Part 4: The Unwanted Wedding

1199 Words
“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” Qiana Pov Aku berada bersama ayah dan mama di kamarku sedangkan kedua adikku diminta oleh ayah menunggu di luar dan tak mengganggu pembicaraan kami bertiga. Ayah menceritakan tentang Bhanu dan mengapa lelaki itu bersedia untuk menikahiku dan menggantikan posisi Arshan yang tak jelas rimbanya. Sungguh, aku kecewa berat dengan Arshan. Padahal sewaktu di rumah sakit aku sudah berbaik hati menawarkannya untuk membatalkan pernikahan ini baik-baik dan bukan seperti ini caranya. Belum usai kejutan akan pernikahan yang batal, kini datang seorang lelaki yang entah darimana rimbanya bersedia untuk menikahiku. “Bagaimana, Qiana? Apa kamu mau menerima Bhanu?” tanya ayah padaku lagi. “Ayah, kita gak tahu siapa Bhanu, Yah. Masa kita mau nikahin Qiana sama lelaki yang belum kita kenal? Kalau dia bermaksud jelek pada Qia gimana?” tanya mama pada ayah. Aku hanya menghela napas panjang. Aku sepakat dengan mama, aku tak mungkin menikahi lelaki yang belum kukenal sama sekali. Tapi, aku tak mau membuat kedua orang tuaku malu dengan pesta pernikahan yang batal. Aku tak mau membuat mereka sedih dan kecewa. Lalu, aku juga ingin menunjukkan pada Arshan jika masih ada lelaki yang mau menikahiku meski aku dalam keadaan buta. “Ayah bilang tadi, lelaki itu sudah tahu kalau aku buta?” tanyaku lagi untuk memastikan. “Ya, Sayang. Dia itu atasan Arshan di kantor. Dia bilang kalau Arshan sering bercerita tentang kamu, jadi dia sedikit banyak sudah tahu tentang kamu, Sayang. Ayah rasa dia juga lelaki yang baik. Dia sudah tahu kalau kamu buta, tapi dia berbesar hati mau menerima kamu. Jadi, bagaimana?” tanya ayah lagi. “Menurut ayah, Qia harus gimana? Qia ikut keputusan ayah dan mama saja,” ucapku pasrah. Ya, aku menyerahkan semuanya pada kedua orang tuaku. Ridha Allah terletak pada ridha orang tua, kan? Jadi, kuharap dengan aku mengikuti keputusan mereka, itu adalah hal yang benar dan baik. Apalagi ayah yang bertanggungjawab penuh pada perwalianku, jadi kupercayakan saja padanya. Ya, mungkin saja lelaki bernama Bhanu itu memang sengaja Allah datangkan untuk menggantikan Arshan yang sejatinya tidak berjodoh denganku. Ah, sudahlah! Aku tak ingin memusingkan hal itu. Lihat saja Arshan, aku masih bisa menikah meski kedua mataku buta! Batinku penuh emosi. “Mama sebenarnya kurang setuju, tapi … mama ikut keputusan ayah,” ucap mama yang juga memasrahkan keputusan pada ayahku. Mama memang tipe istri yang taat. Dalam hati mama pasti meyakini ayah yang sangat amat menyayangiku tak mungkin sembarangan memilih lelaki untuk jadi suamiku. Kudengar ayah menghela napas berat, seperti sedang menanggung beban yang berat. “Ayah ridha kamu menikah dengan lelaki bernama Bhanu itu, gimana Sayang?” tanya ayah sambil kurasakan tangannya menggenggam erat tanganku. Aku hanya menganggukkan kepala. “Kalau begitu, Qia ikut keputusan ayah,” jawabku mantap. Lalu kudengar mama kembali terisak dan ayah menarikku dalam pelukannya dan hal yang tak kumengerti adalah ayah meminta maaf padaku, entah untuk hal apa dan kesalahannya yang mana. Seingatku, ayah tak berbuat salah padaku. “Maafin ayah, Sayang. Maafin ayah,” ucap ayah lagi. “Maafin kalau ayah belum bisa jadi ayah yang baik buat kamu.” “Ayah sudah. Ayah gak perlu minta maaf terus. Ini bukan salah ayah.” “Nggak, Qia. Ini salah ayah, ayah tetap harus minta maaf sama kamu.” “Sudah, Yah.” “Ayah menikahkanmu dengan Bhanu ini semua demi kebaikan kamu. Supaya kamu bisa bahagia dan melupakan Arshan. Ayah dan mama akan selalu ada buat kamu, Sayang.” “Iya ayah, Qia percaya.” “Terima kasih, putri kecil ayah.” Kurasakan pelukan ayah mengerat di tubuhku. Ya, memang selalu begitu. Meski aku anak sulung, aku akan selalu menjadi putri kecilnya ayah, sampai kapan pun. “Yah, ayo kita ke bawah. Akad nikah akan segera dimulai,” ucap mama. Akhirnya aku ditemani lagi oleh Mirza sedangkan ayah, mama dan Attar menyaksikan akad nikah langsung di lantai bawah. === Statusku sudah resmi menjadi Nyonya Bhanu. Entahlah, aku tidak merasakan apa pun saat ini. Mungkin hatiku sudah mati rasa. Tapi, aku tetap penasaran dengan sosok lelaki yang kini sudah sah menjadi suamiku. Ya, semoga saja tidak ada niat buruk darinya untukku. Aku yang sedang duduk di pinggir ranjang terkejut ketika mendapati suara pintu kamar yang terbuka. Kudengar langkah kaki berangsur mendekat ke arahku. Firasatku mengatakan jika ada lebih dari satu orang yang menghampiriku saat ini. “Qiana, Sayang. Ini Bhanu. Hmm … dan Nak Bhanu ini Qiana, istri kamu sekarang,” ucap suara yang kuhafal, mama. “Baik, Bu,” kudengar suara bariton itu menjawab mama. “Jangan panggil ibu, panggil mama saja biar sama seperti Qiana, ya?” respon mama pada Bhanu. “Baik, Ma.” “Mama tahu kalian masih asing sekarang. Tapi, kalian sudah jadi pasangan suami istri yang sah. Kalian bisa saling mengenal satu sama lain pelan-pelan, ya? Mungkin bisa menjadi teman lebih dulu,” ucap mama padaku dan hmm … Bhanu? Harus dengan panggilan apa aku memanggil lelaki itu sekarang? “Baik, Ma.” “Iya, Ma,” jawabku dan dia berbarengan. “Nak Bhanu, mama harap kamu bisa mengerti keadaan Qia sekarang ya? Mama mohon kamu maklum jika Qia belum bisa melayani kamu dan menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Mama mohon sekali pengertian dari kamu, Nak Bhanu.” “Baik, Ma. Saya akan berusaha untuk mengerti Qia.” “Terima kasih.” “Ma, Qia boleh minta sesuatu dan juga buat hmm … kamu Bhanu.” “Eh, kok kamu manggil nama aja sama suami kamu? Pakai Mas atau kakak mungkin, Sayang?” tegur mama padaku. Aku tak menggunakan embel-embel karena masih merasa aneh dan bingung. “Gak apa-apa, Ma. Senyamannya Qia aja,” jawab lelaki itu. “Ah, baiklah kalau begitu. Kamu tadi mau minta apa, Sayang?” tanya mama padaku. “Hmm … maaf Ma, hmmm Kak Bhanu … “ ucapku gugup tapi aku tetap harus menyampaikan keinginaku pada mereka berdua. “Iya kenapa, Sayang?” “Hmm, Qia mau Ina tetap jadi asisten pribadi Qia, Ma. Biar dia yang bantu Qia urus semua keperluan pribadi Qia,” ucapku akhirnya. Aku tak tahu bagaimana ekspresi lelaki itu dan juga mama saat mendengar permintaanku ini. Jujur saja, semenjak mataku buta, aku jadi tak bisa mengurus keperluan pribadiku sendiri dan aku butuh bantuan orang lain. Aku sudah merasa nyaman dengan kehadiran Ina sebagai aspriku. Aku yang belum mengenal suamiku tak mungkin langsung nyaman minta tolong padanya untuk membantuku mandi atau buang air atau membantuku memakai pakaian. Sungguh, aku masih butuh waktu untuk beradaptasi dengan kehadirannya. “Oh itu, hmm kalau mama sekarang bagaimana suami kamu aja. Apa Nak Bhanu tetap mengizinkan jika Ina jadi asisten pribadi Qia?” “Saya pribadi gak apa-apa, Ma. Kalau itu memang membuatnya nyaman, saya gak apa-apa. Saya paham kalau kami memang masih butuh waktu untuk beradaptasi dengan kehadiran satu sama lain.” Akhirnya keduanya menyetujui permintaanku. Lalu saat mama sudah meninggalkan kamar untuk memanggilkan Ina, tinggallah kami berdua di dalam kamar. Keheningan menyelimuti kami sampai aku yang lebih dulu membuka suara. “Sebenarnya siapa kamu, Kak Bhanu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD