Sekujur tubuh dan pakaian Ridho basah kuyup. Dia berdiri menggigil depan pintu pos penjagaan. Susanti yang melihatnya dalam keadaan yang sangat menyedihkan segara bertindak.
Dia mengambil sebuah handuk yang tersimpan di laci meja kerjanya, lalu menyodorkan pada Ridho. tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ridho pun menerimanya dengan tanpa bicara pula.
Sang cucu yang baru saja mendapatkan kopi pahit dari nenek tirinya, segera mengeringkan rambut dan wajahnya. Sementara pakaian dan tubuh lainnya dia biarkan tetap basah.
"Masuk dulu, De Ridho!" tawar Susanti. Ridho hanya menjawabnya dengan senyuman, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya mengeringkan sebagian tubuhnya yang tidak terbungkus pakaian.
Ridho tak begitu berminat atau lebih tepatnya ragu untuk masuk ke pos penjagaan. Pakaian dan sepatunya basah kuyup bahkan mengalirkan tetesan air yang sangat banyak. Tentu akan membasahi sekaligus mengotori lantai.
"Silakan duduk dulu De Ridho!" Susanti yang super ramah kembali mempersilakan Ridho. Setelah beberapa kali memaksa Ridho untuk masuk kembali ke pos. Mendapati raut wajah Susanti yang penuh perhatian tak ada alasan bagi Ridho untuk menolaknya.
Susanti telah menunjukan aura keibuan seorang wanita. Berbeda dengan Tante Soraya yang tak ada kedamaian dalam setiap guratan wajahnya.
"Maaf panggil Idho aja, biar lebih akrab, Kak." timpal Ridho seraya menjatuhkan pantatnya di atas bangku kayu panjang yang tersandar di dinding kiri dekat jendela.
"Oh boleh, hehehe. Kenapa Idho harus keluar dari rumah nenek, ujan-ujanan begini, kan jadinya basah kuyup." Susanti kembali bertanya seraya menyodorkan secangkir teh hangat yang beberapa saat lalu dia buat sendiri.
"Hehehe, kan waktunya hanya enam menit, Kak. Ini aja sudah lewat dari enam menit, hehehe." Ridho menjawab seraya menerima cangkir teh hangat yang disodorkan Susanti.
"Bisa begitu ya, saya kira hanya basa-basi 6 menit, hehehe?" Susanti sedikit bergeleng-geleng kepalanya seraya menerbitkan senyum hangat untuk mendamaikan hati Ridho yang tampak murung dan mendung. Lebih kelam dari hujan yang mulai memutih.
Namun di sisi lain hati Susanti memuji Ridho yang tetap tegar dan santai. Walau dia sangat yakin hanya kopi pahit yang disuguhkan neneknya. Sudah hampir tiga tahun Susanti mengenal bagaimana kesombongan seorang Tante Soraya.
"Dengan waktu yang sesingkat itu, saya gak mungkin masuk. Bahkan sekedar numpang berteduh sekalipun," timpal Ridho kemudian dengan suara sedikit bergetar.
Sekujur tubuhnya menggigil kedinginan. Rasa yang tadi sama sekali tidak dia rasakan saat berdebat dengan Tante Soraya.
Kedua tangan Ridho memegangi erat cangkir teh panasnya untuk mendapatkan hawa panas untuk menghangatkan sekujur tubuhnya.
Susanti beranjak menuju ruangan yang berbeda. Tak lama kemudian dia kembali dengan membawa sebuah kaus berwana hijau lumut.
"Idho, daripada masuk angin, sebaiknya ganti kemejamu. Ini punya saya, insya Allah bersih dan steril, hehehe." Susanti menyodorkan kaus yang dibawanya.
"Di belakang aja kalau mau ganti," lanjut Susanti, ketika mendapati Ridho yang ragu-
Ridho berdiri. Setelah meletakan cangkir teh hangatnya dia mengambil kaus itu lalu beranjak pergi ke ruang belakang yang ditunjuk Susanti.
Tak sampai lima menit dia sudah kembali ke ruangan semula dengan memakai kaus. Sementara kemejanya yang basah kuyup ditenteng setelah dikeringkan dengan cara memerasnya.
"Idho suka ngopi gak?" Susanti menawari Ridho.
"Makasih. Cukup teh hangat aja, Kak." Ridho membalas seraya memegangi kembali cangkir teh hangat dengan kedua tangannya. Lalu menyesapnya beberapa isapan.
"Santai aja dulu di sini. Sepertinya hujannya masih lama. Untung kali ini hujannya tidak dibarengi petir, hingga aliran listrik tetap menyala." Susanti kembali bicara sambil duduk di salah satu bangku yang jaraknya tak jauh.
Ridho mengangguk seraya menatap jam dinding. Pukul 14.32 WIB. Keadaan sekeliling masih seperti keadaan menjelang maghrib, walau sudah lebih terang dari sebelumnya.
"Idho kelas berapa?" Susanti bertanya seraya duduk di salah satu bangku yang tak terlalu jauh dengan Ridho.
"Sebentar lagi kelas dua belas."
"Wow, saya kira udah kelas dua belas, sebentar lagi kuliah. Body kamu seperti..." Susanti sedikit terbelalak.
"Anak kuliahan semester tiga, hehehe. Kalau saya pakai pakaian bebas, banyak yang menduga seperti itu."
Susanti hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. apa yang diucapkan Ridho sangat benar. Andai dia tidak membaca kartu pelajarnya mungkin tak akan menduga jika Ridho masih SMA. Namun demikian, wajah tampan dan imut Ridho tak bisa menyembunyikan usianya.
"Idho pasti rajin berolah raga ya." Susanti lebih mengakrabkan diri.
"Lebih banyak olah raga alam. Bantu-bantu mama jualan, sesekali ngojek dan kalau ada waktu, biasanya lari pagi, karate, futsal atau basket. Maaf kalau Kak Susanti sudah menikah? Maaf lagi, sudah punya anak?" Ridho mengalihkan pembicaraan.
"Alhamdulillah menikah sudah. Baru setahun, tapi belum dikarunia anak. Suami kerja di salah satu bank di Jakarta. Terkadang pulang pergi tapi lebih sering nginep di Jakarta. Tergantung sikon aja, tapi kalau tidak ada dinas luar, weekend biasanya selalu pulang." Susanti menjelaskan panjang lebar.
“Pantesan masih kaya gadis perawan, hehehe.” Ridho menanggapi dengan sedikit pujian dan candaan.
“Perawan bersuami, hanya kebetulan aja belum ada buntutnya, hehehe,” sambut Susanti seraya terkekeh dan wajahnya mulai merona.
“Ya kalau penampilan dan postur tubuh kan masih seperti anak kelas SMA. Idho yakin siapapun gak akan ada yang menebak kalau kakak sudah bersuami.” Ridho terus menggodanya.
Wajah Susanti makin merah merona. Bibirnya menyunggingkan senyum seraya mengedikkan bahu. Senang dan bangga karena dugaan Ridho memang tidak salah. Orang yang baru bertemu, banyak yang terkecoh menduga dirinya masih gadis.
Bermula dari secangkir teh hangat dan obrolan ringan, Ridho dan Susanti membuka obrolan ringan tentang sesuatu yang bersifat basa-basi. Namun seperti yang telah ditekadkan dalam hatinya, Susanti lambat laun membawa Ridho untuk bercerita tentang diri dan keluarganya.
Entah karena Susanti yang sangat pandai berkomunikasi atau suasana hujan yang membuat segalanya jadi nyaman. Ridho pun tanpa sungkan menceritakan apa yang baru saja dia alami di halaman Tante Soraya.
Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah Ridho lalukan. Dia relatif tertutup dan tak terbiasa cerita pada orang baru dikenalnya. Terlebih lagi tentang sesuatu yang menyangkut rahasia dan nama baik keluarganya.
Beberapa kali Susanti mengusap wajah cantiknya. Bersimpati dan tak menduga nasib Ridho dan keluarganya setragis itu.
"Sabar ya, Dho. Semua pasti ada hikmahnya. Semoga Allah membukakan hidayah dan taufiknya pada ayah dan keluarga besar Ibrahim. Mudah-mudahan mereka menerima kalian seperti yang seharusnya." Susanti bicara dengan raut wajah yang sangat mendung, bahkan lebih redup dari hari yang ternyata sudah mulai sedikit cerah. Hujan pun sudah mulai reda.
"Amin," balas Ridho lirih. "Dulu keadaan keluarga kami tidak begini. Saat ayah bekerja di salah satu perusahaan ternama milik kakaknya, kami sangat sejahtera. Namun semua berubah setelah ayah berhenti dan buka usaha sendiri jadi kontraktor." Ridho menundukkan kepala. Teringat kembali bagaimana drastisnya perubahan hidup yang dialami keluarganya.
Ridho pernah mengenyam nikmatnya memiliki ayah yang sangat baik, perhatian dan selalu mengutamakan keluarganya. Namun kedua adiknya hanya sebentar saja merasakan itu. Sudah lima tahun ayahnya berubah menjadi ayah yang tidak jelas kedudukannya.
"Usahanya bangkrut kenapa?, maaf." Susanti bertanya hati-hati.
"Saya juga kurang mengerti, ayah gak pernah cerita, mungkin saya juga masih terlalu kecil untuk ngerti waktu itu. Saya hanya tahu ketika sertifikat rumah digadaikan ke bank. Karena hanya itu satu-satunya harta yang masih kami miliki. Namun..." Ridho kembali terdiam.
Susanti tidak memotong ucapan Ridho. Tangannya terus mengelus punggung Ridho untuk memberikan keyakinan jika Ridho tidak sendiri.
"Ketika uang dari bank sudah diterima, ayah malah pergi dan jarang pulang. Gak pernah mikirin cicilannya. Padahal rumah itu warisan dari orang tua mama. Maksudnya mama dapat warisan sawah dari kakek, lalu dijual dan dipakai buat ngebangun rumah." Ridho mengeluarkan segala belenggu hatinya dengan leluasa.
"Oh my God," balas Susanti miris.
"Ayah bukan hanya gak jelas keberadaannya, tetapi meninggalkan kesengsaraan buat kami semua. Beban cicilan utang ke bank yang harus dibayar tiap bulan jadi beban mama, karena sertifikatnya juga atas nama mama. Hanya beberapa kali saja ayah membayarnya." Ridho mengangkat kepalanya yang tertunduk. Pandangannya lurus ke depan menatap sisa-sisa titik air hujan yang masih tersisa.
"Berapa cicilan per bulannya, Dho?" Susanti makin bersimpati.
"Lima juta." Ridho menjawab tanpa ekspresi.
"Oh my God!" Susanti terbelalak.
"Salah satu tujuan saya meminta ayah untuk pulang itu, mau menanyakan masalah cicilan bank. Sudah dua bulan dia tidak melaksanakan kewajibannya, sedangkan kami boro-boro, jangankan untuk bayar utang ke bank, buat makan saja sangat kesulitan."
"Terus sekarang, maksud saya, untuk memenuhi kebutuhan kalian sehari hari dari mana?"
"Mama jualan nasi uduk kecil-kecilan di pinggir jalan. Kebetulan dia pernah jadi koki rumah makan"
"Yang sabar ya Dho. Yakinlah Allah akan segera membukakan jalan terbaik buat keluarga kalian." Susanti kembali mengelus pundak Ridho. Dua bola matanya berkaca-kaca.
"Amin." Ridho kembali membalas lirih.
Obrolan Ridho dengan Susanti makin lama makin dalam dan hangat. Ridho tak menduga wanita yang terkesan kalem namun tegas itu berubah rame dan seru saat bercerita. Ciri khas wanita tak bisa lagi disembunyikan di balik seragam security-nya
Selang beberapa menit kemudian, di saat Ridho sudah bersiap-siap untuk pulang, datang sebuah motor sport yang dikendarai seorang rider yang terbungkus rapi dengan jasa hujan. Dia memarkirkan motornya di sekitar pos penjagaan berukuran 5 x 6 meter.
Sejurus kemudian sang rider turun lalu melepaskan jasa hujan yang membelenggunya. Ternyata dia seorang wanita dengan kerudung dan pakaian seragam yang persis seperti yang dikenakan Susanti. Dari raut wajahnya, dia tampak lebih tua beberapa tahun dari Susanti.
"Kak, saya permisi pulang duluan, mumpung hujannya sudah reda." Ridho sedikit membungkukkan badan dan menganggukkan kepala pada Susanti dan petugas yang baru datang.
"Oh iya, boleh. Kalau ada info nanti saya kirim via WA ya, Dho." Susanti mengantar Ridho sampai ke luar pos.
"Terima kasih sebelumnya, Kak." Ridho mencium tangan Susanti dan setelah itu mereka pun berpisah.
Walau sedikit kecewa tidak bisa menemui ayahnya, namun Ridho mulai memiliki secercah harapan untuk bisa menemukannya.
Susanti sudah berjanji akan memberikan info tentang ayahnya.
‘Semoga bersama Kak Susanti, gua bisa mendapat solusi untuk mengurai segala benang kusut yang selama ini membelenggu keluarga gua. Saatnya gua menunjukan siapa diri gua sebenarnya. Cepat atau lambat gua harus menemukan ayah dan menyeretnya pulang, titik!’
^^^