Ridho mengangkat wajah, menatap wanita yang garis pipi dan dagunya sangat antagonis dan menunjukan garis kesombongan yang hakiki.
"Astagfirallah, Tan. Apa sebenarnya kesalahan mama saya, hingga Tante begitu membencinya." Ridho bertanya diantara titik-titik hujan yang mulai menimpa rambutnya.
"Terlalu banyak kesalahan si Anita! Dia telah menghancurkan kehormatan dan harga diri keluarga besar Ibrahim. Memupuskan semua harapan dan cita-cita besar Fuad." Tante Soraya menunjuk wajah Ridho yang basah dengan air hujan.
"Asal kamu tahu! Gara-gara si Anita, kami gagal besanan dengan seorang Menteri! Fuad gagal jadi orang penting di negeri ini." Telunjuk Tante Soraya makin jentik mengarah ke Ridho yang masih berdiri di tempat semula..
"Hilang harga diri bagaimana, Tan?" Ridho sedikit menantang,berharap bisa sedikit meruntuhkan tembok kesombongan wanita yang super arogan itu.
"Kamu mau tahu?" Tante Soraya terpancing.
"Boleh." Ridho menjawab kalem.
"Kamu siap gak ngedengernya? atau memang kamu sudah tahu tapi pura-pura bodoh. Masa si Anita tidak ngasih tahu sama kamu?" Tante Soraya balik bertanya.
"Belum tahu, Tan." Tangan kanan Ridho berkali kali mengusap wajah yang basah. Beruntung turunnya hujan tidak disertai kilatan petir dan gemuruh halilintar.
Tante Soraya bersedekap. Bibir tersungging angkuh dengan wajah angker dan arogannya. Tidak ada titik-titik aura kedamaian dan kebaikan dari guratannya.
"Ridho! Kamu itu anak haram!" lengkingan Tante Soraya membahana.
Duar!
Laksana suara petir yang sangat keras, menyambar gendang telinga Ridho di antara hujan yang makin deras dan embusan angin yang makin kencang.
"Maksudnya, Tan?" Ridho menatap Tante Soraya yang memalingkan wajah ke samping kiri. Tampaknya dia tak sudi menatap cucu tirinya yang bersikap sedikit menantang.
"Kamu itu anak yang dikandung di luar nikah. Si Anita hamil sebelum menikah dengan Fuad!" Teriakan Tante Soraya makin melengking, berbaur dengan suara hujan dan angin yang bergemuruh.
"Masya Allah!" Ridho berbisik seraya mengusap wajahnya.
"Itu fitnah, Tan! Saya terlahir, satu tahun setelah ayah dan mama menikah. Bisa dibuktikan dengan akte kelahiran dan surat nikah mereka." Ridho menahan tubuhnya yang sedikit menggigil menahan amarah. Tak rela mama tercintanya dihina dan difitnah sebegitu keji.
"Alah! Anak kemarin sore tahu apa? Kamu gak bakal ngerti urusan begitu. Kamu itu tahunya cuma makan, tidur, nongkrong jadi anak berandalan, main game dan menghamburkan uangnya Fuad. Sama seperti mamamu! Wanita miskin itu maunya hidup enak, numpang pada keluarga kaya, hingga tega memfitnah dan menjebak Fuad." Tante Soraya makin bengis dan nyelekit ucapannya.
"Astagfirullah, Tan. Itu tidak benar!" Ridho menyangkal keras, "ayah sengaja mengarang cerita itu, supaya keluarga besarnya merestui pernikahannya dengan mama. Bukankah Tante dan keluarga waktu itu tidak merestui hubungan mereka?" Ridho menyampaikan fakta dan kebenaran yang diketahuinya.
"Dan sampai kapan pun keluarga Ibrahim tidak akan pernah merestuinya. Sudah tahu semua orang tidak merestuinya, kenapa si Anita maksa? Harusnya dia sadar diri. Seorang pelayan rumah makan, bermimpi menikah dengan anak keluarga kaya raya. Dasar wanita gak punya otak!" Tante Soraya terus mengeluarkan hujatan kejinya.
Beberapa saat Ridho terdiam. Bukan tak sanggup lagi bicara. Namun dia teringat pada pesan mamanya untuk tidak melawan. Tak disangka, tuduhan yang mengingkari semua fakta dan bukti otentik itu benar-benar terdengar jelas dan langsung ditelinganya.
Sejak kelas satu SMP, Ridho telah mengetahui jika keluarga besar ayahnya selalu menjadikan tuduhan tak berdasar itu untuk memoDhokkan mamanya. Walau segala bukti-bukti termasuk hasil tes DNA telah ditunjukan, namun mereka tetap tak mau mengerti dan tak bisa menerimanya.
Akta kelahiran, buku nikah, bahkan kartu keluarga dan surat-surat lainnya dengan sangat jelas menunjukan jika Ridho terlahir 13 bulan setelah Anita dan Fuad resmi menikah.
Seluruh keluarga besar Ibrahim Alarkam yang terpelajar dan mengenyam pendidikan cukup tinggi, semestinya lebih memahami dan tak mengingkari fakta-fakta itu. Namun kesombongan mereka telah membutakan nurani dan kecendikiawannya.
"Dia kira, kami orang bodoh yang bisa dibohongi! Dasar wanita tak berpendidikan. Pake pura-pura hamil segala untuk menjebak. Bilangin sama mamamu, kalau ngemis jangan begitu caranya. Kalau ingin merasakan tinggal di rumah orang kaya, jadi pembantu aja di rumahku!" Tante Soraya menumpahkan segala kekesalannya.
"Allahu Akbar. Yang membuat cerita itu ayah, Tan. Sejak pertama kenal ayah, mama sudah sadar diri. Dia meminta ayah untuk tidak melanjutkan hubungan, apalagi sampai menikah." Ridho tak mau lagi membisu.
"Ya, memang seharusnya begitu!" Tante Soraya kembali mencibir.
"Tapi ayah tetap maksa. Dia sangat mencintai mama." Ridho mencoba mengklarifikasinya. Walau dia tak yakin suaranya bisa didengar jelas oleh Tante Soraya. Deru angin dan hujan yang deras sedikit menenggelamkan suaranya.
"Eh, Ridho, aku mau tanya lagi! Kamu datang ke sini mau apa?"
"Nyari ayah!"
"Kenapa harus dicari?"
"Karena sudah lebih dari lima bulan tidak pulang."
"Nah, terjawab kan? Kalau Fuad benar-benar cinta sama si Anita dan kalian benar-benar darah dagingnya, dia tidak mungkin pergi tidak pulang sampai berbulan-bulan!" Bibir Tante Soraya mencibir lebar.
"Fuad pergi karena sudah sadar kalau selama ini dia ditipu dan diperdaya oleh kalian." lanjutnya.
Tante Soraya membisikkan sesuatu pada asisten rumah tangga yang berdiri di belakangnya. Dengan wajah yang sedikit tegang ketakutan. Wanita itu tergopoh-gopoh masuk ke rumah majikannya.
Mulut Ridho masih menganga dan matanya membesar. Sekujur tubuhnya menggigil. Bibir membeku, lidah pun kelu. Tak mampu lagi untuk membela atau bicara apapun. Pikirannya membayangkan, bagaimana ekspresi wajah kedua adiknya jika mendengar langsung tuduhan dan penghinaan yang keji ini.
"Sekarang kamu sudah tahu!" Tante Soraya kembali melanjutkan ucapannya.
"Itulah alasannya mengapa keluarga Ibrahim membenci si Anita dan tidak sudi mengakui kalian sebagai cucu. Aku bahkan tidak yakin kalau kalian semua darah dagingnya Fuad." Tante Soraya menghentikan ucapannya.
Wanita paruh baya, asisten rumah tangganya telah kembali dan menyodorkan sesuatu pada Tante Soraya.
"Keluarga kakekmu sekongkol menghalalkan segala cara untuk menjerat Fuad hingga dia rusak dan ancur-ancuran seperti sekarang. Dia gagal jadi menantu Menteri, gagal jadi pejabat negara dan kini perusahaannya pun bangkrut." Tante Soraya menahan batuknya.
Ridho hanya menganga.
"Kini Fuad sudah menyadari semua kebodohan masa lalunya. Dia menyesal telah menikahi mamamu, wanita pembawa sial." Suara Tante Soraya sedikit tercekat, tergerus emosi dan semangat memaki.
Ridho terperangah, pandangannya seketika kabur. Air matanya tak bisa lagi ditahan, mendesak keluar mengalir deras menyatu dengan air hujan yang mengguyurnya tanpa ampun.
"Hai anak pengemis hina!" bentak Tante Soraya kemudian.
Ridho kembali meluruskan wajahnya menatap wanita yang sudah kehilangan iman, etika dan hati nuraninya.
"Ambil tuh uang sedekahku!" Tante Soraya melemparkan gulungan kertas biru yang terlebih dulu diremas-remasnya.
"Bawa adikmu berobat ke dukun. Jangan pernah datang lagi ke sini. Si Anita, kamu dan kedua adikmu haram hukumnya menginjakkan kaki di rumah ini dan halaman sekitarnya!" pungkas Tante Soraya
'Ya Allah, ujian apalagi yang sedang Engkau berikan. Hamba rela dengan semua ujian ini, tapi mohon jangan berikan penderitaan yang pedih pada kami sekeluarga. Berilah kami petunjuk dan bebaskanlah kami dari akar segala penderitaan yang menyakitkan ini.'
Sejurus kemudian, wanita berhati sekeras batu karang yang gemar memakai perhiasan mencolok layaknya toko mas berjalan itu, membalikan badan lalu masuk ke rumahnya diikuti asisten rumah tangganya.
Ridho pun memutar haluan. Balik badan lalu keluar dari halaman rumah neraka tanpa mempedulikan gulungan kertas biru yang dihanyutkan air hujan.
'De, maafin Aa yang belum bisa membawa ayah pulang. Sabar ya, Sayang. Segeralah sembuh. Kasihan mama dan teteh.' Ridho kembali menyeka air mata yang tersamarkan air hujan.
Remaja berhidung mancung yang bertengger indah di antara alis tebal khas lelaki keturunan Timur Tengah itu segera menstarter motor tuanya. Berlari kencang menembus deras hujan dan derunya angin. Dia menuju pos penjagaan untuk mengambil kembali kartu identitasnya.