Ridho terlentang di atas kasur. Merenungi semua peristiwa pahit dan kemelut yang sekian lama menyelimuti keluarganya. Semua kenangan masa lalu yang selalu menyesakkan kalbunya menari-nari memenuhi isi kepalanya.
Pak Fuad suami Bu Anita, ayah dari Ridho, Resty dan Rayhan berubah drastis sejak empat tahun terkahir. Tepatnya sejak Ridho kelas 2 SMP. Pak Fuad mulai mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga, bahkan jarang berada di rumah.
Sekalinya pulang dalam keadaan tak damai. Marah-marah gak jelas, memaksa minta uang pada istrinya. Tak jarang dia melakukan tindakan kekerasan. Menampar, memukul dan menendang istri dan anak-anaknya jika keinginannya tidak dituruti.
Ridho si anak sulung yang waktu itu baru berusia 13 tahun, belum bisa berbuat banyak. Dia bersama kedua adiknya hanya bisa menangis memeluk ibunya yang tak berdaya. Sampai detik ini, Ridho masih belum tahu. Apa penyebab lelaki keturunan Arab itu jadi berubah.
Kasih sayang dan perhatian yang dulu selalu menghiasi hari-hari indah keluarganya, hilang tanpa bekas. Resty dan Rayhan bahkan sangat ketakutan jika berada dekat dengan ayahnya yang telah menjadi orang asing di mata mereka. Namun demikian disaat sakit Rayhan masih tetap memanggil ayahnya. Naluri dan ikatan batin ayah dan anak tak mudah untuk luntur.
Pak Fuad menjadi seseorang yang mudah terbakar emosinya dan ringan tangan. Dia tak ubahnya sebuah monster yang sangat menakutkan untuk istri dan anak-anaknya sendiri. Bu Anita seorang wanita sederhana tetap bertahan demi anak-anaknya. itulah salah satu alasan Bu Anita, tak mau bercerai dengan Pak Fuad.
Pak Fuad semakin menjadi. Kelakuannya kian parah dan tak bermoral. Tak lagi menafkahi keluarganya. Semua uang dan harta yang dimiliknya dihabiskan untuk berfoya-foya bahkan uang pinjaman dari bank entah kemana hilangnya.
Ridho terpaksa harus memutar otak membantu mamanya menafkahi kedua adiknya. Bu Anita membuka warung kecil-kecilan, jualan uduk dan masakan lainnya. Kebetulan dia memiliki keahlian masak dan membuat kue. Saat menjelang lebaran hampir kewalahan menerima pesanan kue kering. Namun hanya musiman.
Dalam memenuhi kebutuhan keluarga, Ridho pun terpaksa ikut mangkal di pangkalan ojek. Walau tidak rutin, karena dia pun harus bergelut dengan sekolah dan membantu mamanya.
"Idho, maafkan mama yang selalu merepotkan dan menyusahkan," ucap Bu Anita setiap kali Ridho menyerahkan uang hasil jerih payahnya.
"Tidak semestinya Idho mencari nafkah untuk mama dan adik-adik." Bu Anita membasahi uang yang diterimanya dari Ridho dengan air matanya.
"Mama jangan banyak pikiran. Idho rela dan ikhlas melakukan semua, Demi Allah!" Ridho membalas lembut penyesalan dan permohonan maaf mamanya.
Ridho selalu mengulaskan senyum saat memberikan berapapun uang yang dia dapatkan dari hasil jerih payahnya. Jumlahnya tidak tentu dan tidak setiap hari Ridho bisa memberikan uang. Namun setidaknya bisa menyambung hidup seluruh anggota keluarganya.
"Tak seharusnya Ridho repot seperti ini. Kamu bahkan kehilangan masa remaja hanya untuk mengurusi mama dan kedua adikmu." Bu Anita kembali menatap pilu wajah anak sulungnya yang tertunduk. Air mata yang sudah hampir mengering di pipinya kembali mengalir.
"Mama jangan bicara begitu. Ini sudah suratan taqdir dari Allah yang harus kita jalani dengan ikhlas. Insya Allah semua pasti ada hikmahnya. Kita berdoa saja semoga badai segera berlalu." Ridho yang usianya masih sangat belia berusaha bersikap dewasa.
Di depan mama dan adik-adiknya, Ridho senantiasa memperlihatkan rona wajah cerah semringah menyembunyikan segala kepedihan hatinya.
"Idho, jika suatu saat mama pergi untuk selamanya, titip Resty dan Reyhan. Hanya mereka harta kita yang paling berharga. Sayangi dan cintai keduanya seperti Idho menyayangi mama dan ayah." Suara lemah yang sedikit tersedak, kian menggoreskan luka terdalam di hati Ridho.
Hati si Sulung berdarah-darah, hampir saja dia gagal menyelesaikan rutinitasnya memasukan makanan ke dalam mulutnya.
Ridho segera memeluk tubuh mamanya yang terasa lemah.
"Mama wanita kebanggan Idho, mama lebih tegar dan lebih perkasa dari siapapun. Idho sayang mama." Ridho menciumi mamanya dengan penuh cinta.
"Mama jangan pernah meragukan cinta Idho pada Resty dan Rayhan." Ridho berbisik di antara hatinya yang bergemuruh.
"Maafkan ayahmu yang sedang khilaf. Hormati dan sayangi dia seperti biasa, karena tanpa ayah, Idho, Teteh dan Dede belum tentu lahir ke dunia ini. Jika suatu hari ayahmu pun pergi meninggalkan kalian. Idho harus menjadi penggantinya untuk Resty dan Reyhan." Kalimat yang menyayatkan pilu dan menggerus ketegaran seorang Ridho.
"Insya Allah, Ma." Ridho tak mampu lagi berucap.
Kini otak Ridho berputar keras. Memikirkan nasib keluarga dan mencari cara untuk bisa tetap mendapatkan penghasilan yang halal.
Sudah dua minggu, tepatnya sejak adik bungsunya sakit, mama Ridho tidak berdagang. Hanya beberapa kali menerima pesanan kue dari tetangganya. Modal untuk jualan habis, bahkan tabungan yang tak seberapapun sudah ludes untuk makan sehari-hari dan biaya berobat adiknya.
Bulan ini rumahnya sudah dua kali didatangi petugas bank yang menagih cicilan. Terbersit pemikiran untuk menjual motor andalannya, namun dia masih sangat membutuhkannya. Dan motor itulah satu-satunya yang kini masih bisa diandalkan untuk mengais rizki.
"Sayang kalau sertifikat kita sampai hangus, tinggal lima bulan lagi. Mudah-mudah Allah melimpahkan rizkinya pada kita, agar bisa segera melunasi cicilan ke bank." Sang mama memberitahukan Ridho saat petugas bank telah kembali dan memberikan tenggat waktu satu bulan.
"Kalau sampai rumah ini disita, berarti kita harus pindah ke Bandung, numpang di rumah kakek," lanjut Bu Anita dengan air mata yang kembali berderai. memikirkan bagaimana nasib sekolah anak-anaknya.
Lima sampai dua puluh lima juta uang yang harus tersedia untuk bisa memiliki kembali sertifikat itu. Telah sepuluh bulan Ridho dan mamanya bahu-membahu mencicilnya. Sangat disayangkan jika semuanya harus hangus.
Cukup banyak hal sederhana yang bisa diteladani dari seorang Ridho. Selain kesederhanaannya itu sendiri, dia juga dikenal sebagai remaja yang miliki kepribadian cukup baik. Cerdas, penyayang dan taat beribadah, walau belum pernah jadi santri mondok.
Pesona dan ketampanan putra sulung pasangan Fuad Fuad Alarkam dan Anita Rahayu, sudah terpancar sejak lahir. Darah Sunda-Arab yang mengalir di tubuhnya, terasimilasi dengan sempurna dari garis keturunan mama dan ayahnya.
Di lingkungan tempat tinggal maupun di sekolah, Ridho banyak digilai cewek-cewek. Dia juga terkenal memiliki banyak teman. Hampir semua teman-teman sekolah Ridho dari kalangan berada.
Andai Ridho memiliki keberanian untuk meminjam atau meminta pada mereka, mungkin bisa jadi solusi jangka pendek atas segala permasalahan hidupnya. Tetapi hal demikian sangat tabu bagi Ridho. Dia tidak mau merepotkan orang lain.
Tak ada gading yang tak retak. Tak pernah tercipta makhluk sempurna di dunia ini. Begitu pun dengan Ridho.
Di antara sederet kelebihan fisik dan keindahan pribadinya, dia pun dilengkapi dengan banyak kelemahan. Minder, mudah panik, pemalu, baperan dan tidak suka memakai celana dalam, ciri khas yang melekat dalam dirinya.
Kebiasaannya tidak memakai celana dalam berbentuk segi tiga, sering dianggap kelemahan oleh sebagian orang. Namun Ridho tidak menggubrisnya. Dalam kenyataannya banyak yang memuji hal itu, walau ada pula yang mencibir.
Ridho bahkan tak pernah menyadari, jika kebiasaannya tak pernah memakai celana dalam ternyata berandil sangat besar dalam mengubah jalan hidupnya kelak. Dia bahkan biasa dipanggil Detol oleh hampir semua teman-teman.
Seminggu telah berlalu.
Pak Fuad yang sangat dinantikan kepulangannya oleh istri dan anak-anaknya, tak pernah menunjukan batang hidungnya. Adik Ridho yang sakit pun kini sudah sembuh dan bermain seperti sedia kala.
Sekilas kehidupan keluarga Bu Anita tampak normal seperti kebanyakan rumah tangga lainnya. Walau sang Kepala Keluarga sudah hampir tiga bulan tak pernah lagi pulang.
Resty dan Rayhan dua adik Ridho, mungkin tidak terlalu merasakan sulitnya kehidupan keluarga mereka. Namun bagi Ridho, sang anak sulung hal itu sangat terasa. Mau tidak mau dia harus berperan ganda menjadi kakak sekaligus ayah untuk kedua adiknya. Dia pun ikut mencari nafkah membantu mamanya.
Bu Anita pun berperan ganda. Jadi ibu sekaligus ayah untuk ketiga anaknya. dia menjadi tulang punggung keluarga yang bertanggung jawab menghidupi keluarganya dengan berjualan nasi uduk.
Bu Anita sering tak bisa tidur. Selain memikirkan biaya hidup untuk ketiga anaknya, dia juga memikirkan cicilan utang suaminya ke bank yang dia rasakan semakin hari semakin mencekik dan menyesakkan.
Pernah terbersit untuk menjadi TKI di luar negeri. Namun selalu ditepiskannya. Dia masih tak sampai hati meninggalkan ketiga buah hatinya yang masih sangat membutuhkan bimbingan dan kasih sayangnya. Statusnya sebagai wanita bersuami pun jadi pertimbangannya.
"Dho, kalau kedua adikmu libur, mama mau ke Bandung. Siapa tahu kakek bisa bantu kita bayar cicilan. Berarti mama gak bisa hadir dalam perayaan perpisahan dan kenaikan kelas Idho. Gimana?" Bu Anita bicara dengan nada lembut keibuan.
"Gak papa, Ma. Idho juga sepertinya gak bisa liburan di rumah kakek. Idho mau liburan di sini aja sambil ngojek. Siapa tahu penghasilannya lebih baik kalau lagi liburan." Ridho menjawab dengan tetap mengulaskan senyum hangat buat wanita paling tegar sedunia.
"Ya terserah Idho aja."Bu Anita mengelus kepala belakang anak sulung kebanggaannya.
"Lagian Mama Dendy kan masih padat acaranya. Dia udah minta Idho buat antar jemput sampai semua Dhob-nya kelar, mungkin sampai bulan depan." Ridho memegangi tangan mamanya yang mengelus kepalanya.
"Iya tapi hati-hati ya, sayang. Kalau ujan atau panasnya terik banget, jangan dipaksakan. Tetap jaga kesehatan dan banyak istirahat."
"Ma, Idho juga mau sekalian nyari ayah. Gak papa dia gak pulang juga yang penting mau bantu kita bayar cicilan. Boleh kan Ma?" tanya Ridho penuh harap.
Selama ini Bu Anita selalu melarang Ridho untuk mencari ayahnya. Banyak alasan yang membuatnya tidak mengizinkan. Dia sangat khawatir terjadi hal-hal yang tak diinginkan saat Ridho bertemu ayahnya di luar.
Postur tubuh Ridho lebih tinggi, lebih tegap dan lebih gagah dari ayahnya. Ditambah tenaga muda dan penguasaan ilmu bela yang mumpuni, sangat memungkin jika Ridho lepas kontrol dan menganiaya ayahnya sendiri.
"Bolehkan, Ma?" Ridho kembali bertanya saat mamanya diam membisu.
"Mama ngizinin, asal Idho janji akan tetap menahan diri dan tidak berbuat macam-macam pada ayah. Mama gak rela kalau Idho jadi anak durhaka apalagi sampai mencelakai ayah. Apapun adanya, dia tetaplah suami mama dan ayah kalian." Bu Anita memeluk dan menciumi kepala Ridho dengan penuh kasih sayang.
"Idho janji akan selalu memegang teguh pesan mama. Tetap menghormati ayah, apapun adanya," balas Ridho seraya memeluk pinggang Bu Anita yang berdiri di sampingnya.
Setelah menadapat izin dan restu dari mamanya. Setiap pulang sekolah, diam-diam Ridho menyempatkan waktu mendatangi beberapa tempat yang diperkirakan bisa menemui ayahnya. Tentu saja dengan tidak mengabaikan tugasnya mencari uang tambahan ngojek di sekitaran kompleks.
Sepertinya ini akan menjadi pencarian yang akan sangat panjang.
^^^