Part 8: The Pain

1116 Words
“Ya Allah yang Maha Mengetahui segalanya, Engkau pasti bisa memberi petunjuk siapa suamiku sebenarnya, kan? Ya Allah, mataku memang buta, tapi tolong jangan buat mata hatiku buta untuk merasakan ketulusan dan kebohongan seseorang padaku.” Qiana Pov Jujur aku tidak mengerti mengapa lelaki itu enggan menjawab pertanyaanku. Belum sempat dia menjawab kapan ibunya wafat, aku terkejut mendengar suara benda pecah dan tiba-tiba saja lelaki itu langsung pergi ke ruang kerjanya. Aku pun memanggil Mbok Isah untuk membantu merapikan pecahan beling di lantai agar tidak ada yang terluka. Tak putus asa, aku kembali mengorek informasi dari Mbok Isah dan berharap perempuan paruh baya itu mau memberitahuku sesuatu. “Mbok, Kak Bhanu kenapa, ya?” tanyaku. “Waduh, si Mbok juga kurang tahu kalau itu, Bu.” “Tadi dia baru jawab kalau ayahnya meninggal saat dia masih SMP. Lalu dia belum sempat jawab kapan ibunya meninggal.” Kudengar suara kaki kursi beradu dengan lantai karena kuyakin Mbok Isah menggeser-geser kursi agar tidak ada pecahan beling yang terselip. Kudengar perempuan itu pun mendesah pelan. “Kalau Nyonya baru wafat kira-kira beberapa minggu yang lalu, Bu. Mungkin Den Bhanu masih sedih dan sensitif jika ditanya tentang meninggalnya Nyonya.” Aku terkejut mendapatkan info dari Mbok Isah. Jadi, ibunya wafat belum lama ini? Aku penasaran karena apa ibunya wafat. “Lalu Mbok, ibunya … “ “Mbok ke dapur lagi ya, Bu,” ucapnya buru-buru pamit padaku. Ah, kenapa beliau menghindar begitu sih? Entah mengapa firasatku semakin yakin jika ada yang disembunyikan oleh lelaki itu terkait keluarganya. Apa sebenarnya yang ia sembunyikan dan mengapa aku tak boleh tahu? === Suara adzan maghrib sudah terdengar berkumandang. Lalu Ina pun mengajakku untuk shalat bersama. Ya, dulu memang aku seseorang yang taat beribadah termasuk ibadah sunnah. Tetapi, semenjak kecelakaan yang menimpaku, aku berubah. Aku hanya sekedar shalat untuk menggugurkan kewajibanku. Bahkan, terkadang aku tidak shalat jika Ina atau mama tidak mengingatkanku untuk shalat. Aku masih belum terima takdir yang menimpaku ini. Mengapa Allah begitu tega padaku hingga mengambil nikmat penglihatan dariku? Padahal selama ini aku selalu taat beribadah darinya dan juga menjauhi perbuatan dosa dan maksiat. Sungguh, hatiku belum ikhlas dan ridha. Mengapa Allah harus mengujiku dengan kebutaan ini? Mengapa mataku yang harus buta? Mengapa Allah tidak mengujiku dengan ujian yang lain saja? Aku baru saja selesai shalat berjamaah dengan Ina. Aku membuka mukenaku dan mencoba untuk melipatnya, tapi Ina mencegahnya. “Biar Ina aja yang beresin, Mbak,” tawarnya sambil mengambil mukena dari tanganku. “Gapapa, Na. Biar saya belajar. Kamnu hanya bertugas membantu, Na. Bukan mengerjakan semuanya tanpa membuat saya tidak melakukan apa pun. Kalau begitu caranya saya jadi merasa orang yang sama sekali tidak berguna,” ucapku padanya. Ya, sejak mataku buta, kegiatanku jadi terbatas. Aku yang biasa menghabiskan waktu sehari-hari mengelola butik bersama mama dan juga menulis novel, kini jadi tak bisa lagi. Jangankan untuk bekerja, melakukan hal-hal yang pribadi saja aku masih tetap butuh bantuan orang lain. Itu sangat menyiksaku yang terbiasa hidup mandiri. Sekarang kegiatan hari-hariku hanya diisi dengan istirahat, makan, mandi, minum obat dan kadang kontrol ke dokter. Tak ada aktivitas produktif yang membuatku merasa berguna sebagai manusia. “Maaf, Ina gak bermaksud begitu, Mbak,” ucapnya sarat dengan rasa bersalah. Aku hanya mendesah pelan. “Ayo kita makan malam, Mbak,” ajaknya sambil memapahku berjalan dari kamar menuju ruang makan. Saat tiba di ruang makan, Mbok Isah menyambutku tapi aku tidak mendengar suara bariton milik lelaki itu. Entah sedang apa dirinya sekarang. Setelah aku duduk di kursi barulah Mbok Isah bercerita tentang masakan yang sudah beliau masak untuk makan malam. “Ini Mbok sudah masakin ayam goreng serundeng, tumis capcay, telur dadar dan bihun goreng, Bu. Bu Qia mau makan sama apa?” Aku pun menyebutkan makanan yang ingin aku makan dan aku berpesan agar mengambilkannya dalam porsi sedikit saja karena aku sedang tidak nafsu makan. “Mbak Qia mau aku bantu suapi?” tanya Ina. “Gak perlu, Na. Aku mau usaha makan sendiri.” Aku memutuskan ingin coba makan sendiri meski entah nanti aku bisa makan dengan rapi atau tidak. Tapi, jika makan saja bergantung pada Ina, aku merasa amat sedih. “Baik,” jawab Ina. Tak lama kudengar suara air yang sedang dituang. Sepertinya Mbok Isah sedang menuang air minum untuk kami berdua. “Oh iya, Pak Bhanu kemana, Mbok? Kok gak ikut makan malam di sini bareng kita?” tanya Ina yang menyuarakan rasa penasaranku. “Oh itu tadi Den Bhanu minta dibawakan makan malamnya ke ruang kerja. Sepertinya dia sedang banyak pekerjaan.” “Oh, begitu. Kirain beliau sedang pergi ke luar,” jawab Ina lagi. “Nggak kok, Mbak. Den Bhanu gak pergi.” Aku hanya diam sambil menyimpan kembali sendok dan garpu di piring. Aku jadi berpikir, apa aku yang salah menanyakan hal yang sensitif tentang wafatnya sang ibu? Aku jadi merasa bersalah dan tidak enak. “Mbak Qia, jangan melamun. Ayo dimakan!” tegur Ina memecah lamunanku. “Ah, iya.” === Aku hanya termenung tak bisa memejamkan mata. Aku masih merasakan perasaan bersalah karena kejadian tadi siang. Apa aku harus meminta maaf langsung padanya sekarang? Meski aku masih waspada dengannya, tetapi rasanya tak etis juga jika aku menyinggung kematian ibunya yang masih belum lama ini. Ya, aku harus meminta maaf padanya langsung malam ini, putusku akhirnya. Aku tadinya berniat untuk meminta bantuan Ina. Tapi kudengar suara dengkuran halusnya yang menandakan perempuan itu sudah terlelap. Ia sudah cukup kelelahan hari ini. Aku pun mengambil tongkat yang sudah disiapkan untukku dan mulai berjalan menuju pintu untuk menuju ruang kerja. Dengan tertatih tatih akhirnya aku bisa keluar kamar. Aku bersyukur meski sempat menimbulkan suara berisik tadi, Ina tidak terbangun. Tapi yang jadi masalah sekarang adalah aku bingung untuk menuju ke ruang kerja lelaki itu. Ah ya, ruang kerjanya ada di dekat ruang tamu. Dengan posisi kamarku yang ada di tengah sekarang ini, aku hanya tinggal melangkah ke bagian depan rumah saja, kan? Semoga saja langkah ku ini benar dan aku tidak tersasar. Aku melangkah sambil meraba-raba benda yang ada di dekatku. Karena aku tak sabar dan lelah, aku pun memanggil namanya. “Kak Bhanu! Kak Bhanu dimana?” panggilku dengan suara yang sedang. Lalu saat sedang berhenti, tetiba aku merasa terdorong oleh sesuatu di belakangku hingga aku terjerembab jatuh. “Aww!” Lalu kudengar langkah kaki yang berlari bergitu cepat. Kupanggil saja dia karena kuyakin sekali jika itu adalah Kak Bhanu. “Kak Bhanu? Kak Bhanu, kan?” tanyaku memastikan. Aku hanya mendengar helaan napasnya. Tapi mengapa ia tak beranjak untuk mendekati dan menolongku yang terjatuh? Aku yakin tadi jika aku terjatuh akibat pintu yang terdorong olehnya. Kudengar beruntun suara dari pintu yang terbanting, suara mesin mobil yang menyala, perlahan menjauh dan hilang. Apakah begini rasanya sakit diabaikan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD