Part 17: First Night with You

1268 Words
"Allah menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan dari jenisnya masing-masing, agar kalian merasa tentram. Pasangan suami istri harusnya saling melengkapi, saling menentramkan." Qiana Pov “Ap … apaa? Kita satu kamar?” tanyaku terkejut. Jujur aku tak tahu harus bagaimana harus sekamar dengan lelaki yang sama sekali belum kukenal. Meski lelaki itu sudah sah menjadi suamiku, tetapi tetap saja perasaanku tak menentu. “Ya, satu kamar. Apa ada yang salah dengan hal itu? Bukannya wajar jika sepasang suami istri itu tidur dalam satu kamar yang sama?” tanyanya dengan ringan. Aku mencoba untuk tenang meski jantungku terus berdegup kencang. Aku tak bisa menyangkal ucapannya karena ucapan lelaki itu benar. Yang salah di sini adalah kami bukan pasangan suami istri pada umumnya. Kami menikah karena keadaan, terlebih lagi aku tak tahu seperti apa rupanya dan bagaimana perangai dia sebenarnya. Mengingat kelakukannya yang berubah-ubah seperti bunglon akhir-akhir ini. Aku merasa harus meningkatkan kewaspadaanku terhadapnya. Siapa tahu ia akan berubah dingin lagi seperti kemarin kepadaku. “Ah ya, bukan itu saja. Aku akan jadi asisten kamu menggantikan Ina.” “Apaaa?!” pekikku lagi. “Kenapa lagi? Ada yang salah?” dengusnya seperti terdengar hmm, sedikit kesal mungkin dengan keterkejutanku tadi. Aku mencoba untuk tenang. Ya Allah bagaimana ini? batinku. Akhirnya aku mencoba untuk jujur dengan apa yang kurasakan. “Tidak, sama sekali tidak ada yang salah.” “Lalu?” pancingnya lagi. “Kita … kita ini bukan seperti pasangan suami istri normal lainnya. Kita menikah karena keadaan. Kita belum terlalu saling mengenal. Aku gak tahu siapa kamu, gimana rupa wajahmu dan gimana karaktermu,” jelasku dengan jujur. Kudengar ia menghela napas sejenak sebelum menjawab pertanyaanku. “Justru karena hal itu, kita perlu saling mengakrabkan diri supaya saling mengenal lagi, kan? Bagaimana kita bisa saling kenal kalau kita pisah kamar?” Lagi, lelaki itu mengatakan kebenaran dan aku tak bisa mengelaknya. “Baiklah, kalau soal satu kamar, aku rasa bukan hal yang sulit. Tapi, maaf untuk kamu menjadi asistenku menggantikan tugas Ina, maaf aku belum bisa.” “Kenapa?” tanyanya lagi, mungkin penasaran. Aku menelan liurku getir. Sebenarnya aku enggan mengemukakan alasannya dan berharap jika lelaki itu bisa langsung mengerti maksud terselubungnya. Dengan menjadi asisten pribadiku itu artinya ia akan lebih banyak melihat auratku dan bersentuhan denganku. Sekali lagi, jujur aku belum nyaman untuk berinteraksi seintens itu dengannya. Tapi, sepertinya dia belum paham dan aku terpaksa berkata jujur. “Maaf, aku belum merasa nyaman jika semua aktivitasku mulai dari mandi, berpakaian dan semuanya dibantu oleh kamu. Maaf, saat ini aku belum bisa untuk beradaptasi dengan cepat,” jelasku dengan suara lirih lalu menundukkan kepalanya. Air mataku menetes tapi kurasakan dengan cepat ia menyekanya dengan jari tangan. “Hmm, Kak Bhanu, apa kamu tidak mau berpikir ulang tentang pernikahan ini?” “Maksudnya? Memikirkan pernikahan ini kembali? Aku gak paham, Qia.” Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. “Ya memikirkan ulang. Kak Bhanu tahu sendiri, untuk mengurus diriku sendiri saja, aku tidak bisa. Aku harus bergantung dan merepotkan orang lain. Aku … aku tidak bisa melayani kamu sebagai istri yang normal. Sampai kapan kamu bisa tahan dengan keadaan ini?” Aku tak bisa melanjutkan pertanyaannya karena aku sudah menutup mulut untuk menahan tangis. Tak kudengar jawabannya untuk beberapa saat. Kesempatan ini kugunakan untuk terus memprovokasinya. “Mungkin di luar sana kamu punya perempuan yang kamu cintai, Kak. Ah, atau aku yakin di luar sana pasti banyak perempuan normal yang mau sama kamu dan bisa melayani kamu sebagai seorang istri, tidak seperti aku yang buta. Kalau kamu jadi suamiku, kamu akan terus kerepotan mengurusku yang buta ini. Kamu mau terus-terusan repot begini?” Kurasakan tubuhnya mendekat ke arahku. Tak hanya itu, tangannya pun menggenggam kedua tanganku. Aku diam saja tak berkutik. “Sebelum memutuskan untuk menikahi kamu hari itu, aku sudah berpikir dengan matang tentang segala konsekuensinya termasuk keadaan kamu dan kondisi kamu yang gak bisa melayani aku dengan sempurna.” Aku masih terisak dan tak ada kata-kata yang ingin ku sampaikan padanya. Sejujurnya, aku pun butuh seseorang untuk dijadikan sandaran, tetapi tak ada yang menurutku mampu dan cocok untuk aku sandari. Sebetulnya, perlakuan lelaki itu hari ini sudah sedikit meluluhkan hatiku yang keras. Namun, tetap saja aku merasa dilemma. Satu sisi aku masih ingin tetap waspada dengan dirinya, apalagi dengan pengabaiannya kemarin. Tapi dengan perlakuan hangatnya beberapa hari ini, aku ingin sekali menunjukkan sisi lemahku dan menjadikannya sandaran bagiku. Batinku terus berperang dan aku galau. Tapi, bagaimana pun juga statusnya sekarang adalah suamiku. Surgaku terletak di tangannya dan aku juga tak menampik rasa terima kasihku padanya karena mau menikahi perempuan buta sepertiku di saat lelaki lain malah meninggalkanku. “It’s okay, karena aku sudah memilih kamu dan siap menanggung segala konsekuensinya, jadi aku akan bersabar sampai kapan pun itu. Aku akan bersabar sampai kamu nyaman dengan kehadiranku dan mau menerimaku seutuhnya.” “Terima kasih,” ucapku di sela tangis. Aku merasa ia menarikku ke dalam tubuhnya. Tubuhku menegang kaku. Karena baru pertama kali ini seseorang selain ayah dan kedua adikku memelukku. Ia sesekali menepuk bahuku dan kurasakan juga ia mengecup kepalaku yang masih terbalut hijab. Setelah beberapa saat tangisku pun mereda. “Sudah jangan menangis lagi, nanti cantiknya hilang,” ucapnya. Ia kembali menyeka air mataku, kali ini dengan menggunakan tisu. Aku segera merebutnya dengan pelan dan lanjut membersihkan air mata dan cairan yang keluar dari hidungku. Aku hanya berhat-hati saja khawatir lelaki itu akan merasa jijik. Hatiku sempat menghangat ketika ia menggodaku untuk mencairkan kebekuan di antara mereka. Aku hanya tersenyum tipis saja. “Lebih baik sekarang kita istirahat aja.” Tubuhku kembali menegang saat ia mengatakannya. “Kamu gak perlu khawatir, kita hanya sebatas tidur dan aku gak akan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kita hanya akan tidur dan aku akan jagain kamu. Kalau kamu butuh sesuatu jangan sungkan untuk bangunin aku yang ada di sebelah kamu, ya?” ucapnya lagi. Aku hanya menganggukkan kepala dengan kaku. Aku dibantu olehnya untuk berbaring dan memakai selimut. Lalu, aku merasakan ia menyentuh jilbabku. Mungkin dirinya bermaksud hendak membantuku melepas jilbab. Namun, kali ini aku kembali meminta maaf padanya. “Hmm, maaf Kak, aku belum bisa melepas hijab di depan kamu. Tolong kasih aku waktu, maaf,” ucapku usai menepis tangannya. “Oh, ya sudah, gak apa-apa. Senyamannya kamu aja. Gak perlu khawatir, aku gak akan maksa. Mas hanya takut kamu gak nyaman pakai jilbab saat tidur.” Aku hanya belum nyaman saat ada lelaki lain selain ayah dan dua adikku yang melihat auratku. Entahlah, aku masih belum nyaman meski ia sudah halal untuk melihat auratku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku akhirnya berbaring dan tak lama diriku sudah masuk ke alam mimpi. === Aku membuka mataku perlahan. Mau aku membuka kelopak mataku atau tidak, sama saja. Sama-sama gelap. Saat bangun tidur begini saja, aku tidak bisa melihat jam yang menunjukkan waktu. Aku tetap membutuhkan seorang disampingku untuk bertanya. Aku tak bisa lagi menjadikan mandiri sebagai prinsip utamaku seperti dulu sebelum kecelakaan. Tunggu dulu! Aku merasa sesuatu yang erat melingkari perutku dan sepertinya ada tubuh yang menempel dengan tubuhku. Aku langsung menegang. Tapi aku langsung teringat jika aku adalah perempuan yang sudah menikah dan bersuami. Ah, aku lupa jika aku sedang tidur dengan lelaki itu. Untung saja aku tidak keburu teriak. Posisi kami saling berhadapan dengan ia yang memelukku dengan erat. Saat aku berusaha melonggarkan pelukannya dia malah semakin mengeratkan pelukannya. Hmm, jujur aku merasa tidak nyaman. Aku menghela napas dan mencoba menepuk-nepuk tangannya pelan yang melingkari perutku, berniat membangunkan lelaki itu untuk bertanya sudah masuk waktu subuh atau belum. Namun kudengar igauannya yang memunculkan tanda tanya besar di kepalaku. “Please, jangan tinggalin aku.” Siapa yang dimaksud lelaki itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD