Part 7: Uncontrollable Anger

1272 Words
“Allah memang Maha Tahu. Tapi maafkan aku, untuk saat ini kamu belum boleh tahu apa yang kurencanakan untukmu, Qiana.” Bhanu Pov Aku merasa lega karena akhirnya perempuan itu mau diajak untuk pindah ke rumahku. Awalnya aku berpikir untuk mengajaknya tinggal di apartemen saja karena rumahku yang sekarang akan kutinggali bersama Ghendis jika nanti kami sudah menikah. Tetapi, ada beberapa hal lain yang menjadi pertimbanganku sehingga akhirnya aku mengajaknya untuk tinggal di rumah saja. Selain itu, kuyakin pasti dia masih tetap ingin pisah kamar. Jadi, kamarku dan Ghendis aman dari sentuhannya. Ya, karena aku memang tak mau kamarku yang sudah kupersiapkan menjadi kamar pengantin kami nanti ditempati oleh perempuan lain. Tidak, tidak boleh! Hanya Ghendis perempuan yang boleh menempati kamarku nanti. Sebelum benar-benar memboyongnya pindah ke rumahku, aku telah membersihkan segala hal tentang Ghendis dari rumahku dan menyimpannya untuk sementara di ruang gudang. Tadinya aku ingin menyimpannya di ruang kerjaku, tapi aku takut rahasiaku terbongkar. Perempuan itu memang buta, tapi asistennya bisa melihat dan aku takut jika Ina melaporkan apa yang dia lihat dan temukan di rumahku pada perempuan buta itu. Tidak, aku tidak mau mengambil risiko. Selain menyembunyikan barang-barang yang berhubungan dengan Ghendis, aku pun meminta Mbok Isah untuk tutup mulut dan tidak menceritakan apa pun tentang kehidupan pribadiku. Beliau juga terkejut saat mengetahui fakta jika aku sudah menikah dengan perempuan lain, sementara Ghendis masih terbaring koma di rumah sakit. “Mbok, saya minta tolong jangan cerita apapun tentang Ghendis dan keluarga saya kalau nanti Qiana tanya, ya?” ucapku sambil merapikan beberapa bingkai foto di ruang kerjaku. “Hmm, emang kenapa Den Bhanu?” tanyanya penasaran. “Ya gak apa-apa sih. Cuma biar saya aja yang cerita ke istri saya itu. Kami belum begitu akrab dan dekat. Biar itu bisa jadi topik obrolan kami nanti,” elakku. “Oh iya, baik, Den,” jawabnya patuh. Lalu kulihat dari wajahnya masih tersirat banyak pertanyaan yang mungkin sungkan untuk ditanyakan kepadaku. “Kenapa, Mbok? Ada yang mau Mbok tanyakan lagi ke saya?” tanyaku sambil menutup dus yang berisi foto-foto prewed-ku bersama Ghendis. “Hmm, anu … itu Den, nanti gimana sama Non Ghendis kalau sadar dan tahu kalau Den Bhanu sudah menikah dengan perempuan lain?” tanyanya. Aku hanya menghela napas lalu mengalihkan tatapanku darinya. “Maaf bukannya Mbok bermaksud lancang, hmm kalau begitu tidak perlu dijawab, Den, maaf,” ucapnya merasa tidak enak denganku. Rasanya aku ingin memberitahu Mbok Isah jika perempuan buta itulah yang menyebabkan ibu dan calon anakku pergi dan Ghendis terbaring koma di rumah sakit. Aku ingin juga bercerita tentang rencana balas dendamku pada Qiana dengan mengikatnya dalam pernikahan ini, membuatnya jatuh cinta padaku dan nanti menceraikannya begitu saja. Biar perempuan buta itu semakin hancur, bahkan lebih hancur dariku saat ini. Tapi, meskipun aku sudah menganggap Mbok Isah sebagai keluargaku sendiri, aku tidak bisa menceritakan hal itu semua kepadanya. Aku tahu ia perempuan yang memiliki hati yang lembut seperti ibu. Jika beliau tahu tentang rencanaku, pasti beliau memintaku untuk membatalkan balas dendamku dan mengikhlaskan takdir yang terjadi. Tentu saja aku tidak bisa!. Aku hanya tersenyum tipis kembali menatap Mbok Isah. “Mbok do’akan saja yang terbaik untuk kami, ya? Saya juga menikahi Qiana dengan niat baik untuk menolong dia dan keluarganya karena ditinggal oleh calon pengantin prianya. Semoga saja nanti Ghendis bisa mengerti niat baik saya,” bohongku padanya. Ah, rasanya aku mulai bisa berakting dengan mahir. Kulihat Mbok Isah hanya menatapku penuh dengan empati. “Iya Den, Mbok selalu mendoakan yang terbaik buat Den Bhanu, Non Ghendis dan keluarga ini.” “Terima kasih, Mbok,” ucapku tulus kali ini. “Oh ya, Den.” “Kenapa, Mbok?” tanyaku lagi. “Hmm, ini soal almarhummah nyonya, hmm … apa Dhen Bhanu tidak ada rencana memberitahukan perihal wafatnya Nyonya pada Tuan … “ “Tidak, Mbok! Tidak akan pernah!” ucapku dengan nada tinggi. Aku tahu siapa yang dimaksud oleh beliau. Tidak, bahkan aku tidak ingin lagi mendengar namanya. Bagiku dia sudah mati! Kulihat Mbok Isah terkesiap mendengar jawaban nada tinggi dariku. Emosiku memang cepat tersulut jika sudah menyangkut lelaki itu. “Maaf, Den. Sekali lagi maaf, tapi Mbok sama sekali tidak bermaksud lancang mencampuri urusan pribadi Den Bhanu. Mbok hanya tidak ingin Den Bhanu menyimpan dendam, tidak baik, Den. Bagaimana pun juga dia masih ayahnya Den Bhanu,” ucapnya tulus dan lembut. Aku seketika menjadi merasa bersalah pada Mbok Isah. Ayah? Tidak, tidak! Sebutan itu terlalu agung untuk manusia sepertinya. “Maaf Mbok saya gak bermaksud membentak Mbok tadi. Saya mohon tolong jangan bahas apa pun lagi yang berkaitan dengannya.” Mbok Isah tersenyum lembut sambil mendekatiku lalu beliau menepuk bahuku. “Mbok minta maaf, Den. Mbok paham, tapi sebagai perempuan yang sudah anggap Den Bhanu sebagai anak sendiri, Mbok hanya ingin Den Bhanu mencoba ikhlas dan hidup bahagia tanpa dendam.” Aku terdiam merenungi ucapan Mbok Isah. Tidak, aku tidak bisa! Kesalahan yang dibuat oleh lelaki itu begitu fatal. Bagaimana mungkin aku bisa memaafkannya dan menerimanya begitu saja? “Mbok izin ke belakang nyimpan dus ini dulu ya, Den,” pamitnya lalu meninggalkanku sendirian di ruang kerja. === Sedari tadi aku memerhatikan perempuan itu yang tengah mengobrol dengan Mbok Isah di meja makan. Aku memang baru saja rapat daring dari ruang kerjaku. Kudengarkan apa yang mereka bicarakan dan benar seperti dugaanku. Perempuan itu berusaha mengorek informasi tentangku dan keluargaku. Dia berusaha mencari informasi kapan kedua orang tuaku meninggal. “Kenapa gak langsung nanya ke aku, Qiana?” Tanyaku sambil melangkah mendekati meja makan. Mbok Isah langsung pamit ke dapur dengan alasan memasak. “Ah, oh itu … hmmm … “ Kudengar dia gelagapan merespon pertanyaanku. “Kamu bisa langsung tanya ke aku kalau mau tahu info semua tentang diriku, pasti akan kujawab.” Aku duduk di sebelah kursinya lalu mencomot sepotong brownies yang disuguhkan Mbok Isah. “Hmm, maaf, aku cuma masih sungkan aja kalau nanya ke Kak Bhanu langsung. Memangnya salah ya kalau aku tanya ke Mbok Isah?” tantangnya. Perempuan ini memang tidak mudah, batinku. Aku menelan brownisku dulu sebelum menjawab pertanyaannya. “Ya, gak salah. Tapi kalau kamu bisa nanya ke aku langsung, kenapa harus ke orang lain.” Tanganku beralih mengambil gelas cangkir berisi teh manis hangat. Saat hendak menyeruput isinya, perempuan itu kembali bertanya. “Oke, oke! Sejak kapan kedua orang tua Kak Bhanu meninggal?” ucapnya mengulang pertanyaan yang tadi ia ajukan pada Mbok Isah. Ada rasa sesak sekaligus dendam yang menyergap bersamaan saat diriku mengingat kematian ibu dan itu ada hubungannya dengan perempuan yang berada di hadapanku sekarang! Aku mencoba untuk menahan rasa itu agar tak muncul keluar. Tapi, sulit. Aku berulang kali menarik napas agar rasa itu bisa sedikit mereda dan aku mencoba menjawab pertanyaannya. “Ayahku sudah wafat lama, sejak aku SMP. Sedangkan ibu … ibu … “ Aku sebisa mungkin untuk kembali menahan perasaan yang meronta itu tapi sulit. Jujur, sulit. Aku hanya manusia biasa. “Ibu kapan, Kak?” tanyanya lagi. Kali ini aku tak bisa mengendalikannya hingga cangkir yang kupegang kubanting ke lantai hingga pecah. Praanggg!!! Perempuan itu pun terkesiap kaget dan aku mencari alasan untuk pergi darinya. “Maaf aku ke ruang kerja dulu, ada hal yang kulupa,” bohongku padanya untuk menghindar. Aku takut jika terlalu lama berada dekat dengannya diriku bisa melakukan hal-hal yang diluar kendaliku dan aku tak mau itu terjadi. === Aku mengurung diriku sampai malam hari di ruang kerja. Aku memang sengaja menghindari perempuan itu, khawatir aku tidak bisa mengendalikan diri. Aku lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan yang belum sempat kuselesaikan. Saat tengah asyik tenggelam dalam pekerjaanku, tiba-tiba nama Bastian muncul di ponselku. “Ya, Bas?” …. “Ghendis kritis?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD