Eps 9

1321 Words
Galan mengamati Tata dengan seksama. Mendekat lalu melambai-lambaikan tangan di depan wajah Tata. “Nih orang ngelindur?” gumamnya pada diri sendiri. “Nggak bisa tidur, kamu telfonnya kedengaran. Ngelindur apanya!” Galan jadi melebarkan mata, terkejut mendengar balasan Tata. Dia mendesah, menatap kasihan pada Tata yang ternyata belum tidur. “Sorry deh. Tidur gih, sekarang gue nggak gangguin. Beneran Cuma nemenin aja.” ngomongnya. Tata tak menjawab, dia tetap pada posisinya dan tanpa membuka mata. Menit berlalu keadaan cukup hening dan benar-benar bisa membuat Tata terlelap. Entah berapa lama Tata tertidur, tapi saat dia bangun, keadaan benar-benar sudah sepi. Dia sampai terkejut melihat Galan yang beneran menemaninya. Bocah itu juga tidur di ujung sofa yang sebelah. Tata beranjak, masuk ke kamar mandi untuk keperluannya. Begitu keluar tatapannya langsung tertuju ke arah Galan yang masih dengan posisi sama. Dia tersenyum sendiri menatap wajah polos bocah berumur 18 tahun yang memang tampan. Wajah yang tentu saja da kemiripan dengan Galins. Mengingat Galins, Tata jadi mendesah. Wanita manapun pasti akan memiliki ketertarikan ketika melihat Galins. Dia gagah dan memiliki kehidupan yang terlihat nyata. Siapa sih yang nggak mau jadi pendamping hidupnya? Hanya saja … Tata merasa trauma menjalin hubungan dengan seorang lelaki. Tata melangkah mendekati ibunya, menatap infus yang masih banyak, lalu wajah ibu yang tetap tenang seperti sebelum-sebelumnya. Dia memilih kembali duduk di sofa. Mengambil tasnya lalu menatap layar ponselnya yang ada beberapa chat masuk. [Ta, ditelpon kok nggak diangkat. Padahal aku sudah penuh perjuangan untuk telpon kamu] Chat dari nomor yang sengaja tak Tata simpan karna Tata sudah tau siapa pengirimnya. Dia langsung menghapus chat itu karna merasa jika itu sangat tak penting. Membuka chat yang lain, chat dari teman-teman pabrik yang menanyakan keadaan ibu dan mengingatkannya untuk menjaga kesehatan. Usai membalas beberapa chat, Tata kembali menyimpan ponselnya. Menjatuhkan kepala di sandaran sofa dengan tangan yang menyugar rambut. Sungguh, mengingat Rian, ada rasa sakit yang sampai detik ini tak bisa hilang. ** Pagi menyapa. Tata melengkuh, dia membuka mata dengan menyipit karna sinar lampu yang menyilaukan mata. Begitu kedua mata terbuka sempurna, tatapannya langsung tertuju ke arah bawah kepala yang menjadi bantalan tidurnya. Tata menggerakkan kepala, melirik ke atas. Tata langsung beranjak bangun, duduk dengan kedua mata melebar menatap Galan yang masih tertidur dengan posisi duduk. Lalu … dia tadi tidur nyaman di pangkuannya. Tata sampai menutup mulutnya yang menganga karna sangat tak percaya. ini tadi adalah pertama kalinya dia tidur di pangkuan seorang laki-laki. Perlahan Galan mulai bergerak, menggaruk kening, lalu kedua mata terbuka dengan tangan yang menutup mulut karna menguap. “Udah bangun, mbak?” Tata menatap wajah Galan cukup serius. “Kenapa aku bisa tidur di pangkuanmu? Semalam … semalam perasaan ….” Tata diam, mengingat kejadian semalam sebelum dia tertidur kembali. “Yah, kagak sadar dia kalau taruh kepala sendiri di pangkuan.” Keluh Galan dengan gelengan samar. Lalu cowok itu beranjak berdiri. “Gue balik ya, mau siap-siap ke sekolah.” pamitnya dan langsung melangkah keluar tanpa menunggu jawaban Tata. Tata sendiri diam, mengingat dia yang bangun dan benar-benar ada di atas pangkuan Galan. Cckk, kek orang mabuk aja, sampai nggak kerasa dan nggak ingat apa pun. Dia jadi menutup wajah yang merasa sangat malu. Ceklek! Tata mengangkat kepala, menatap ke arah pintu yang terbuka dari luar. Kedua mata melebar saat melihat ada Rian yang melangkah masuk dengan memakai sarung serta kemeja. Lelaki itu langsung menutup pintu dan tersenyum lebar. “Ta,” sapanya, mengambil duduk di sofa dengan tanpa canggung. Tata langsung beranjak berdiri. “Kamu mau ngapain ke sini, mas? Ini di luar masih petang dan … dan aku yakin pasti kamu bohongi istrimu, kan?” Rian jadi mendongak, menatap Tata yang wajahnya terlihat tak menyukai kehadirannya. “Ta, kamu kan calon istriku. Nggak ada salahnya aku mendatangimu, kan?” Tata jadi menyugar rambut. “Aku memang sudah menandatangai syarat itu, mas. Tapi aku pastikan aku sama Dika bisa mengembalikan uangmu secepatnya. Tanpa harus menjadi istri keduamu.” Rian menyunggingkan senyum, senyum yang begitu meremehkan. “Di kontrak itu aku kasih kamu keringanan tiga bulan. Dan kamu bebas dari perjanjian itu jika kamu mengembalikan enam puluh juta beserta bunganya dua puluh juta.” Rian mengangguk snatai, mengangkat satu kaki dan menyilakan di kaki yang satunya. “Aku nggak suka merendahkan orang, Ta. Tapi semua orang pasti tau. Pekerja pabrik seperti kamu itu dapat gajinya berapa. Iya gede kalau ada lemburannya. Paling satu jamnya Cuma belasan ribu, kan? Belum naik banyak kan?” Tata membuang muka, sangat muak menatap wajah Rian yang dulu sempat membuatnya gila. Ya, bahkan Rian dulu menjadi orang pertama yang tau slip gaji Tata. Cckk, Tata dulu memang sebucin itu. “Dari pada kamu capek kerja Cuma buat ngembaliin duit, kenapa sih nggak langsung nerima tawaranku untuk nikah siri cepat?” ajakan yang membuat Tata semakin ingin memukul kepala Rian. “Jadi istriku itu enak lho, Ta. Kamu sudah pasti akan aku nafkahi. Itu lho, toko mabelnya bapakku. Itu besok akan diwariskan ke aku. Kalau kamu sudah jadi istriku, berarti apa pun milikku, kamu juga bisa memilikinya. Itu Dika, pasti dia bisa kuliah sampai S2 lho, nggak Cuma tamatan SMA.” Tata menatap tajam dengan wajah yang udah lelah dan malas. Tak mengatakan apa-apa, dia melenggang masuk ke kamar mandi. Rian menyibak sarung, mengambil ponsel yang ia simpan di saku celananya. Tersenyum ketika membaca chat balasan dari ustad Ali yang mengatakan jika menikah siri itu tak perlu ribet seperti pernikahan yang sah. Cukup kertas bukti pernikahan dan beberapa saksi saja. Rian diam sebentar, sedang berfikir tentunya. Menikah di kampungnya, sama aja cari mati. Lebih aman mengajak Tata keluar kota, lalu menikah dengan siri di kota itu sekalian bulan madu. Cckk, memang terkadang ide pintar itu munculnya suka dadakan. Rian menoleh ketika pintu kamar mandi terbuka. Dia tersenyum melihat Tata yang wajahnya terlihat lebih segar. Ditambah wangi sabun mandi yang memenuhi indra penciumannya. “Kamu masih pakai sabun sisuit, Ta?” tanyanya, mengingat masa lalu. “Ternyata sejak dulu kamu memang tak pernah berubah. Tetap cantik alami dan … selalu bisa menyenangkanku.” “Ini udah jam lima, mas. Mendingan kamu pulang. sebentar lagi dokter akan ke sini untuk memeriksa keadaan ibu.” Sebenarnya mau mengusir, mau main kasar. Hanya saja Tata masih ingat dengan utangnya ke Rian. Rian tersenyum sok kalem. “Iya, aku juga sudah pergi terlalu lama.” dia beranjak dari duduknya, mengulurkan sebungkus plastik hitam ke Tata. “Aku tau kamu pasti lapar, makanya aku bawakan makanan kesukaanmu. Ini,” ucapnya, sok romantis mengulurkan plastik itu. Tata meliriknya. “Bawa pulang aja, Mas. Aku nanti dibeliin makan sama Dika.” Dengan cepat Tata menarik handle pintu. “Aku udah lama nggak suka jajan roti -padi mbak-.” Kening Rian jadi berlipat, dia membuka plastik hitamnya. Mengambil jajanan roti berharga seribuan yang bungkusnya warna hijau. “Kamu dulu suka banget sama roti ini lho, Ta. Ini kesukaanmu, rasa pandan. Merknya juga masih sama, padi mbak.” Tata mengepalkan tangan, detik kemudian dia melemaskan seluruh tubuh dengan sentaan nafas kasar. “Itu dulu, Mas. Dan aku udah bilang sama kamu kalau aku yang sekarang itu udah bukan lagi aku yang dulu. Aku udah berbeda.” Terangnya tegas. “Silakan keluar, mas.” Usirnya. Rian memasukkan lagi roti itu ke dalam plastik. “Oke aku pulang karna pasti Wulan akan mencariku. Dia sering ngomel kalau bangun tidur nggak liat aku di sampingnya.” Tata mencibir dengan begitu malas. “Ta, tanggal 23 aku mau ambil libur tiga hari. Kamu juga ambil cuti di pabrikmu ya. Kita pergi ke Magelang untuk mengesahkan hubungan kita.” Ngomongnya seenak jidat. Dia tersenyum lebar saat Tata sudah melotot dengan mulut yang terbuka. “Nggak perlu terkejut. Karna aku sekarang telah menjadi Rian yang dulu. Rian yang selalu mencintai dan menyayangi Tata.” Santai banget Rian melangkah pergi, langkah yang lebar karna takut kalau Wulan menyadari kepergiannya. “Astaga, ya Tuhan, ya Gusti, Ya Allah, Ya Ilahi ….” Tata mengusap d**a yang rasanya mau lompat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD