangat bahagia. Gadis itu melanjutkan langkah kakinya dengan semangat meskipun badannya sedikit lemah. Hal yang terpikirkan saat ini adalah keluar dari gedung tersebut.
Setelah itu, Varizen akan pergi ke perdesaan dan menetap di sana. Tentu saja di desa adalah tempat teraman untukknya. Yang jelas kehidupan baru di desa sangat di dambakan oleh gadis itu.
Bersambung