“Adam, kau pulang akhirnya,” ucap Delia kaget melihat kedatangan anaknya. Dia mendekat dan mengecek keadaan sang anak yang ternyata baik baik saja. “Kau dari mana saja beberapa hari ini?”
“Aku bilang aku bekerja, Ibu.”
“Tapi kenapa kau pulang? Kau dipecat ya? Apa orang itu melukaimu karena kinerjamu tidak benar? Dimana memarnya?”
Adam langsung menepis tangan sang Ibu dengan kesal, dia berdecak dan membenarkan letak pakaiannya. Kemudian Adam mengeluarkan beberapa lembar uang kemudian memberikannya pada sang Ibu. “Untuk Ibu belanja.”
Jelas Delia kaget menerima uang yang ada di tangannya. “Kau bekerja dimana bisa mendapatkan uang sebanyak ini hanya dalam hitungan hari?”
“Buatkan aku ayam asap, Bu. nanti akan aku ceritakan,” ucapnya sambil menaiki tangga. Kemudian berhenti untuk membalikan badannya dan berkata. “Ngomong ngomong aku tidak dipecat sama sekali, aku masih bekerja di sana dan akan menghasilkan lebih banyak uang lagi.”
Meninggalkan Delia dalam kebingungan dan menatap uang di tangannya. Namun dia bergegas melakukan apa yang anaknya inginkan. Membiarkan Adam berada di kamarnya tanpa diganggu sama sekali karena Delia sangat senang mendapatkan uang sebanyak ini. dia Bahagia bisa mengisi kulkas.
Sampai saatnya jam makan malam, Adam turun. Dia tersenyum melihat banyaknya makanan yang dihidangkan oleh sang Ibu. Bahkan dia dilayani dengan sangat baik.
“Jadi, bagaimana kau bisa bekerja dengan penghasilan cukup besar dalam hitungan hari?”
Adam tersenyum penuh arti. “Biarkan aku menghabiskan ini dulu,” ucapnya menyantap makan malam di depannya. Kemudian Adam mengacungkan jarinya dan menepelkan pada bibir Delia. “Ibu, jangan bicara terus. Cukup dengarkan aku dan jangan pernah memotong pembicaraanku.”
Hingga akhirnya dia mulai bercerita bagaimana dirinya bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Adam juga menyebutkan pekerjaannya yang sekarang membuatnya semakin terdorong untuk menjadi seorang penulis karena memiliki banyak waktu yang luang.
Butuh waktu lama untuk Adam menjelaskan karena dirinya berkata sambil mengunyah makanan. Sampai akhrirnya cerita itu selesai oleh kalimat, “Jadi, seperti itu caraku mendapatkan banyak uang, Bu.”
“Villa?” gumam Delia terlihat bingung. Dia berdehem sebelum berkata, “Selama ini Ibu belum pernah mendengarnnya.”
“Hei, itu villa yang bagus dan dimiliki orang kaya.”
Delia kembali terdiam sebelum akhirnya dia mengangguk. Terserah dari mana asalnya villa dan juga asal usul keluarga tersebut, yang penting mereka kaya dan bisa memberikan apa yang dibutuhkan oleh anaknya dan juga dirinya. “Bagus kalau begitu, kau bisa mendapatkan uang dan juga tempat tinggal.”
“Ya, hanya akhir pekan saja aku datang ke sini,” ucapnya menghabiskan sisa makan malam sebelum akhirnya menyentuh perutnya sendiri. “Astaga, aku kenyang sekali,” ucapnya sambil tersenyum dengan puas. ‘Ibu jangan khawatir, aku bisa mendapatkan banyak uang dari keluarga itu. Apalagi kalau nantinya mereka tahu aku seorang sarjana dan penulis, aku yakin mereka punya banyak pekerjaan untukku di kota mereka.”
“Ibu mendukung hal tersebut, agar kau punya masa depan karena menulis tidak menghasilkan apa apa sampai saat ini.”
Adam terdiam mendengarnya, tetepa saja dia tidak suka dengan kalimat sang Ibu yang menyudutkan kalau menulis itu tidak bergunan. Namun, pintu rumah lebih dulu diketuk saat dirinya hendak protes. Jadi Adam yang sudah selesai makan duluan itu berdiri. “Bia raku saja.”
Melangkah mendekati pintu kemudian membukanya. Tubuhnya tersentak kaget melihat keberadaan seseorang yang tidak asing untuk Adam. “Sindy?”
“Oh, hai, kau ada di rumah? Aku dengar kau bekerja di luar daerah ini,” ucap sosok itu terlihat sama gugupnya.
“Kenapa kau ke sini?” kini Adam bertanya dengan nada yang datar.
“Aku perlu menemui Bibi Delia.”
“Untuk apa?”
“Um, aku membutuhkan bantuannya untuk membuat banyak pie.”
“Akan ada acara besar di rumahmu?”
“Aku akan tunangan di halaman belajang dan mengundang orang orang terdekat,” ucapnya dengan hati hati. “Aku harap kau juga bisa hadir di sana.”
“Aku tidak tau. Aku sibuk,” ucapnya segera melangkah masuk ke dalam rumah saat Ibunya datang mendekat. Ketika melangkah ke lantai dua, Adam mengepalkan tangannya karena membenci posisi ini. posisi dimana dirinya dipandang rendah oleh orang lain, terlebih lagi saat mantan pacarnya mendapatkan sosok yang lebih darinya.
Bahkan Sindy datang dengan mobil sport mewah. Adam semakin memantapkan hatinya kalau dia akan menjadi penulis yang sukses dan membuat Sindy menyesal.
Sementara itu, Sindy sendiri merasa tidak enak menemui Adam. Jujur saja mereka punya banyak kenangan bersama, dan jika tidak terhimpit desakan keluarga dan ekonomi, Sindy sendiri akan bertahan dengan Adam.
“Sudah jangan memikirkan anak itu, dia hanya datang ke rumah ini saat akhir pekan. Lalu sisanya dia akan kembali ke villa.”
“Villa?” tanya Sindy.
“Iya, dia akan ke villa di hutan yang ada di luar kota ini. katanya dia bekerja menjadi penjaga villa milik keluarga yang kaya.” Delia menarik napasnya dalam. “Sayang sekali dia sudah aku kuliahkan tapi malah bekerja sebagai penjaga villa. Berada di hutan Bisik.”
“Itu cukup jauh bukan? butuh waktu satu jam untuk berkendara ke sana?”
“Iya memang, tapi biarkan saja, dia punya motor.”
Dan Adam mendengarkan percakapan itu, membuat gejolak di dadanya semakin siap membuncah.
*****
Selama berada di rumah, Adam menghabiskan hari di dalam kamar untuk menulis n****+, dia tidak meminta siapapun untuk menerbitkan novelnya. Yang Adam lakukan hanyalah terus menulis lalu mengunggahnya di sebuah website kepenulisan dan menunggu orang orang menemukan karya yang sangat keren tersebut.
Hingga tidak terasa di hari minggu siang, dia harus kembali ke pondok untuk berjaga di sana. mengendarai motornya selama satu jam sampai ke gerbang hutan. Dan dari sana menuju villa membutuhkan waktu sekitar 15 menit berkendara memakai sepeda motor.
Dari kejauhan, Adam sudah kaget melihat halaman rumah yang berantakan. Memang banyak dedaunan kering, tapi kali ini bahkan batang pohon juga berserakan di sana. ditambah lagi ada banyak sampah plastic di sekitarnya, Adam menatap jijik jadinya. “Apa yang mereka lakukan sampai banyak sampah seperti ini?” tanya Adam heran.
Dan alangkah kagetnya saat dia melihat bagian dalam rumah yang berantakan. Kain yang menutupi cermin itu Sebagian kainnya jatuh ke lantai. Lalu posisi barang barang yang berpindah dari tempatnya, seperti sofa yang kini ada di daun pintu. Juga sisa makanan dimana mana, ditambah lagi banyak pecahan kaca. “s**t, apa yang mereka lakukan? kenapa aku merasa hidup dalam tumpukan sampah?”
Adam segera mengamboil ponselnya untuk menghubungi Hans.
“Hallo, ada apa menghubungiku? Kau sudah kembali ke villa?”
“Aku di sini, dan tempat ini menjadi sangat berantakan. Ini sangatlah menjijikan, bisa kau bantu aku membereskannya?”
“Hei, itu tugasmu. Aku bertugas menjaga hutan di sini. Lakukan sja pekerjaanmu sebelum kau dipecat. Bonusnya, aku yakin ada banyak makanan di dalam kulkas, itu untukmu jatah selama satu minggu ini.”
Belum juga Adam membalas kalimat Hans, pria itu lebih dulu mematikan telpon. Adam berdecak, dia terpaksa membereskannya seorang diri. Mengambil barang di Gudang peralatan dan menelusuri setiap tempat sambil bergumam tidak jelas, merasa kesal dan ingin mencaci maki keluarga yang tidak tau kebersihan itu.
“Padahal mereka bisa mengumpulkannya dan memasukannya ke dalam kantoong sampah, kenapa malah membuatku bekerja seperti ini?”
Bahkan Adam masuk ke dalam setiap kamar untuk mengecek.
“Astaga, sialan sekali. Mereka keluarga kaya tapi tidak tau kebersihan.” Adam masuk ke dalam kamar yang luas itu.
Keadaan villa ini sekarang seolah menjelaskan kalau ada pesta besar besaran sebelumnya. Padahal pada kenyataan yang Adam tau hanya ada beberapa orang di sini.
“s**t!” dia kembali mengumpat saat melihat ada bekas kondom di karpet bulu tersebut, tidak diikat hingga bau anyir kemana mana..
Dia menutup hidungnya dan bergegas membereskan tempat tersebut. Sampai hampir menjelang malam, akhirnya Adam menyelesaikan pekerjaannya. Dia segera ke dapur untuk beristirahat dan minum.
“Air,” ucapnya merasa kehausan. Adam terdiam sejenak di dapur. Duduk sambil menatap pintu menuju basement dan Gudang peralatan. Seketika tubuhnya merasa merinding. Adam hanya dapat menggelengkan kepalanya karena pemikirannya yang mulai kacau lagi.
“Fuckkkk!” teriaknya saat telpon rumah tiba tiba berbunyi saat dirinya sedang merasakan keheningan. Adam menyimpan botol minumnya di atas meja kemudian melangkag mengangkat panggilan tersebut.
Tahu kalau itu pasti dari majikannya, Adam berdehem terlebih dahulu. “Hallo, Tuan?”
“Adam, kau ada di sana?”
“Saya sudah kembali sejak tadi siang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?”
“Keadaan villa sangatlah kacau bukan? bersihkan semua itu.”
“Sudah saya lakukan, Tuan.”
“Bagus, apa kau melihat cermin cerminku yang baru?”
“Belum, Tuan, jumlahnya masih sama seperti sebelumnya.”
“Itu ada di dalam kamarmu. Kau periksa dan keluarkan, cari tempat yang pas untuk cermin itu. Dan sebagai bonus, lihat di laci dapur, di sana ada uang.”
Begitu panggilan diakhiri, Adam langsung melangkah membuka laci di dapur. Namun hanya ada satu laci di sana, yaitu laci pisau. Dan Adam mendapati uang 200 dollar tanpa dibungkus apapun di sana, dia tersenyum karenanya.
“Woah, aku bisa kaya dengan cepat jika seperti ini,” ucapnya merasa tidak sia sia mendapatkan uang ini.
Tangannya meraih sesuatu di atas meja, tapi Adam tidak kunjung mendapatkannya. Saat menoleh, Adam mengerutkan keningnya. Di mana minumannya? Bukankah dia tadi menaruhnya di sana?
“Apa aku lupa lagi menyimpannya di mana?” tanya Adam mengedarkan paandangan. Sampai dia melihat botol itu ada di samping telpon rumah di ruangan berbeda. “Apa benar aku membawanya ke sana?” gumam Adam sambil melangkah ke sana.
Membuat seseorang di bawah meja dapur tertawa karena perbuaatannya.
“Dia kembali, dia kembali,” bisiknya pada teman temannya yang lain.
****