Eps 10

1285 Words
Galins berdiri di depan pintu ruang rawat bu Ratih. Dia tau di dalam sana ada dokter, Dika dan Tata yang sepertinya sedang mendengarkan penjelasan dokter tentang perkembangan kesehatan bu Ratih. Mungkin setengah jam, Dokter serta satu perawat keluar dari dalam ruangan. Galins hanya mengangguk dengan senyum tipis sebagai tanda sapaan. Tak lama Tata menyusul keluar dibarengi sama Dika yang juga sudah memakai seragam sekolah. “Mas Galins,” sapa Dika. “Uumm, Galan udah berangkat?” tanyanya, celikukan mencari keberadaan Galan. Galins mengangguk. “Dia berangkat dari rumah, nggak nginep sini dia.” “Mas Galins mau … uumm ….” Tata bingung juga mau bilang apa. Karna kalau mau jenguk ibunya, dia sendiri harus berangkat kerja dan Dika juga harus segera ke sekolah. Galins tersenyum kalem. “Mau nawarin kamu berangkat bareng. Ya, dari pada Dika harus antar kamu ke pabrik dulu.” Kedua mata Dika jadi berkedip cepat, dia meneguk ludahnya. Dia melirik kakaknya yang kelihatan bingung dan malah kek lagi loading. Dika menggaruk alisnya. “Nggak apa-apa sih. Aku malah jadi bisa santai pakai motornya. Bareng mas Galins nggak apa-apa, kan, Mbak?” Tata keliatan terlonjak, dia mengangguk saja. Sedikit mengulas senyum saat Dika menepuk tangannya untuk tanda pamitan. Tata mengalihkan tatapan dengan menahan malu. Gini ya, tadi tuh kek kaget, ngerasa kalau dia dijemput cowok untuk dianterin berangkat kerja. Ada rasa Ge’eR yang memenuhi hati dan kepala. Cuma kalau di Tata, ini masih digaris yang normal aja sih. “Kamu udah sarapan?” tanya Galins, melirik Tata yang berjalan di sebelahnya. Tata menggelengkan kepala. “Nanti sarapan di pabrik.” Galins mengusap perutnya. “Sarapan nasi uduk di sebelah lampu merah sebelum ke pabrik itu, mau?” tanyanya lagi, mengajak sih lebih tepatnya. “Aku tadi dibawain nasi sama Dika kok.” Tolak Tata. Galins menghela nafas sampai kedua bahunya melemah. “Aku dari semalam belum makan, lapar banget rasanya.” Tata jadi nggak enak kalau kek begini. Dia menggigit bibirnya. “Uumm, kenapa nggak makan? Padahal semalam Galan sepertinya tidur nyenyak banget.” Tata mengalihkan wajah setelah mengatakan kalimat panjang itu. Dia berdecak lirih sambil mengomeli diri sendiri, merasa keceplosan bicara. “Lho, kok kamu tau?” tanya Galins, curiga pastinya. Tata jadi menggaruk tengkuk. “Semalam sebelum aku datang, dia di ruangan ibu sama Dika. Udah pada tidur. Heheh … itu maksudku, mas.” Bohongnya, karna kalau mau jujur, dia nggak enak rasa. Galins mengangguk dengan senyum tipis. Tagannya mengarahkan remote mobil, membuat lampu mobil itu jadi berkedip. Keduanya masuk dan mobil melaju pelan keluar dari halaman rumah sakit. “Mamanya mas Galins kapan boleh pulang?” tanya Tata saat Galins sudah santai menyetir. “Kalau mama udah bisa jalan sendiri ke toilet, kata dokter udah bisa istirahat di rumah.” Galins jadi melirik Tata. “Ibumu belum sadar?” Tata menggelengkan kepala. “Belum sadar, padahal kan udah hampir seminggu. Sepertinya masih butuh banyak waktu lagi.” Galins menatap fokus di jalan yang berbelok. “Lebih sering berdoa, semoga begitu ibumu bangun, keadaannya kembali sehat seperti semula.” Tata mengangguk dengan wajah pasrah. “Iya, makasih, mas.” “Uumm, maaf aku mau nanya, tapi ini agak prifasi sih.” Tata menatap Galins dengan praduga. Menduga pertanyaan apa yang akan Galins katakan. “Biaya ibumu ditanggung sama negara?” tanyanya, tentu dengan begitu hati-hati karna takut kalau akan membuat Tata sakit hati. Tata mengangguk. “Iya pakai bantuan dari negara, tapi nggak semuanya. Selebihnya tetap aku yang menanggungnya.” Ada rasa kepengen ngomong tentang masalah uang. Galins punya tabungan, tapi memang tabungannya belum banyak sih. Kemungkinan kalau minta pinjam sama mamanya atau papanya, pasti dikasih. Hanya saja untuk bicara jujur kalau dia penyebab kecelakaannya bu Ratih, dia belum mempunyai nyali. “Ta, kalau kamu butuh bantuan atau apa pun itu. Kamu bilang aja sama aku, pasti aku akan bantu.” Ngomongnya setelah beberapa detik hanya saling diam. Tata menoleh dengan senyuman. “Iya, mas, terima kasih. Tapi aku sama Dika masih bisa menanggung semuanya kok.” Keadaan hening untuk beberapa menit, sampai mobil warna hitam yang Galins bawa berhenti di sebuah ruko yang masih tertutup. Hanya saja di depan ruko itu memang ada penjual nasi uduk setiap pagi hari begini. “Kita sarapan di sini dulu ya, Ta.” Ajakan yang tak bisa Tata tolak karna mobil sudah berhenti di depan warung makan. Tata melepaskan sabuk pengaman, mengikuti Galins yang sudah turun dari mobil. Keduanya duduk lesehan di depan ruko yang masih tutup menunggu pesanan diantarkan. “Masih lama, Ta,” ucap Galins saat melihat Tata yang menatap jam di layar ponsel. Tata tersenyum. “Kalau telat sebenarnya juga nggak apa-apa, mas, tapi aku males kalau harus dapat omelan di depan line.” Galins tersenyum kecil. “Nanti aku antar masuk ke pabrik sampai kamu duduk di kursimu. Biar aku yang jawab omelan mandormu.” Kedua mata Tata jadi mendekik. Tak menanggapi candaan Galins dan hanya diam mengusap-usap layar ponsel. “Eh, Ta,” seru Galins kemudian. “Uumm, lelaki yang waktu malam itu sama kamu di depan mini market. Itu … saudara kamu atau … calon suami kamu?” “Oh itu tetanggaku, Mas. Orangnya memang agak aneh begitu.” “Tapi sepertinya dia … ada perasaan lain sama kamu, Ta.” Tata melirik Galins yang tentu saja menatapnya. “Mantan pacar, mas.” Akhirnya memilih mengakuinya. Galins jadi mengangguk. “Oh, mantan pacar. Ngajakin balikan berarti? Dia kaya’nya gencar deketin kamu. Tadi pagi aku lihat dia ada di rumah sakit. Itu pasti dari ruang rawat ibumu kan?” Tata tertawa kecil. “Dia udah ada istri.” Galins terlihat terkejut. “Oh, udah punya istri, tapi … tapi kok kaya’ … uumm, gimana ya. Kelihatan kalau ….” Galins jadi tertawa kecil. “Susah sampaiinnya, Ta, tapi pasti kamu juga tau.” Tata mengangguk dengan tawa kecil juga. “Dia minta aku jadi istri keduanya, Mas.” “Hah, istri kedua?” Galins tentu terkejut mendengar apa yang Tata katakan. Sampai beberapa pengunjung menatapnya heran. Tata sudah menyembunyikan wajah di lipatan tangan yang menekuk di tepi meja, sedangkan Galins menunduk berpura tak tau apa-apa. “Maaf, Ta,” ucapnya saat sudah beberapa detik berlalu dan pesanan mereka sudah diantarkan. Tata tak menjawab, hanya mengulas senyum tipis dan mulai memasukkan makanan ke mulut. “Aku benar-benar terkejut mendengar tadi yang kamu katakan itu.” Galins juga memasukkan makanannya ke mulut. “Kok bisa ada lelaki yang berfikir untuk memiliki dua istri. Aku saja malah belum nikah. Mikirin satu wanita aja susah. Itu dia mau dua. Astaga, nggak bisa bayangkan.” “Entahlah.” Tata hanya Menggelengkan kepala dan melanjutkan sarapannya. Galins melirik Tata. “Kamu … mau jadi istri keduanya, Ta?” Tata diam sejenak, sedang menimang hati untuk menceritakan masalah yang sekarang sedang dia hadapi. “Uumm, nggak ada pilihan sih, Mas.” Kedua mata Galins makin melebar mendengar jawaban Tata. “Ini belum terjadi, Ta. Masih banyak pilihan untuk menolaknya.” Tata menggelengkan kepala dan kembali memasukkan makanan ke mulut. “Atau … atau terjadi sesuatu? Sampai kamu nggak bisa menolak permintaan gila seperti itu?” tebak Galins. Tata menelan makanan lalu mengambil gelas dan meminum tehh hangat sedikit. “Aku sama ibu nggak punya uang tabungan sama sekali. Jadi kalau ada keperluan dadakan, ya kita kelabakan. Uang dikit ada, paling Cuma seratus sampai tiga ratus ribu aja. Terus ibu sakit dadakan begini, aku juga bingung sih. Makanya kemarin nerima uang bantuan dari mas Rian untuk biaya operasi ibu.” Galins meneguk ludahnya, rasa bersalah semakin terasa di dalam hati sana. “Dan, ya … ya itu. Mas Rian mengajukan syarat itu untuk membayar hutangku.” Lanjut Tata, dia kembali menyendok nasi dan memasukkannya ke mulut. Galins mengambil gelasnya lalu meneguknya sedikit. Dia lagi mikir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD