Part 5: A New Life

1115 Words
“Ya Allah, Engkau adalah sebaik-baik perencana. Manusia berencana dan Engkau-pun berencana. Tapi, tetap yang akan terjadi adalah rencana, garis takdir terbaik dari-Mu. Meski butuh perih dan air mata untuk menerimanya. Bukankah pelangi muncul setelah badai hujan?” Bhanu pov Aku menyunggingkan senyum licikku usai bicara empat mata dengan lelaki yang berstatus ayah Qiana. Ya, setelah kami bicara serius empat mata dan dengan sedikit ancamanku akhirnya ia setuju untuk menikahkan aku dengan Qiana. Demi memastikan rencana balas dendamku berjalan lancar, aku harus mengikatnya dalam pernikahan hingga aku dapat memastikan dengan kedua mataku sendiri kalau perempuan buta itu benar-benar mendapatkan balasan yang setimpal bahkan harus lebih pedih daripada yang kurasakan sekarang. Memang kedua matanya buta, tapi dia masih punya keluarga yang utuh, sedangkan diriku? Aku sudah banyak kehilangan karenanya. Jadi, adilkan jika aku membalasnya? Aku benar-benar merasa beruntung dengan datang ke undangan yang diberikan Arshan padaku. Jangan berpikiran jika aku yang membuat Arshan tidak datang di hari pernikahannya ini! Tidak, sama sekali tidak ada campur tanganku di sana! Aku melihat ini sebagai kesempatan emas yang harus aku manfaatkan dengan segera. Aku beruntung bisa memengaruhi ayah Qiana dengan ancamanku. Sekarang aku hanya tinggal berdoa agar perempuan buta dan bodoh itu mau dinikahi oleh lelaki yang tak dikenalnya sama sekali. Aku hanya menunggu sekarang. Tentang Qiana, aku sedikit banyak sudah mengetahui tentang perempuan itu. Info yang kutahu berasal dari detektif kepercayaanku dan juga si bodoh Arshan yang sering membicarakan calon istrinya itu. Ya, Arshan sering membanggakan Qiana jika perempuan itu berpeluang untuk menjadi penulis yang besar meski saat ini naskah-naskahnya belum sempurna dan sesuai dengan standar dari penerbit yang kupimpin. Entahlah, aku kurang peduli dengan hal itu saat ini. Saat ini yang terpenting adalah keputusan perempuan buta itu. Sekitar setengah jam kemudian, aku mendapati ayah dan mama Qiana menghampiriku dan mereka berkata jika Qiana setuju untuk menikah denganku. Dalam hati aku merasa senang bukan main. Perempuan buta itu begitu bodoh hingga dengan mudahnya kuperdaya. Ya, mungkin ia sudah putus asa sehingga mau dinikahi dengan siapa saja yang melamarnya. Kasihan sekali! Tapi aku harus berterima kasih karena kebodohannya membuatku dengan leluasa melancarkan aksi balas dendamku. Akad nikah pun dilaksanakan dan aku sudah resmi menjadi suami dari perempuan buta bernama Qiana Alisha. Lembaran hidup baru dan rencana balas dendamku pun dimulai. === “Sebenarnya siapa kamu, Kak Bhanu?” Aku menegang saat Qia bertanya seperti itu padaku. Kini kami tinggal berdua saja di kamar. Aku pun menyiapkan diri untuk bisa berakting secara sempurna tanpa dicurigai oleh siapa pun, terutama olehnya. “Aku rasa Ayah Zaidan sudah menceritakan perihal diriku pada kamu sebelum akad tadi,” jawabku berusaha untuk tetap terkendali. “Iya aku tahu, kamu bos dari perusahaan penerbit tempat Arshan bekerja. Tapi, maksudku apa tujuan kamu menikahi perempuan buta seperti aku ini? Aku yakin pasti kamu memilki perempuan yang kamu cintai di luar sana,” jawab Qiana dengan pandangan yang tidak tertuju ke arahku. Tentu saja, karena matanya buta jadi dia tidak bisa melihat tepat ke arahku. Ya, kuakui dalam hati jika memang aku mempunyai Ghendis yang aku cintai. Tapi, tidak mungkin lisanku membenarkannya. Aku harus tetap bisa berakting dengan sempurna. “Apa yang kamu perkirakan itu salah. Saat ini aku tidak punya perempuan yang aku cintai. Lalu, pernikahan ini, aku hanya ingin menolongmu dan keluargamu. Aku tahu sedikit banyak tentang kamu dari Arshan karena kami sering mengobrol dan dia sering menceritakan tentang kamu. Jadi, kusimpulkan kamu adalah perempuan yang baik. Menurutku, Arshan bodoh itu memang tidak layak bersanding dengan kamu dan aku juga ingin menolong keluargamu supaya mereka tidak malu dengan batalnya acara pernikahan. Itu saja, aku murni hanya berniat untuk menolong, tidak ada maksud buruk.” Munafik! Batinku menjerit. Kulihat raut wajah Qiana masih menunjukkan kebingungan bahkan … ketidakpercayaan? Entah apa yang ada di kepala perempuan itu. Tapi jika memang itu yang dipikirkannya, maka aku harus berusaha ekstra untuk bisa meyakinkannya dan membuatnya nyaman serta terbiasa dengan kehadiranku di sisinya. “Tidak perlu terlalu dipusingkan. Seperti kata mama tadi, kita jalani saja dulu sebagai seorang teman. Bisa, kan?” tawarku dengan humble. Tak lama terdengar ketukan pintu dan suara perempuan yang kuyakini adalah Ina. “Hmm, kak bolehkah kakak keluar dulu dari kamar ini? Aku mau ganti pakaian dibantu Ina,” ucap Qiana menghentikan obrolan kami. “Oke, aku keluar dulu. Tapi, jika kamu butuh bantuanku, jangan sungkan.” “Insya Allah tidak, Kak. Sudah ada Ina,” jawabnya dengan mantap tak butuh bantuanku. Aku hanya memutar bola mataku dengan malas mendengar kekukuhannya. Untung saja perempuan buta sehingga dia tidak bisa melihat ekspresi wajahku yang menatapnya dengan malas. === Rembulan sudah menunjukkan eksistensinya di langit malam. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan kuyakin semua orang di rumah Qiana ini pasti sudah terlelap. Aku bermalam di rumah Qiana tapi aku menempati kamar tamu. Lagi-lagi aku harus menuruti perempuan itu untuk tidak sekamar sementara waktu. Qiana tidur dengan Ina sedangkan aku tidur di kamar sebelahnya. Kedua mertuaku pun mencoba maklum dengan keinginan putirnya itu dan tak mempermasalahkannya. Aku menatap rembulan dari balkon teras kamar tamu rumah mertuaku. Malam ini aku memikirkan jika seandainya kecelakaan itu tidak terjadi. Mungkin saat ini bukan Qiana yang menjadi istriku, tetapi Ghendis, perempuan yang amat kucintai. Selain itu, aku juga tetap bisa memiliki bayi kami dan ibuku masih akan tetap hidup saat ini. Dadaku kembali terasa sesak ketika bayangan kenangan bersama dua perempuan yang kucintai kembali membayang. Sungguh, nyeri dan pedih rasanya. Tapi aku tak tahu harus mengadu pada siapa. Aku hanya memandang langit malam sambil menghela napas panjang. Rasa pedih itu kemudian tertutupi oleh rasa dendam dan benci pada Qiana. === Pagi ini aku sarapan bersama dengan keluarga Qiana. Kuakui dengan jujur, aku merasakan kehangatan keluarga ini namun aku segera menepisnya. Aku tidak boleh terlena dengan kehangatan yang diberikan oleh keluarga ini. Personil keluarga ini begitu lengkap dan membuatku cemburu. Ada Ayah Zaidan, Mama Elana, Qiana dan kedua adik lelakinya. Mama Elana terlihat begitu telaten melayani suami dan anak-anaknya, termasuk aku, menantunya. Namun, yang tak kupaham adalah tatapan dari adik lelaki Qiana yang bernama Attar. Kelihatan seperti dia tidak menyukaiku, sangat berbeda dengan tatapan Mirza si bungsu yang hangat dan ramah. Aku tak tahu apa yang Attar pikirkan tentangku. Tapi yang pasti aku berharap jika lelaki itu tak membaca niat burukku pada kakak perempuannya. “Nak Bhanu biasa sarapan apa? Nasi atau roti aja kayak Qia?” tanya mama. “Saya sarapan roti dan kopi aja, Ma.” Mama Elana menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lalu mengambilkan roti panggang untukku. Aku hanya tersenyum sambil berterima kasih. Lalu tiba-tiba, kudengar Ayah Zaidan bertanya padaku. “Apa rencana kalian selanjutnya, Bhanu, Qia?” “Hmm, saya berencana membawa Qia tinggal di rumah saya, Yah.” “Apa?! Gak! Aku gak mau pindah!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD