BAB 16. Pulang Disambut Dengan Desahan

1088 Words
Keesokan paginya Zara sudah diizinkan pulang dari rumah sakit. Vince yang mendapat kabar dari dokter langsung berangkat ke rumah sakit untuk mengurus administrasi dan kepulangan sang sekertaris. Jalan Zara sudah tidak pincang lagi, tapi memang belum bisa normal seperti biasa. Masih harus pelan-pelan. Dan kata dokter akan berangsur terus membaik. “Mau langsung pulang ke mansion Glenn atau mampir dulu?” tanya Vince ketika mereka berdua sudah berada di dalam mobil. “Mampir? Mampir kemana?” “Terserah kamu. Mau makan dulu? Boleh. Atau mungkin mau supermarket? Ada barang yang mau kamu beli?” Vince terus menawarkan. Sesungguhnya dia hanya mengulur waktu saja supaya tidak cepat sampai di mansion milik kakaknya. Dia tahu pada jam begini biasanya sang kakak belum berangkat ke kantor Albern Foundation. Zara menggeleng. “Sepertinya langsung pulang saja, Pak. Aku malas mampir-mampir karena kaki ini belum bisa jalan normal. Jadi akan lebih lama jalannya.” “Ohh … ya sudah kalau begitu.” Vince kehabisan ide untuk merayu lagi. Akhirnya dia hanya bisa menjalankan mobil dengan perlahan. “Pak.” “Ya?” “Yang sakit kaki ku, bukan kepala atau jantungku, jadi nggak masalah kalau nyetir mobilnya lebih cepat,” ucap Zara seraya menoleh pada Vince di sampingnya. “Ohh … ya.” Zara geleng-geleng kepala sebab mobil mereka bahkan beberapa kali disusul oleh sepeda listrik. Vince mendengkus malas ketika sampai di mansion dan dilihatnya mobil Glenn masih terparkir manis di garasi depan. Itu berarti kakak tengilnya itu belum berangkat. Zara turun dari mobil, dia menolak dipegangi oleh Vince karena merasa sudah kuat untuk berjalan sendiri. Vince menurunkan tas besar berisi pakaian Zara dari bagasi mobil. Seorang pelayan dengan sigap menghampiri dan membantu membawakan tas. Vince memerintahkan seorang pelayan untuk membuatkan minuman hangat untuk mereka berdua. “Pak Vince, aku akan beristirahat di kamar. Besok aku rasa sudah bisa masuk kerja kembali.” “Jangan terlalu memaksakan, Zara. Kamu masih kuberi libur beberapa hari lagi. Santai saja. Yang terpenting kaki mu cepat membaik.” Zara mengangkat kedua alisnya. “Kita lihat besok ya, Pak. Lagipula aku sudah bosan hanya diam saja, nggak pergi kemana-mana. Jadi lebih baik aku kerja. Lebih baik beberapa hari aku kerja diam di ruangan daripada benar-benar hanya diam di rumah.” Vince pikir, Zara sepertinya mulai ketularan dirinya, keras kepala. “Oke, Zara. Yang ternyaman untuk kamu lakukan saja.” Zara terus melangkah hingga hampir sampai di tangga yang menuju lantai dua. Dia berhenti dan menatap Vince keheranan. “Pak, aku akan beristirahat di kamar.” Vince mengedikkan kedua bahunya. “Ya, tentu saja boleh. Nggak ada yang melarang.” Zara memutar kedua bola matanya dengan malas. “Bukan itu. Maksudku, kenapa Bapak masih terus ikut? Aku mau ke kamar. Bapak bisa pulang saja. Terima kasih karena sudah mengantarku sampai di sini.” “Ohh … umm … aku akan mengantarmu sampai di depan pintu kamar.” Vince menunjuk ke arah lantai dua. “Tapi kenapa? Aku bisa jalan ke kamar sendirian.” Vince menggeleng. “Tidak, Zara! Aku hanya akan memastikan kamu berhasil naik tangga. Aku cuma khawatir kamu akan terpeleset lagi atau kesakitan saat naik tangga. Dan mungkin butuh bantuan.” “Huffttt! Ya sudah.” Zara malas berdebat. Dia mulai menaiki anak tangga dengan perlahan. Seraya sebelah tangannya berpegangan pada pagar tangga. Zara menolak ketika Vince menawarkan untuk memegangi tangannya. Langkah Zara terhenti ketika kakinya telah berhasil menaiki seluruh anak tangga. Vince langsung berdiri di sampingnya dan menatap khawatir. Vince pikir Zara berhenti karena merasakan sakit pada kakinya. Ternyata Zara justru meletakkan jari telunjuk kanannya di bibir. Memberi kode supaya Vince diam, tidak bicara apapun. Vince menurut tapi dia terus bertanya ada apa dengan hanya menggerakkan bibirnya, tanpa ada suara sedikitpun. Zara meminta Vince untuk fokus mendengar suara yang aneh dari kamar Glenn. Dan memang benar, setelah Vince ikut fokus mendengar tanpa bersuara sedikitpun. Kedua bola matanya melotot, kedua bola mata Zara memicing. Zara masih sibuk menerka-nerka sementara Vince sudah yakin suara apa yang didengarnya. “Ummhhh … Glenn … ahh nikmat sekali,” racau suara seorang wanita yang samar-samar terdengar dari dalam kamar Glenn. “Dan kamu ranum sekali, Sayang. Padat dan bulat begini … uhhh.” Itu suara lenguhan Glenn. Pintu kamar yang tidak tertutup rapat, menyisakan celah sedikit, membuat suara desahan dua orang yang sedang dimabuk asmara itu menjadi lolos hingga keluar kamar. Meskipun hanya samar terdengar tapi toh tetap saja bisa didengar. Apalagi suara desahan itu diiringi dengan suara kecupan yang menggebu. Bagi Zara suara-suara itu terdengar sangat menjijikan. Di atas ranjang panas Glenn, seorang wanita sudah setengah telanjang, pasrah tidak menolak mau diapakan pun oleh Glenn. Dia menyerahkan tubuh seksinya dengan senang. Bahkan dia bangga menjadi salah satu wanita yang dipilih oleh Glenn sebagai teman kencan di ranjang. Wanita itu semakin menikmati permainan panas Glenn dan terbayang bonus yang akan diterimanya pastilah berlimpah jika bisa memuaskan pria tampan maskulin itu. “Glenn … belaianmu … ohhh aku tak tahan.” Wanita itu menggeliat padahal Glenn hanya baru sampai di bagian atas tubuhnya saja. Sedangkan Glenn sengaja bermain dengan lambat. Dia tidak ingin permainan cepat usai. Karena kekuatannya yang bisa menahan diri hingga lebih lama itulah, maka para wanita selalu merasa terpuaskan. “Tahan … Sayang. Ini belum seberapa, kamu akan nikmati yang lebih dari ini. Ummhhh ….” Glenn sengaja mendesah sembari mulut basahnya mengulum di sana. Sesekali Glenn sengaja mendongak supaya bisa melihat ekspresi si wanita yang terus menggeliat. “Tahu kan, itu suara apa?” bisik Vince di telinga Zara, Segera Zara mengusap telinganya. Dia sedang jijik mendengar desahan aneh itu, justru merasakan napas Vince di telinganya. “Kita hanya perlu melawati kamarnya saja dan tidak usah peduli,” bisik Zara. Vince tersenyum. “Tindakan yang bagus, Zara. Pria m***m begitu memang baiknya tidak usah dipedulikan. Ayo kita lanjut jalan saja.” Zara mengangguk. Mereka terus berjalan perlahan meskipun suara sepasang pria dan wanita di dalam kamar semakin mengganggu. Zara bahkan sampai menutup kedua telinganya. Ketika melewati pintu kamar Glenn, Zara tidak tahan lagi. Dia mempercepat langkah. Namun sayang, kakinya yang memang belum normal, terasa agak nyeri dan dia berhenti mendadak lalu membungkuk untuk memijat kakinya. Membuat Vince yang berjalan tepat di belakangnya dan tidak terlalu fokus karena sempat menoleh ke pintu kamar Glenn, jadi begitu terkejut. Vince kaget dan memutuskan dengan cepat, kaki kanannya yang sudah terangkat dia langkahkan semakin lebar supaya bisa melangkahi Zara yang membungkuk tepat di depannya. Alhasil Vince berhasil melangkahi Zara tapi dia tidak bisa mendarat dengan sempurna. Vince terjatuh berdebum di lantai parket kayu. “Siapa itu?!” seru Glenn dari dalam kamar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD