BAB 14. Dijenguk Oleh Mertua

1015 Words
Esok harinya, di saat Zara hanya sedang sendiri di kamar inap. Vince harus ke kantor karena ada urusan penting dan berjanji akan datang pada sore hari, meskipun Zara sudah bilang berkali-kali bahwa dia bisa sendiri dengan dibantu suster. Glenn juga bilang akan berkunjung siang atau sore hari, dan Zara dengan tegas mengatakan bahwa dia lebih baik sendiri saja dengan dibantu suster. Siang ini, yang datang berkunjung ke kamarnya justru seseorang yang tidak dia kira sama sekali. Zara sedang menonton TV karena bingung akan mengerjakan apalagi. Pintu terbuka, tampak seorang pria paruh baya dengan setelan jas formal memasuki ruangan. “Hallo, Zara,” sapa pria itu dengan aksen khas Inggrisnya yang kental. Untuk beberapa detik Zara menatap tajam ke arah Hendy Albern. Namun segera dia sadar dan memerintahkan diri sendiri untuk tenang. “Ya, Pak Hendy.” Zara mengangguk sekali untuk menegaskan sapaannya yang ramah. Hendy segera menutup kembali pintu kamar dan dia sempat mengintip lewat kaca kecil di pintu. Kemudian menarik napas lega. “Zara, kenapa panggil saya dengan formal begitu. Panggil saya papa. Kamu kan sedang jadi istrinya Glenn. Jangan ceroboh, Zara.” Hendy terus berjalan hingga dia duduk di sofa ruang tamu di sana. “Baik … Pa.” Zara mendelik tajam pada Hendy. Tentu saja Hendy tidak melihatnya. Pria paruh baya itu mengambil remote TV lalu mengganti channel sambil menyandarkan punggung di sofa. “Saya menjengukmu kesini karena beberapa kolega ada yang bertanya, tentang keadaan menantu saya yang katanya dirawat di rumah sakit. Yaa makanya saya langsung terbang dari London semalam.” “Ohh, iya.” Zara tidak berminat untuk menjawab lebih banyak lagi. Namun tatapan matanya terus memandang ke arah Hendy, ada arti khusus pada sorot mata itu. Raut wajah Zara sontak berubah ketika pintu kamar kembali terbuka. Sekarang yang masuk adalah wanita paruh baya yang begitu cantik mempesona di usianya yang sudah tidak muda lagi. Dialah Stella Nicola, istri Hendy Albern, yang selalu berpenampilan rapi dengan khas wanita Indonesia, meskipun dia menetap di tengah kota London. “Hai, Sayang. Bagaimana dengan kaki mu? Sudah baikan, Sayang?” Stella berjalan anggun mendekati bed. Kemudian dia menarik kursi dan duduk di samping bed. Zara tersenyum dan mengangguk. “Iya, Ma. Sudah lebih baik. Sudah tidak sesakit kemarin.” Tangan kanan Stella terulur lalu membelai lembut rambut coklat Zara. “Biar nanti Mama akan marahi Vince. Ada-ada saja anak itu, meeting di pantai, jadi jatuh begini, kan.” Kedua bola mata Zara membulat sempurna. Dia tidak menyangka berita tentang jatuhnya ini begitu cepat menyebar dan secara detail. “Ahh nggak apa-apa kok, Ma. Memang akunya saja yang ceroboh. Nggak perlu marahin Pak Vince.” Stella kembali tersenyum. “Kamu memang gadis baik, Zara.” Kemudian Stella menoleh ke belakang. Melihat suaminya yang sudah tidur mendengkur. Stella hanya menghela napas dalam. Kemudian ketika pandangan matanya beralih pada sebuah tas di atas meja dekat sofa, kedua alisnya langsung terangkat. “Oh iya, hampir saja lupa! Mama membawakanmu oleh-oleh dari London, Sayang.” Stella segera berdiri untuk mengambil tas yang tadi dibawa oleh suaminya itu. Kemudian dia membuka isi tas di tepian bed pasien. “Sayang, ini Mama bawakan coklat khas London. Di dalam setiap coklatnya ada buah-buahan yang berbeda. Semoga kamu suka coklat. Kalau Vince kecil dia tidak terlalu suka. Tapi Glenn … hemm anak itu bisa menghabiskan setoples coklat kalau nggak ketahuan!” “Pantas saja Glenn pecicilan! Dia kebanyakan gula sedari kecil.” Zara membatin sambil membayangkan raut wajah Glenn yang menyebalkan. Stella kembali mengeluarkan isi tas berikutnya. “Nah! Kalau ini Mama yakin kamu pasti suka, Sayang. Ini adalah beberapa biscuit paling terkenal dan paling laris di Inggris.” Stella menyerahkan biscuit yang dipegangnya pada Zara. “Chocolate digestive?” Kening Zara mengernyit. Dia seperti mengingat sesuatu tapi tidak yakin. “Iya, Sayang. Makanlah biscuit itu dengan secangkir teh atau kopi hangat. Hmm rasanya sungguh sangat nikmat! Oh ya, Mama juga bawa teh Inggrisnya. Kamu harus mencoba nanti.” Zara mengangguk pelan. Matanya kembali menatap pada kaleng biscuit yang masih dipegangnya. Ingatannya seperti mundur beberapa belas tahun ke belakang. Namun Zara frustasi, dia tidak berhasil mengingatnya. “Zara, di dalam tas ini masih banyak lagi makanan lainnya. Nanti kamu lihat sendiri, ya. Mama taruh di sini, oke?” Stella meletakkan tas itu di atas meja nakas di samping bed. “Iya, Ma.” “Sekarang kamu mau makan apa, Sayang? Bilang saja kalau makanan rumah sakit tidak enak. Mama akan belikan di restoran di lobi bawah. Kamu mau?” Zara menggeleng seraya tersenyum. “Nggak apa-apa, Ma. Tadi pagi aku habiskan makanan dari rumah sakit. Kemarin juga kok.” Sesungguhnya yang dirasakan Zara, makanan dari rumah sakit ini jauh lebih baik dibandingkan makanannya waktu sedang diasingkan semasa kecil. Tiba-tiba Stella meraih tangan kanan Zara. Dia mengusapnya dengan lembut. “Mama selalu menantikan punya seorang menantu yang cantik dan baik hati sepertimu. Mama seperti punya seorang putri bungsu,” ucap Stella dengan tulus. Bahkan Zara dapat melihat sorot mata wanita di sampingnya ini yang memancarkan kasih sayang. “Iya, Ma. Tapi ….” “Mama tahu, tapi kamu hanyalah istri kontraknya Glenn. Menggantikan Jessica Una untuk jangka waktu yang … entah sampai kapan.” Sekarang sepasang netra Stella tampak begitu sendu. “Mama jangan khawatir. Nanti setelah Jessica ditemukan, dia yang akan menjadi menantu Mama yang sempurna. Aku yakin Jessica sangat cantik. Aku kan tahu bagaimana selera Glenn.” Zara tersenyum menggoda membuat Stella terkekeh kecil. “Dan Jessica, pastilah jauh lebih cerdas dariku. Dia terlahir dari keluarga pebisnis sama seperti Glenn. Nanti setelah itu Mama akan mendapatkan cucu-cucu yang cerdas juga!” Zara tersenyum lebar. Memamerkan gigi-gigi putihnya yang berjajar rapi. “Terima kasih, Zara. Kamu sudah kasih semangat untuk Mama.” Pintu kamar diketuk dua kali, kemudian dibuka dari luar perlahan. Seorang berpakaian serba biru datang mengantarkan makanan, lalu meletakkan baki itu di atas meja nakas, dengan terlebih dulu Stella memindahkan tas yang dibawanya tadi ke laci teratas nakas. “Kamu mau makan sekarang, Sayang?’ Zara mengangguk lalu menegakkan duduknya. Tangannya tidak jadi terulur untuk mengambil baki makanan karena Stella sudah meraihnya lebih dulu. “Biar Mama yang suapin kamu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD