Part 3: The Revenge

1361 Words
“Kematian adalah suatu keniscayaan. Bukankah setiap yang bernyawa pasti akan menemui ajalnya? Ia bukanlah akhir, tapi awal dari perjalanan menuju dimensi lain. Ia adalah awal menuju hari yang berat di mana semua catatan lembaran amal dibuka dan ditimbang serta semua perbuatan mendapat balasan yang setimpal.” Bhanu Pov Hatiku rasanya hancur saat melihat liang lahat itu ditimbun dengan tanah. Untung saja aku menggunakan kaca mata hitam sehingga orang-orang yang hadir tidak melihat mataku yang sembab dan memerah. Usai liang lahat itu tertutup sempurna, seorang ustadz mulai memimpin do’a dan kami semua yang hadir pun mulai menengadahkan tangan. Usai do’a dipanjatkan, kami menabur bunga yang telah kami bawa. Aku hanya bisa berjongkok di samping makam sambil menatap tancapan kayu papan nisan yang menampilkan nama perempuan yang amat aku cintai. Rasanya baru kemarin kami tertawa bersama saat membicarakan persiapan pernikahanku, tapi sekarang ruhnya sudah terpisah dari raga. Mengapa ini terjadi begitu cepat? Aku hanya bisa mencengkram papan nisan itu untuk menahan amarah yang tiba-tiba bergejolak dalam d**a. Lalu kurasakan seseorang menepuk bahuku. “Yang lain mau pada pamit, Bhan,” ucap sahabat karibku sejak kecil. Aku hanya menganggukkan kepala lalu berdiri. Semua orang yang hadir di pemakaman menyalamiku dan memberi ucapan turut berbela sungkawa. “Turut berduka cita ya, Nak Bhanu. Semoga almarhummah ibunda Nak Bhanu diberi tempat terbaik di sisi-Nya, aamiin,” ucap salah satu pelayat. Aku hanya bisa mengaminkannya. Satu per satu pelayat pulang meninggalkan area pemakaman. Usai kepergian semua orang, hanya aku dan sahabatku yang tersisa di makam ibu. Aku kembali berjongkok di samping nisan ibu. Rasanya aku tak ingin beranjak dari sini. Aku ingin menemani ibu. “Ayo pulang, Bhan!” ajak sahabatku. “Nanti, Bas. Gue masih mau di sini dulu,” ucapku pada Bastian. Kudengar ia hanya menghela napas. Aku tak mempermasalahkan jika memang dia ingin pulang lebih dulu. Jujur aku memang masih ingin di sini menemani ibu. “Lo butuh istirahat juga, Bhan,” ucapnya lagi. “Gak usah berisik, Bas! Gue masih mau di sini! Lo ngerti gak sih?!” bentakku karena tak sabar dengan ocehannya. Tidakkah ia mengerti jika aku masih merasakan kesedihan yang dalam karena kehilangan sosok yang kucintai? “Sorry, Bro. Gue gak bermaksud jelek. Gue cuma khawatir sama keadaan lo. Kalau lo begini terus dan jatuh sakit, nanti siapa yang jagain Ghendis?” Deg! Ghendis. Ya aku masih punya dia. Benar apa kata Bastian. Aku tidak boleh berlarut dalam kesedihan. Masih ada sosok Ghendis yang kucintai menungguku. Ah, gegara musibah ini aku menjadi labil. “Sorry, Bas. Gue kebawa emosi, sorry,” ucapku meminta maaf kepada Bastian. Padahal dia sudah setia menemaniku sepanjang proses pemakaman ibu. Aku memang tak punya saudara, hanya sahabatku Bastian dan Ghendis yang kupunya setelah ibu meninggalkanku. “Gapapa, Bro. Gue paham.” Aku menganggukkan kepala dan berujar pamit pada ibu. “Ibu, Bhanu pulang dulu ya mau jagain Ghendis. Bhanu akan selalu berdoa buat ibu,” ucapku sambil menahan kepedihan yang bergejolak dalam d**a. Bastian mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri dan aku menyambutnya. Kami berdua perlahan melangkah pergi meninggalkan area pemakaman menuju rumah sakit tempat Ghendis dirawat. === Kepedihan kembali menghantamku saat melihat Ghendis terbaring tak berdaya dengan alat-alat kesehatan menempel di tubuhnya. Ya Allah, jangan ambil Ghendis juga dari hidupku. Apa jadinya hidupku jika tak ada dua perempuan yang kucintai. Aku memejamkan kedua mataku hingga membuat air mata yang kutahan sedari tadi luruh kembali. Terserah jika ada yang mengatai diriku cengeng. Aku adalah lelaki yang juga manusia biasa dan bisa bersedih. Aku bukan superman yang bisa baik-baik saja saat musibah mengakibatkan ibuku meninggal dan tunanganku terbaring koma di rumah sakit. Tak hanya itu, bayi yang dikandung Ghendis pun ikut pergi bersama ibuku. Adakah yang lebih sedih dari ujian yang kualami ini? Jika sebuah kemungkinan terburuk terjadi, misal Ghendis ikut pergi juga meninggalkanku, mungkin aku akan memilih untuk mengakhiri hidupku dan menyusul mereka. Tak ada lagi yang bisa membuatku bertahan dengan kondisi seperti itu. Aku … akan menyerah. Kembali kuarahakan pandanganku ke ruang Ghendis. Kulihat Bastian dan seorang perawat tengah memeriksa kondisi Ghendis sedangkan aku hanya bisa berdiri di luar kamar ICU dan memperhatikan mereka dari tembok pembatas kaca. Bastian memang seorang dokter. Aku beruntung mempunyai dirinya yang mau banyak membantu diriku. Aku juga terbantu karena dirinya yang langsung menangani keadaan Ghendis langsung. “Gimana keadaan Ghendis, Bas? Dia baik-baik aja, kan?” tanyaku beruntun saat Bastian dan perawat tadi sudah keluar dari kamar ICU Ghendis. “Alhamdulillah sekarang kondisi Ghendis cukup stabil, Bhan.” “Alhamdulillah,” ucapku lega. “Terus kapan Ghendis bisa sadar, Bhan?” Kulihat Bastian memandangku penuh empati sambil tersenyum tipis. “Gue juga berharap Ghendis bisa sadar sekarang juga, Bhan. Tapi, gue Cuma manusia biasa. Ya meski gue dokter, gue gak bisa prediksi kapan dia sadar, Bhan.” Aku kembali tertunduk lesu. Lalu Bastian menepuk bahuku. “Kita Cuma bisa berdoa buat Ghendis, Bhan.” “Iya, makasih Bas. Thanks udah mau bantuin gue jagain Ghendis.” “Lo kayak sama siapa aja deh, Bhan. Kita kan udah sahabat dari kecil.” “Gue gak tahu kalau Ghendis berakhir sama seperti ibu, mungkin gue akan ikut sama mereka, Bas.” “Astaghfirullah, banyak nyebut, Bhan.” Aku hanya bisa mengedikkan bahu. Aku pun memutuskan untuk pulang dan menitipkan Ghendis pada Bastian. === Aku tak terima dengan kejadian kecelakaan yang merenggut nyawa ibuku dan membuat Ghendis terbaring koma seperti sekarang ini. Aku baru saja dari kantor polisi dan meminta keterangan lebih detail beserta perkembangannya. Yang kutahu kecelakaan itu diakibatkan karena ada satu mobil yang lalai sehingga mengakibatkan mobil yang dikendarai oleh ibu dan Ghendis juga ikut celaka. Tentu aku minta mengusut kasus ini dengan adil dan menuntut agar pihak mobil yang lalai itu bertanggungjawab dan kalau bisa dia dijebloskan ke dalam penjara! Aku tak akan membiarkan dirinya lepas begitu saja! Dia sudah mengancurkan hidupku dengan membuat dua orang perempuan yang kusayangi pergi dan terluka. Namun, aku tak mengerti. Pihak polisi sepertinya tak ingin memperpanjang kasus ini karena berdasarkan info dari mereka perempuan yang menyetir mobil itu juga mengalami luka yang cukup berat bahkan sampai kehilangan penglihatannya. Ah! Masih syukur dia hanya kehilangan penghilatan! Bandingkan dengan diriku yang kehilangan sosok ibu, calon anakku dan calon istriku terbaring koma! Aku harus mencari tahu kronologis kejadiannya. Pasti ada yang salah dalam kasus ini. Aku pun menelepon detektif untuk menyelidiki kasus kecelakaan itu secara mendetail. Aku akan membalas semua kesakitan yang kurasakan. Akan kubalas, pasti! === Kuamati seorang perempuan dengan pandangan kosong sedang duduk di kursi roda. Ia ditemani oleh seorang perempuan paruh baya yang kuyakini sebagai ibunya. Keduanya menuju arah taman rumah sakit. Ya, rupanya perempuan itu juga dirawat di rumah sakit yang sama dengan Ghendis. Entah suatu keberuntungan bagiku atau malah jadi mala petaka. Ah, jadi perempuan buta yang sedang duduk di kursi roda itulah yang sudah menyebabkan aku kehilangan ibu, calon anakku dan juga penyebab Ghendis terbaring koma sekarang. Aku hanya memerhatikan keduanya dari jauh. Lihat saja, aku tak akan lagi melepaskannya. Aku tak akan melepaskanmu, Qiana Alisha. Aku sudah mendapatkan data Qiana dengan detail dari detektif suruhanku. Sekarang, hanya tinggal bagaimana aku membalas dendam padanya. === Kutatap rumah yang sudah didekor dengan bunga-bunga dan tak lupa ada janur kuning melengkung. Ya, aku sedang menghadiri acara pernikahan Qiana dan salah satu karyawanku yaitu Arshan. Ah, melihat ini rasanya bara dendam yang masih bercokol dalam d**a kembali memanas. Bagaimana bisa perempuan itu tetap melangsungkan pernikahan sedangkan diriku lebih banyak kehilangan daripada dia? Aku bahkan harus menunda pernikahanku sampai Ghendis kembali sadar dan itu tak tahu kapan. Kuparkirkan mobil lalu kuarahkan kakiku menuju ruang tempat akad dan resepsi akan dilaksanakan. Aku hanya mengamati keadaan sekitar dan sesekali bermain ponsel. Jujur, aku masih memikirkan bagaimana aku bisa membalas Qiana. Beberapa saat kemudian, terdengar riuh dari para tamu undangan yang hadir. Setelah kucermati ternyata Arshan sang mempelai pria tak datang dan pernikahan batal dilaksanakan. Aku tersenyum senang mendengarnya. Tapi kemudian aku melihat ini adalah sebuah peluang untukku melancarkan aksi balas dendam pada Qiana. Aku pun mendekati meja akad dan berucap dengan lantang dan tegas, “Saya siap menikahi Qiana dan menggantikan Arshan.” Lalu kulihat seorang lelaki paruh baya yang masih gagah dan tampan menatapku dengan tatapan tajamnya. “Siapa kamu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD