Part 6: New Home

1304 Words
“Suami adalah pakaian bagi istri dan istri adalah pakaian bagi suami. Keduanya diciptakan untuk saling menyempurnakan, menyempurnakan cinta kepada-Nya.” Qiana Pov Aku masih merasa marah dengan keputusan sepihak dari lelaki itu. Enak saja dia memutuskan untuk pindah rumah tanpa berunding lebih dulu denganku. Apakah dia tidak berempati dengan keadaanku yang membuat gerakku terbatas? Huh, baru sebentar menjadi suami saja sudah bikin kesal. Aku mendumel dalam hati. Sekarang aku sedang berada di teras belakang rumah ayah dan tentu saja ditemani oleh Ina. Sebenarnya untuk denah rumahku sendiri aku sudah menghafalnya sebagian besar. Ayah dan mama juga tidak mengubah letak apa pun sehingga memudahkanku untuk menjelajahi rumah ini sendiri jika dalam kondisi terpaksa. Hanya kamarku yang dipindah ke lantai bawah sejak pesta pernikahan usai, supaya aku tidak perlu repot naik turun tangga. “Ina bisa tolong tinggalkan saya dan Qia berdua?” Kudengar suara mama memecah lamunanku. Kuyakin Ina menganggukkan kepalanya lalu tak lama kudengar suara langkah kaki menjauh dan kini kurasakan sofa sebelahku melesak karena kehadiran mama. “Kamu masih marah sama Bhanu?” tanya mama. “Qia kecewa aja sih, Ma. Kenapa dia gak diskusi dulu sama Qia soal pindah rumah? Kenapa main ambil keputusan sepihak?” tanyaku dengan menumpahkan kekesalan yang kupendam. Kurasakan mama mengelus kepalaku dengan lembut. Aku dapat merasakan kasih sayang dari sentuhannya padaku. Meski aku memang tidak terlahir dari rahimnya, mama memang setulus itu. Beruntungnya aku mendapatkan ibu seperti Mama Elana. “Boleh mama kasih saran?” “Saran apa, Ma?” tanyaku penasaran. Kudengar mama menghela napas sejenak sebelum mengemukakan sarannya padaku. “Kamu dan Bhanu memang belum terlalu saling mengenal. Tapi, Qia, gimana pun juga sekarang dia sudah sah jadi suami kamu. Apa pun keputusan Bhanu, selama itu demi kebaikan kalian berdua dan tidak melanggar syariat, mama sarankan supaya kamu menuruti suami kamu. Bukannya mama ingin kamu pergi dari rumah ini, Sayang. Tidak sama sekali. Tapi kamu sebaiknya memang harus ikut di manapun suami kamu tinggal.” “Tapi Ma, aneh aja kalau dia ambil keputusan sepihak dan Qia .. ah susah, Ma!” Aku kesulitan bicara pada mama. “Mama paham, Sayang. Kamu pasti harus beradaptasi lagi di tempat yang baru, di rumah Bhanu, iya, kan? Kamu merasa berat untuk beradaptasi dengan tempat baru dengan keadaan kamu sekarang, kan?” Ya, kuakui tebakan mama memang benar! Aku menganggukkan kepala dengan bibir cemberut. Lalu kudengar tawa kecil mama sambil mencibit pelan bibirku dan aku pun protes pada mama. “Kamu coba bicarakan lagi baik-baik sama Bhanu. Mama yakin keputusan dia itu baik, Sayang. Supaya kalian jadi lebih akrab dan saling kenal. Oh ya, kalau kamu takut merasa asing dengan tempat baru, kalau Bhanu mengizinkan, Ina boleh ikut kamu ke sana,” jelas mama. Aku pun terkejut dengan keputusan mama. “Beneran, Ma? Ina boleh ikut sama Qia?” “Iya, Sayang. Tapi, kalau Bhanu mengizinkan ya?” “Iya, Ma. Makasih ya, Ma,” ucapku lalu memeluk mama. “Sama-sama, Sayang.” === Kuputuskan untuk tidak dibantu Ina malam ini. Aku berusaha menghafal letak barang yang ada di kamarku. Meski dipindah ke kamar bawah, ayah sudah mendesainnya mirip dengan kamarku yang semula. Namun, saat mencoba tanpa bantuan Ina, aku kadang tersandung atau menyenggol benda hingga jatuh. Sungguh, saat begini rasanya ku ingin berteriak dan mengakhiri hidup. Aku sudah berhasil untuk buang air sendiri tanpa bantuan Ina dituntun ke kamar mandi. Saat ini aku sedang berjalan keluar kamar mandi hendak menuju ranjang. Tanganku meraba dinding sebagai pegangan dan penunjuk arah. Lalu tak sengaja lututku tersandung kayu dipan ranjang dan membuatku mengaduh seketika. Lalu, kurasakan langkah seseorang dengan cepat menghampiriku. “Kamu gak apa-apa?” tanyanya. Perlahan aku mulai menghafal suara ini. Ya, suara Kak Bhanu. “Sakit,” aduku padanya. Dia memapahku dan membantuku duduk di kursi. Kurasa ini adalah kursi meja rias. Lalu kurasakan tangannya menyentuh lututku yang terbentur kayu dipan tadi. “Kemana Ina?” tanyanya. “Dia kusuruh ke luar. Aku lagi gak mau dibantu Ina, aku mau belajar sendiri.” “Oh, oke. Kalau begitu aku mau mandi dulu,” ucapnya kemudian beranjak meninggalkanku. “Kak?” “Ya?” “Aku mau bicara nanti, setelah kamu mandi.” “Ah, oke.” Selang beberapa saat, kudengar pintu kamar mandi terbuka dan kucium wangi segar khas orang sehabis mandi. Kata mama, dia adalah lelaki yang tampan. Sayang, kedua mataku tak bisa membuktikannya. Semoga saja wajah rupawannya berbanding lurus dengan akhlak dan karakternya. “Apa yang mau kamu bicarakan?” tanyanya langsung. “Ini soal pindah rumah?” tebaknya dengan tepat. Aku menganggukkan kepala. “Ya, soal itu.” “Maaf kalau kamu kecewa karena aku ambil keputusan sepihak.” “Ya, aku memang kecewa. Tapi, kata mama aku harus nurut sama suami.” Kami terdiam sejenak. Mungkin dia masih mencerna maksud dari ucapanku tadi. “Jadi, kamu setuju untuk pindah ke rumahku?” tanyanya terdengar seperti tak percaya dengan keputusanku. “Ya, tapi dengan syarat.” “Apa?” “Aku boleh membawa Ina.” “Oke, tidak masalah. Aku paham kamu pasti asing dengan suasana rumahku nanti karena baru pertama kali. Aku gak masalaha kalau selama adaptasi di rumahku nanti kamu mau bawa Ina.” “Jadi, boleh.” “Ya, tentu saja.” Aku merasa lega karena dia mengizinkan. === Hari ini aku resmi pindah ke rumah Kak Bhanu. Seperti kesepakatan kami berdua, aku mengajak Ina untuk mendampingiku. Selain membantuku melakukan aktivitas di tempat baru, sebenarnya Ina juga berfungsi sebagai mata-mataku. Bagaimana pun juga aku belum bisa memercayai lelaki itu seratus persen. Aku memang berusaha menerimanya tapi tetap dengan sikap waspada. Aku juga masih meminta pisah kamar dengannya. Begitu sampai, dia sendiri yang menemaniku mengelilingi rumahnya sedangkan Ina memindahkan barang dan pakaianku ke dalam lemari. Rumahnya hanya berlantai satu tapi cukup luas menurutku ketika mendengar besar luas rumahnya. Rumahnya ini memiliki tiga kamar tidur dan satu ruangan untuk ruang kerjanya. Di bagian teras belakang, ia sengaja membangun ruangan khusus untuk gym dan ada kolam renang juga. Ia memberiku kamar yang ada di dekat ruang tengah. Setelah menjelajahi tempat tinggal baruku, aku diminta menunggu di ruang makan dengan kue dan teh yang sudah disiapkan di hadapanku. Ia sendiri beranjak ke ruang kerja karena mendadak harus memimpin rapat secara daring. Berdasarkan info dari ayah dan mama, kedua orang tuanya sudah meninggal dan ia tinggal sendiri karena anak tunggal. Jujur, aku memang belum banyak bertanya mengenai dirinya dan keluarganya pada dia langsung. Aku, masih merasa canggung untuk terlibat obrolan yang personal atau pribadi dengan seseorang yang baru kukenal, sekalipun itu suamiku sendiri. Aku ingin mencari tahu tentang keluarga lainnya di rumahnya ini. Masa sih dia tidak punya kerabat yang dekat dengannya? Jika hal itu terjadi, itu menambah kejanggalannya di mataku. Di rumahnya ini, Kak Bhanu memiliki satu orang asisten rumah tangga yang bernama Mbok Isah. Terdengar dari sambutannya saat menerima kedatanganku, kusimpulkan beliau adalah orang yang ramah dan hangat. Aku pun coba mengobrol dengan beliau, berusaha mengorek keterangan tentang Bhanu dan keluarganya. “Mbok Isah sudah kerja lama di rumah ini?” tanyaku. “Mbok sudah kerja dari sejak Den Bhanu SMP, Non.” “Jangan panggil Non, Mbok. Panggil Qia saja.” Jujur aku merasa risih dipanggil Nona. “Ah jangan dong, Non. Si Mbok yang nggak enak.” “Hmm, kalau begitu panggil ibu saja, ya?” “Oh, baik kalau begitu Bu Qia.” Entah mengapa aku lebih senang dipanggil ibu meski aku belum menjadi ibu. “Kedua orang tua Kak Bhanu meninggal sejak kapan, Mbok?” Tak kudengar jawaban dari Mbok Isah selama beberapa saat. “Mbok? Mbok masih disitu?” tanyaku. “Ah iya, Bu. Memang Den Bhanu belum cerita?” Aku menggelengkan kepala. “Hmm … anu … anu…” Kudengar dari nada suaranya, Mbok Isah seperti kebingungan, entah kenapa. Apa mungkin ada rahasia yang sengaja disembunyikan dariku? “Kenapa gak langsung nanya ke aku, Qiana?” Deg!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD