Part 16: Poligami?

1229 Words
Bhanu Pov Aku menggunakan kesempatan ini agar dia bisa memaafkanku dan aku bisa mengambil hatinya. Aku rajin menjaganya di rumah sakit. Sebenarnya selain itu aku juga dapat keuntungan yang lain. Aku juga bisa lebih sering melihat Ghendis meski perempuan yang kusayangi itu masih betah dengan tidurnya. Jika diperbolehkan untuk menentukan dari pilihan yang buruk yaitu antara koma dan buta, mengapa tidak perempuan itu saja yang terbaring koma dan Ghendis yang buta? Ghendis yang buta lebih baik bagiku daripada menyaksikannya terbaring lemah tak berdaya di ranjang dan entah kapan dia akan bangun. Jika Ghendis buta, aku bersedia dengan senang hati akan menjadi matanya, tangan dan kakinya. Aku dengan senang hati menjadi tangan kanannya dan menjaganya 24 jam! Huh! Tapi, yang ada malah sebaliknya. Hari ini aku memutuskan untuk menjaganya seharian penuh sebagai bukti jika aku serius untuk memperbaiki hubungan kami yang renggang. Aku merasa lega karena kondisinya berangsur pulih dan jika besok kondisinya makin membaik dia sudah diperbolehkan pulang berdasarkan hasil pemeriksaan dokter dan perawat tadi. Usai diperiksa oleh dokter, kini dia sedang menunggu perawat untuk membantunya mengganti pakaian. Aku sudah menawarkan untuk membantunya tapi dia dengan tegas menolak. Akhirnya aku membunuh waktu dengan menghabiskan sarapan bubur ayam sambil menonton TV. Tiba-tiba saja Bastian masuk ke kamar ini dan menyapa kami berdua. “Halo Bhan, Qiana,” sapa Bastian pada kami berdua. “Hai, Bas. Sarapan,” tawarku padanya. “Gue baru aja sarapan di kantin, jadi masih kenyang. Lo abisin aja sarapannya.” “Kalian saling kenal?” tanya perempuan itu penasaran. “Ah, iya! Bhanu belum kenalin kalau dia punya istri yang cantik sekarang,” ucap Bastian dengan nada yang kuyakin menyindirku. “Kenalkan, saya Bastian sahabatnya Bhanu. Hmm, dokter di rumah sakit ini juga,” ucap Bastian memperkenalkan dirinya pada perempuan itu. “Hai, saya Qiana. Maaf saya tidak bisa melihat,” ucap perempuan itu canggung sambil menganggukkan kepalanya. “It’s okay, Qiana. Saya paham. Maaf saya baru sempat jenguk kamu sekarang dan juga maaf tidak hadir di pernikahan kalian waktu itu.” “Bas!” ucapku singkat sambil menatap matanya tajam, memberikan isyarat agar dia tidak membahas masalah ini lebih jauh dengan perempuan itu. Aku segera membereskan bungkus sarapanku dan membuangnya ke tempat sampah lalu kuhampiri keduanya. “Kenapa sih, Bhan?” “Gak apa-apa, Bas.” “Kalian sudah bersahabat lama?” tanya perempuan itu lagi. “Hmm, kami bersahabat sejak SMP, sepertinya cukup lama, ya?” jawab Bastian lagi. “Pasti Kak Bhanu juga sudah cerita tentang mengapa kami bisa menikah, ya?” tanya perempuan itu lagi. “Ya, dia juga sudah cerita. Ternyata dia beruntung menikahi wanita cantik seperti kamu, Qiana,” ucap Bastian lalu menoleh ke arahku. Aku bersyukur obrolan kami terhenti karena perawat yang bertugas membasuh tubuh dan menggantikan pakaian perempuan itu datang. Jadi, kami para lelaki menyingkir keluar kamar. === “Lepasin Ghendis, Bhan!” ucap Bastian padaku. Kami sedang berada di ruang ICU Ghendis. Aku menoleh padanya, memberinya tatapan tajam. “Maksud lo?” “Lo udah punya Qiana. Terus gimana sama Ghendis? Lo tega cerai-in Qiana saat Ghendis sadar nanti?” tanyanya lagi. “Please, gak usah campurin hidup gue, Bas! Gue berhak menentukan jalan hidup gue sendiri!” Aku mulai tak suka dengan sikap Bastian yang mengatur-ngaturku. Dia memang sahabatku, tapi dia tidak punya hak apa pun untuk mencampuri urusan percintaanku! “Gue gak suka, Bas! Lo diam aja karena lo sama sekali gak tahu apa-apa. Gue lakuin ini semua demi menolong Qiana dan juga demi Ghendis, Bas. Tolong, gue mohon sama lo, untuk kali ini biar gue jalanin hidup gue dengan tenang.” “Sorry, Bro. Bukannya apa, gue hanya mencium gelagat aneh dari lo. Gak biasanya lo begini, kayak bukan Bhanu yang gue kenal.” Ya, kejadian itu memang sudah banyak merubahku. Aku tak menyalahkannya jika ia berkata demikian. Aku memang sudah banyak berubah karena menanggung dendam. “Sebagai sahabat yang udah lama kenal bahkan gue udah anggap lo saudara sendiri, gue cuma gak mau lo salah langkah dan terjerumus ke dalam hal yang salah, Bhan. Makanya gue coba untuk ingetin lo aja. Kasihan Ghendis dan Qiana kalau lo begini,” tegurnya sambil menepuk bahuku. “Sebenarnya gue punya saran yang menurutku baik sih, Bhan. Menurut gue, kalau lo jalanin saran gue ini lo gak akan menyakiti Ghendis atau Qiana,” ungkapnya padaku. Tentu saja aku penasaran dengan sarannya. “Memang apa saran lo?” “Kalau nanti Ghendis bangun, lo bisa tetap nikahin Ghendis tanpa harus menceraikan Qiana.” Aku tertawa miris mendengar sarannya. “Apa? Jadi, maksud lo gue poligami, gitu?” tanyaku sinis. Dia menganggukkan kepalanya mantap tanpa rasa bersalah sama sekali. “Poligami kan diperbolehkan dalam Islam. Jadi, menurut gue gak ada salahnya kalau nanti lo punya dua istri, asal lo bisa bersikap adil sama mereka berdua.” Memang betul apa yang dikatakan oleh Bastian. Dalam Islam seorang lelaki diperbolehkan untuk mempunyai istri lebih dari satu dengan syarat harus mampu untuk berlaku adil. Tapi, diriku bukanlah tipe lelaki yang bisa berlaku adil. Jadi, kurasa berpoligami tidak tepat bagiku. Jiwa dan ragaku sudah kupersembahkan sepenuhnya hanya untuk Ghendis seorang, tidak ada perempuan lain dalam hatiku. “Thanks sarannya, Bas, but no! Gue bukan tipe lelaki yang bisa punya istri lebih dari satu.” “Ya, terserah lo. Gue cuma kasih saran aja yang menurut gue baik, biar lo gak menyakiti keduanya. Apa lo gak mikir Qiana akan sedih dan hancur kalau lo tinggalin demi Ghendis?” tanyanya. Justru itulah yang menjadi tujuanku, membuat perempuan itu hancur dan merasakan kesedihan berkali lipat dari yang aku rasakan sekarang. Penderitaannya sekarang belumlah sebanding dengan yang kurasakan. “Gue yakin, dia nanti akan paham, Bas,” ucapku. “Ya terserahlah.” Hening menyelimuti kami sesaat. “Gue gak akan ikut campur lagi soal kehidupan percintaan lo. Gue cuma bisa mendoakan yang terbaik buat lo, Ghendis dan Qiana, Bas. Ghendis dan Qiana perempuan baik yang gak pantas disakiti sama lelaki mana pun, Bhan.” Aku diam tak membalas lagi ucapan Bastian. === Kondisi perempuan itu berangsur pulih. Setelah lima hari dirawat di rumah sakit, dokter memperbolehkannya pulang. Ayah dan mama ikut mengantarkan Qiana pulang ke rumahku. Setelah makan siang bersama, Mama Elana dan Ayah Zaidan pamit pulang karena tak ingin mengganggu waktu istirahat anaknya. “Titip Qia ya, Nak Bhanu,” ucap mama Elana dengan lembut. “Iya, Ma. Insya Allah saya akan jaga Elana dengan baik,” jawabku dengan lancar. Mama Elana masuk ke dalam mobil lebih dulu, lalu Ayah Zaidan menutup pintunya. Setelah itu beliau tidak langsung menuju pintu kemudi, tetapi bicara dulu dengan Aku. “Saya tahu kamu belum mencintai putri saya, Bhanu. Tapi tolong perlakukan dia dengan baik dan lembut. Kalau kamu memang sudah tidak sanggup untuk merawat dan mendidiknya, tolong kembalikan dia pada saya dengan cara yang baik,” pesan Zaidan. “Insya Allah saya akan berusaha, Yah. Do’akan kami.” Ayah menepuk bahuku dan ia menuju pintu kemudi mobil. Setelah kedua mertuaku pulang, aku segera menuju kamar. Perempuan itu masih termenung di atas ranjang sambil bersandar pada kepala dipan. “Mulai sekarang Ina tidak lagi jadi asisten kamu selama 24 jam, Qia,” ucapku. “Hah? Kenapa? Kamu gak pecat dia gara-gara kejadian kemarin, kan?” tanya Qiana khawatir. Aku menggelengkan kepalanya lalu berkata, “Nggak, Mas gak mecat dia. Tapi mulai sekarang, Mas yang akan jadi asisten kamu dan mulai hari ni kita satu kamar.” “Apa?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD