Eps 8

1128 Words
Tata menatap ibunya yang tentu saja masih terbaring lemah di atas ranjang pesakitan. Terhitung ini adalah hari ke lima beliau ada di sini, tapi keadaannya masih sama. Belum sadarkan diri dan belum ada perubahan juga. Padahal kata dokter operasinya tak ada masalah apa pun, hanya saja memang kepalanya terbentur tembok pembatas selokan cukup keras dan mungkin itu adalah penyebab lamanya bu Ratih sadarkan diri. Tata mengusap tangan ibunya yang dingin. “Buk,” panggilnya dalam kesunyian. “Kenapa nasib kita gini banget sih? Perasaan pas bapak masih ada, kita nggak senelangsa sekarang ini.” keluhnya. Helaan nafas panjang terdengar dari mulut Tata. Bayangan kesedihan saat bapaknya pergi dengan tiba-tiba dan untuk selamanya kembali terlintas di kepala. Merasa sangat terpukul karna harus menerima kenyataan pahit dengan pola dan gaya hidup yang semakin sulit. Dia sempat mengeluh ketika harus menjadi tulang punggung dan hampir tak pernah memiliki sisa gaji. Sumpah, Tata tak punya tabungan sepeser pun. Tata mengusap kedua mata yang berair, dia memasukkan tangan ibunya ke dalam selimut. Beranjak berdiri dan beralih duduk di sofa. Tata menjatuhkan punggung ke sandaran belakang dengan kedua mata yang menutup. Jam tujuh tadi baru pulang kerja karna harus lembur. Dia hanya mandi dan langsung ke rumah sakit untuk menunggui ibunya. Sementara Dika, adiknya itu harus mempersiapkan ujian akhir sekolah yang senin besok sudah dimulai. Ceklek! Kedua mata Tata baru akan terpejam, tapi suara pintu yang dibuka membuatnya kembali membuka mata. Di pintu sana, ada Galan yang melangkah masuk dengan daun pintu yang masih dibuka. “Dika nggak ke sini, mbak?” tanya Galan. Tata menggelengkan kepala. “Kenapa?” Galan mengacak rambutnya yang sedikit panjang. “Nggak apa-apa sih. Kirain ke sini.” Santai banget cowok seumuran Dika ini melangkah, lalu duduk di sofa samping Tata. Tata jadi melirik Galan dengan kedua mata yang mendekik. “Kamu ngapain? Dika nggak ada di sini.” Bocah ganteng tapi mukanya keliatan tengil itu nyengir. “Mau nemenin mbak Tata,” jawabnya dengan super pede. Tata mendesah saja, pikiran dan tubuh sudah terlalu lelah untuk berdebat. “Mending tunggui mamamu. Kan mamamu juga lagi sakit.” “Di sana kan udah ada mas Galins.” Tata melirik lagi Galan yang sejak tadi memerhatikannya. “Emang kenapa kalo udah ada kakakmu. Di sini kan juga udah ada aku. Aku udah dari kapan hari nunggui ibu sendiri juga nggak apa-apa. Balik ke ruangan mamamu aja sana.” Usir Tata yang beneran lagi dalam mode sedih dan pengen sendiri dulu. Galan justru tersenyum melihat pengusiran Tata. “Cuma numpang duduk, mbak. Di ruangan mama ada mbak Dewi. Gue sepet kalo liat dia, jadi numpang dulu di sini.” Kening Tata jadi berlipat. “Dewi? Siapa?” “Pacarnya mas Galins.” Galan merebahkan punggung ke sandaran sofa setelah mengatakan itu. “Eh, mbak,” panggilnya kemudian. “Dari kemarin bude Ratih emang belum sadar ya?” Tata mengangguk, ikut menatap ke arah pandang Galan yang menatap ibunya. “Aku juga nggak tau, tapi kata dokter nggak ada masalah apa-apa sih.” Galan mengangguk. “Kalau kata dokter nggak ada masalah, berarti karna bude Ratih Cuma capek aja, jadi masih kepengen istirahat dulu. Pasti juga besok bangun.” Tata menoleh, tersenyum lebar mendengar kalimat yang berusaha menenangkan kekhawatirannya. “Jujur, aku capek banget. Kurang tidur juga. Jadi aku mau tidur bentar ya.” Ngomongnya, menutup mulutnya yang menguap. Galan mengangguk. “Tidur aja, biar gue yang jagain bude.” Tata tak lagi memedulikan Galan, dia mringkuk menutup tubuhnya pakai sarung milik Dika yang memang ditinggal di sini. Khawatir diapa-apain? Enggak juga sih. Soalnya ini bukan kali pertama atau kedua dia ada dalam satu ruangan sama Galan. Nggak butuh waktu yang lama, Tata sudah benar-benar terlelap saking lelahnya. Galan sedikit beringsut, memerhatikan wajah Tata dari tempatnya duduk. dia mendesah melihat wajah cantik yang sayangnya hidup kurang beruntung. Galan tentu saja tau masalah Tata yang menandatangani perjanjian konyol dengan Rian soal p********n operasi dan biaya rumah sakit ibunya ini. Dika sudah menceritakan semua padanya. Ddrtt … ddrtt …. Galan terkesiap saat ponsel yang ia simpan di saku jaket bergetar. Dia merogohnya, lalu mengambil hape di sana. Mendesah saat menatap layar yang menampilkan nomor dengan nama kontak -Mutia-. Dengan sangat malas jarinya menggeser tombol berwarna hijau di layar. “Hallo,” sapanya sembari menempelkan hape di kuping. “Ga, chatku nggak kamu bales. Kamu sibuk ngapain?” tanya cewek yang bernama Mutia, teman sekolah tapi beda kelas. “Di rumah sakit, jagain mama. Nggak sempet mainan hape.” Alasannya dengan sangat malas. Terdengar helaan nafas dari seberang sana. “Nungguin kan sambil duduk, Ga. Masa’ bales chat aja nggak bisa.” “Enggak, gue nggak duduk. nih lagi kayang,” jawabnya ngasal. Di sana Mutia tertawa kecil. “Diihh, receh!” “Udah dulu ya.” Galan melirik Tata yang keliatan tak terganggu. “Ga, belum ada dua menit juga. Main udahan aja. Biasanya kan kalo telponan setengah jam.” Galan menjambak rambut depannya dengan wajah bete. “Mut, lo lupa?” Diam untuk sesaat, di sana Mutia tak langsung menjawabnya. “Lupa apa?” tanyanya sok nggak tau setelah beberapa detik berlalu. “Kita kan udah putus. Lo yang mutusin gue. Nggak mungkin amnesia, kan?” nggak nanya sih si Galan. Lebih tepatnya sedang mengingatkan. Di sana Mutia meneguk ludah. “Ga, aku nyesel.” Ngomongnya yang tersengar tertahan. “Setelah kita putus, justru saat nggak ada perhatian dari kamu, aku ngerasa kamu sangat penting buat aku. Dan … dan aku sangat menyesali kesalahanku yang langsung gegabah ngambil keputusan itu. Pliis, Ga, maafin aku.” Galan tak menjawabnya, dia diam mendengarkan suara Mutia yang terdengar seperti menangis. “Kasih aku kesempatan sekali lagi buat perbaiki kesalahanku. Aku udah salah nuduh kamu dan maafin aku yang udah ngeraguin dan nggak percaya sama kamu.” Galan sengaja banget menyemburkan nafas kasar melalui mulut. “Tapi soal lo yang ciuman sama Davin di UKS itu bener, kan?” “Ga,” seru Mutia tertahan di sana dan sepertinya jadi gugup. “Udah ya. Nggak enak sama samping gue yang tidur pules. Dia pasti keganggu sama suara gue.” Nggak menunggu jawaban dari Mutia, Galan langsung menekan tombol off di sisi samping hape, membuat panggilan telpon jadi mati. Dia kembali menyimpan ponsel ke saku jaket, lalu menjatuhkan kepala belakang ke sandaran sofa. Memejam mengingat kejadian di sekolah saat itu. Mutia yang tiba-tiba minta putus dengan alasan Galan yang dekat sama Zahira. Padahal selama ini Galan nggak pernah berduaan aja sama Zahira. Selang dua hari putus, dia melihat sendiri Mutia yang lagi cipokan sama si Davin di UKS. Cckk, memang bangsadd, kan? “Makanya jangan pacaran, biar nggak sakit hati.” Galan jadi membuka mata dan menegakkan duduk mendengar suara yang tentu berasal dari dalam ruangan ini. Di sampingnya sana, Tata berucap dengan mata yang tetap memejam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD