BAB 15. Hari Yang Sibuk Di Rumah Sakit

1082 Words
“Ohh nggak perlu, Ma. Aku bisa suap sendiri kok.” Zara kelihatan canggung. Namun Stella tetap memaksa. Akhirnya Zara hanya bisa pasrah. Sekarang Zara tahu darimana sifat suka memaksa Vince diturunkan. “Ayo Sayang.” Stella mulai menyuapi Zara. Persis seperti seorang ibu pada anaknya. Zara mulai membuka mulut. Dia tersenyum pada suapan pertama. Tiba-tiba Zara sangat merindukan mamanya sendiri. Yang telah lama meninggal tapi dia tidak tahu di mana kuburannya. Zara makan dengan lahap. Suap sendiri saja dia akan menghabiskan seluruh isi baki. Apalagi ini ada yang menyuapi, kalau boleh dia akan minta tambah porsi. “Ini suapan terakhir, Sayang. Mama senang kamu makan dengan lahap. Bagus sekali, Mama yakin besok atau lusa pasti kamu sudah diizinkan pulang oleh dokter.” Zara mengangguk senang. “Terima kasih, Ma.” Hendy menggeliat. Dia terbangun dari tidur lelapnya. Lalu mengerjapkan mata dan melihat sang istri yang masih duduk di dekat bed. “Stella, kita pulang sekarang. Lama-lama di rumah sakit nanti aku bisa ikut sakit.” Stella geleng-geleng kepala. “Sayang, kamu bahkan hanya tidur saja sejak tadi. Apanya yang akan sakit sih? Aku masih betah di sini.” Hendy mendengkus malas. “Kita pulang sekarang saja. Ke apartement Vince saja, lebih sepi dan nyaman untuk beristirahat,” tukas Hendy memaksa. Dia bangkit perlahan dari sofa, dengan kedua tangannya berpegangan pada sandaran sofa. “Oke. Sebentar aku pamit dulu pada Zara.” Kemudian Stella berdiri dan mendekatkan wajahnya pada Zara. “Semalam kami menginap di mansion Glenn. Hendy protes karena terlalu banyak pelayan di sana dan sangat sibuk. Padahal dulu mansion kami juga seperti itu,” bisik Stella kemudian dia terkekeh sambil menutup mulutnya sendiri. Zara ikut terkekeh. Dia juga merasakan betapa banyaknya pelayan di mansion milik Glenn. Namun dia belum pernah berkunjung ke apartementnya Vince. “Sayang, Mama dan Papa pulang dulu, ya. Lusa kami akan kembali ke London. Jadi masih ada besok untuk Mama datang lagi kesini.” “Iya, Ma. Terima kasih, ya,” ucap Zara dengan tulus. Stella mencium kening Zara lalu berjalan cepat mengikuti suaminya yang sudah lebih dulu keluar kamar. Untuk beberapa saat Zara mematung. Setelah sekian lama ada lagi seseorang yang mencium keningnya seperti tadi. Bahkan Zara lupa kapan terakhir kali merasakannya dari mendiang mama papanya sendiri. Entah berapa lama Zara melamun sendirian, sampai akhirnya dia tertidur dengan begitu lelap. Bisa juga karena pengaruh obat yang tadi diminumnya setelah makan. Samar-samar Zara mendengar suara gemerisik di dekatnya. Dia mencoba membuka mata yang terasa berat. “Ohh maaf kalau aku terlalu berisik. Aku hanya menutup gorden s+aja.” Suara bariton Vince benar-benar menyadarkan Zara. “Memangnya sekarang sudah jam berapa, ya? Kenapa gordennya sudah ditutup?” Zara sudah duduk tegak di atas bed-nya. “Sudah hampir waktu magrib, Zara. Sebentar lagi gelap,” jawab Vince kemudian dia juga menyalakan lampu kamar seluruhnya. Zara langsung membulatkan kedua bola mata. “Ohh, ya ampun! Itu berarti aku tidur lama sekali!” Zara kaget pada dirinya sendiri. Vince tersenyum tipis. “Kenapa harus kaget? Pasien memang dianjurkan untuk banyak istirahat. Makanya dalam obat yang diminum juga mengandung obat tidur. Memangnya kamu mau mandi sore? Hemm? Bisa kubantu siapkan.” Sisa-sisa kantuk Zara langsung hilang mendengar itu. “Maksud Bapak … mau bantu mandiiin aku? Gitu?” Vince langsung tergelak. “Memangnya kamu mau?” Sontak Zara menyilangkan kedua tangannya di depan d**a, teringat saat di pantai dua aset kembarnya itu sempat tersentuh … ah ralat! Sempat disentuh oleh bos besarnya itu. “Nah, tidak mau kan? Maksud aku, biar kubantu pegangi infusmu sampai ke kamar mandi. Atau kalau kamu mau, aku juga bisa bantu siapkan pakaian gantimu di kamar mandi. Ahh atau supaya lebih praktis, biar kupanggilkan saja suster untuk membantumu,” ucap Vince akhirnya karena melihat raut wajah sang sekertaris yang tak meyakinkan. “Eh, Pak!” Namun panggilan Zara tidak dipedulikan Vince. Pria tampan itu sudah terlanjur menekan bel untuk memanggil perawat. Tidak lama kemudian seorang perawat wanita masuk seraya tersenyum ramah. “Ada yang bisa saya bantu, Mbak Zara?” “Suter, tolong bantu mandikan atau lap saja juga tidak masalah, ya. Sebab dia sudah mulai bau badan,” jawab Vince menyelak Zara. Suster tadi kembali tersenyum. “Baik, Pak. Saya akan kembali lagi sebentar.” Kemudian perawat itu berjalan ke luar kamar untuk mengambil perlengkapan mandi. Zara mengernyitkan kening. Diam-diam dia mencoba mencium aroma ketiaknya sendiri. “Ah, aku nggak bau kok,” desisnya pelan. Setelah selesai mandi dengan dibantu oleh seorang suster, Zara keluar dari kamar mandi dan terkejut. Sebab sudah ada Glenn di sana yang duduk di sofa, bersebelahan dengan Vince. Suster yang membantu Zara, pamit keluar dari kamar. Glenn menoleh dan terpaku melihat Zara. Dia terpesona melihat seorang gadis cantik natural, tanpa riasan sedikitpun dengan rambut basah terurai. Biasanya mata Glenn dimanjakan dengan wanita-wanita berpenampilan seksi dan memakai riasan tebal mencolok. Kali ini sungguh luar biasa. Zara yang memakai setelan piyama rumah sakit, kemeja tangan panjang dan celana panjang, justru membuat Glenn tertarik untuk terus melihat. Rupanya Vince menyadari kalau sang kakak terus melihat ke arah Zara dengan mulut sedikit menganga. Dengan geram dia langsung menyikut pinggang Glenn. “Apa sih?” Glenn mengernyit. “Jaga pandangan!” “Ck ah! Aku cuma lagi mengawasi Zara. Siapa tahu kan butuh bantuan untuk naik ke bed-nya. Atau mungkin mau diambilkan minuman hangat setelah mandi. Aku siap siaga di sini,” kilah Glenn. Vince melirik kakaknya dengan malas. “Tidak perlu. Ada aku yang sudah stand by di sini dari tadi. Aku yang sudah menyebabkan Zara jatuh dan sakit, maka aku yang akan bertanggung jawab seluruhnya.” Glenn geleng-geleng kepala. “Tapi aku suaminya, maka aku juga akan bertanggung jawab. Lagipula nanti saat pulang ke mansion juga aku yang selalu akan menjaganya, jadi sekarang mulai latihan saja supaya terbiasa.” Vince mendelik tajam. “Apa katamu! Latihan?! Glenn, kamu nggak punya hati atau bagaimana? Menjaga Zara pakai latihan segala! Lagipula kamu hanya suami palsunya. Sedangkan aku adalah bos aslinya. Kamu tahu kan ada undang-undang yang mengatur untuk kesejahteraan karyawan, dan itu adalah tanggung jawab perusahaan. Sedangkan aku pemimpin perusahaan itu, maka Zara sebagai karyawan adalah menjadi tanggung jawabku!” “Astaga, Vince! Kamu mulai sombong seperti biasa. Si manusia kaku. Si pria yang tidak bisa menikmati hidup. Yang ada di kepalamu hanya peraturan dan undang-undang. Sekarang, siapa yang kelihatan tidak punya hati? Hemm?!” “Hei! Bapak-bapak tolong pulang saja sekarang. Aku mau istirahat. Dengan adanya kalian berdua di sini, terus terang aku merasa semakin sakit,” cetus Zara dengan pandangan mata yang malas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD