Mobil hitam yang Galins bawa melaju pelan saat hampir sampai di pabrik garmen tempat Tata bekerja. “Berhenti di samping pohon nangka itu saja, mas,” pinta Tata, telunjuknya menunjuk ke pohon nangka yang memang ada di samping kiri jalan. Galin tersenyum tipis. “Nggak jadi suruh nganter sampai di dalam gedung?” Tata ikut tersenyum. “Aku belum telat, masih ada lima menit.” Tata menatap Galins lebih dulu saat mobil sudah benar-benar berhenti. “Terima kasih ya, mas, untuk sarapan dan tumpangannya.” “Boleh minta nomor hapemu?” Galins mengulurkan hapenya. Tata jadi menunduk, menatap ponsel yang tentu saja berharga mahal terulur padanya. Ada rasa baper yang tetiba muncul dari dalam hati sana. Dan sepertinya setiap wanita pasti akan seperti Tata ini jika berhadapan dengan Galins. Pelan tangan