Bab 11

1137 Words
Ruangan besar dengan gaya elegan kini berubah menjadi berantakan. Kertas, kaca meja, dan kursi berserakan dimana-mana. Tidak hanya itu, sebuah guci mahal juga ikut menjadi korban. Beberapa orang yang ada di ruangan itu hanya diam menunduk karena takut amukan Berto Masih dalam mode merah, seperti banteng yang siap menerjang mangsa. Berto melempar telephon yang ada di atas meja karena berbunyi. Amarahnya sudah tidak terbendung lagi ketika ada pesan dari seseorang. “Arrrrrgggghhhh…,” teriak Berto sambil menendang kursi kebesarannya. Tidak mungkin ia kalah dari wanita busuk itu, pikirnya sambil mengusap wajah kasar. Tiba-tiba, bunyi ketukan pintu membuat semua orang tersentak kaget. Beberapa dari mereka saling melirik satu sama lain sambil mengusap peluh masing-masing. “Buka!" perintah Berto dengan keras. Mereka pun mengangguk dan langsung menuruti perintah pria tersebut. Saat pintu terbuka, semua mata mengarah pada seseorang yang dinanti-nanti. Ada kelegaan diwajah mereka lantaran kesengsaraan sedari siang yang didapatkan akan sirna. “Silahkan masuk,” sambut salah satu pengawal Berto. Kedua orang yang beridiri diambang pintu itu langsung masuk. “Suruh dia keluar! Aku tidak ingin melihatnya!” teriak Berto tanpa melihat siapa yang datang. Jonny hendak menjawab, tapi dicegah oleh Varizen. Gadis itu memilih untuk melihat bekas perbuatan pria yang berstatus ayahnya. Pantas saja Jonny bertekat membawanya masuk ke dalam ruangan Berto, ternyata pria itu mengamuk tidak jelas. Bukankah ini namanya bunuh diri? Bagaimana bisa ia mengendalikan seorang banteng yang sedang mengamuk? Ia sendiri saja selalu tertimpa masalah. Kalau bukan karena kasihan dengan para karyawan yang dipecat, gadis itu tak akan masuk ke dalam ruangan tersebut. “Apa kau tuli? Keluar!" teriak Berto menggema membuat semua orang menunduk takut. Anehnya, Varizen tidak takut sama sekali lantaran teriakan itu bukan tertuju padanya. Ia pun menghela nafas panjang sambil berjalan terus melangkah menepis jarak antara dirinya dan Berto. Bau harum khas yang familiar membuat Berto mengerutkan alis tanda keheranan. Mungkin, aku berhalusinasi, pikirnya berulang kali sambil menggelengkan kepala. Ditengah amarah yang berkoar, bau dari varizen mampu menenangkan otaknya yang mendidih. Berto kemudian berbalik arah dan langsung tersentak kaget karena mendapati Varizen sudah berada dihadapannya beberapa langkah. “Kau sudah pulang,” katanya sambil tersenyum. Hilang sudah amarah yang tadi berkibar. Sekarang, yang terlihat senyum tulus seperti menyambut seorang istri. Pria itu tidak menyangka jika Varizen mau mendatanginya. Ia melirik k earah Jonny lalu berdehem, “Kita ke ruangan lain. Kalian boleh bubar,” ucap Berto sambil mendekat, menepis jarak dirinya dan gadis itu. Kekuatan cinta memang ajaib. Sebentar saja, mampu merubah iblis menjadi manusia. Buktinya, Berto dengan mudah merubah ekspresi wajah seperti membalikkan tangan. “Ayah…,” panggil Varizen lirih. Tangannya saling bertautan satu sama lain, ditambah sedikit bingung untuk mengutarakan maksudnya datang. Berto tersenyum, lalu memapah gadis itu duduk. Mereka pun duduk berdampingan di sofa. “Pasti tidak nyaman karena berantakan.” Berto menatap Jonny lalu pria itu menjawab dengan senyuman sambil mengangguk. “Katakan… apa tujuanmu kemari?” tanya Berto terus menatap Varizen yang masih menunduk. Gadisnya terlihat sangat cantik sekali. Ia sama sekali tak mau berpaling dan tidak bosan jika terus menatapnya. “Ja-jangan pecat para karyawan itu,” jawab Varizen lirih sambil menahan bibirnya yang terus bergetar. Perkataan gadis itu membuat Berto kaget. Kedatangan Varizen ternyata bukan murni dari hati, melainkan ajakan dari Jonny. ‘Aku terlalu berharap banyak,’ batin Berto tersenyum getir. Namun, tidak apa jika Jonny memaksanya datang. Lagi pula, dengan adanya Varizen, pikirannya menjadi jernih. Ia tidak akan menyiakan kesempatan emas untuk berduaan. “Baik. Tapi, kau harus makan malam denganku, diluar,” putus Berto dengan senyum mengembang. Ia yakin kalau Varizen tidak akan menolak ajakkannya. “Hanya kita berdua, tidak ada yang lain,’ imbuhnya lagi. Varizen menggigit bibirnya tanda cemas karena takut jika Felisia berpikir buruk padanya. Terlihat jelas diraut wajah yang khawatir terhadap sesuatu dan Berto mengetahui akan hal tersebut. “Jika kau menolakku, mereka akan menjadi pengangguran. Aku akan mendaftarkan mereka masuk ke pengangguran selamanya.” Ancaman Berto sukses membuat wajah Varizen merah menahan amarah, memang pria itu pantas dianugrahi gelar licik. “Bagaimana?” tanya Berto sambil menaikkan alis, menyeringai penuh kemenangan. Mau tidak mau, Varizen mengangguk setuju. Sebenarnya, ia berat hati melakukan hal ini. Namun, dirinya juga tidak sampai hati melihat para karyawan itu dipecat. Kalau dipikir-pikir, Varizen tidak ada hubungannya dengan semua kejadian ini. Gadis itu menoleh ke arah Jonny yang telah menyeretnya. Bisa dikatakan, pria itu tahu letak kelemahannya. “Bagus,” kata Berto senang, “Jonny… kau bilang pada mereka untuk masuk kembali. Kalau perlu beri hadiah,” imbuhnya sambil tersenyum puas. Akhirnya, ada juga kesempatan untuk bersama Varizen. “Kita pergi sekarang, biar Jonny yang membereskan kekacauan ini,” final Berto meraih tangan Varizen, menyeretnya keluar ruangan. Para karyawan yang melihat mereka menunduk hormat, ada yang terpesona oleh kecantikan Varizen. Ada pula yang terpikat oleh senyum Berto yang belum pernah ditemui sama sekali. Rumah Berto Jonathan melempar tasnya ke lantai dengan kasar, lalu mengusap wajahnya berulang kali. Pria itu kemudian melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Ia berhenti di depan kaca sambil menahan amarah yang memuncak. Tidak heran jika Jonathan marah, sebab rasa cemburu yang terus membabi buta tak kenal arah. Dengan kedua bola matanya, ia melihat para siswa menatap lapar Varizen. Bahkan, ada yang terang-terangan hendak menggodanyanya. Sampai kapan dirinya akan tersiksa melihatnya? Sialan, batin Jonathan berteriak keras, tangannya menonjok ke kaca hingga pecah. Di rumah, pria itu harus menghadapi Berto, sedangkan di sekolah harus menghadapi murid-muridnya. “Aku harus membuat Varizen keluar dari sekolah,” gumam Jonathan dengan ragu-ragu lalu kemudian menggeleng keras, "Bukannya bagus kalau aku bisa mengawasinya? Lagi pula, kesempatanku dekat dengan Varizen lebih banyak dari tua Bangka itu.” Cinta murni Jonathan sudah berubah menjadi obsesi yang mendalam. Pria itu sama dengan Berto, hanya saja ia lebih manusiawi dan bisa berpikir jernih. Sementara Berto bertindak kasar hingga membuat kesengsaraan yang membekas di tubuh gadis tersebut. Jonatan membuka kran air lalu membasuh wajahnya dengan kasar. Pria itu melepas bajunya begitu saja, kemudian berjalan menyelakan shower untuk mengguyur seluruh tubuhnya. Rasa yang mendidih itu disiram begitu saja dengan air dingin supaya jernih kembali. “Benar… aku harus melakukan hal itu,” final Jonathan sambil tersenyum puas. Ia mengambil handuk dengan kasar lalu mengusap rambutnya yang basah. Butuh waktu yang lama mempersiapkan hadiah untuk Varizen. Secepat kilat, pria itu berjalan menuju lemari dan mengambil baju santai. Tiba-tiba, ketukan dari seseorang menghentikan kegiatannya. Dengan sangat terpaksa, Jonathan melangkahkan kaki ke pintu keluar. Ia membuak dengan malas sambil berdecih. Saat pria itu tahu bahwa yang datang adalah seseorang yang tidak diinginkan, tanpa pikir panjang langsung menutup pintu dengan kasar. “Enyahlah… !Aku tidak ingin bicara denganmu!” teriak Jonathan dengan keras. Orang itu kemudian mengetuk kembali pintu kamar Jonathan berulang kali. “Pergi…! Urusi bosmu!” Itu adalah teriakan peringatan. Jika orang yang diluar melanggar, maka Jonathan tidak segan-segan untuk melayangkan tinju padanya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD