Sekeluarnya Keke dari ruangan Danu. Hatinya kacau. Dia memikirkan kemungkinan kalau Danu salah paham terhadapnya. Kalau Danu sampai memercayai bahwa Keke adalah wanita nakal karena ada bekas merah itu, Keke berani bertaruh kalau progres pedekatenya mengalami angka kemunduran.
“Sial! Iblis itu benar-benar menyebalkan. Semoga saja kau tersambar petir di sana!” seru Keke mencak-mencak. Seakan Iblis yang dibicarakannya akan mendengarkan apa katakan.
Duarrr!
Suara petir terdengar. Keke terkejut. Dia sangat takut pada suara petir. Mendengar petir itu, dia memikirkan kemungkinan sumpah serapahnya terhadap iblis itu justru akan berbalik padanya. Keke memang pernah mendengar biasanya kalau ada orang menyumpahi orang lain, sumpah itu akan balik kepadanya. Tidak, Keke merasa tidak mau jika alih-alih menyambar Iblis itu, petir justru berbalik menyambarnya.
“Eh! Tuhan, maaf, saya hanya bercanda.” kata Keke mulai panik.
Keke berjalan mengendap-endap sambil menutupi kepalanya seakan-akan dia berlindung agar tidak terlihat oleh dari atas. Sebuah usaha yang sangat sia-sia dan kekanak-kanakkan. Begitulah Keke dengan segala kekonyolannya.
Sambil berjalan mengendap-endap, Keke mulai memikirkan harus ke kamar mandi. Dia menengok ke kanan dan ke kiri, setelah mengetahui di mana letak kamar mandi, dia langsung berjalan ke sana. Dia ingin memastikan tanda merah di lehernya masih tidak terlihat.
“Astaga!” seru Keke kaget melihat seseorang yang tiba-tiba berdiri di depannya.
“Kamu sedang apa sih?” seru Lusi kesal.
Keke mendongak. Ternyata Lusi, sahabatnya sekaligus sekretaris Danu. Keke memegangi dadanya karena kaget. “Aku kira Tuhan.” kata Keke secara refleks. Dia pun mengusap dadanya lega.
Kini Keke berdiri normal.
“Hus! Lama-lama otak kamu geser ya.” seru Lusi. “Jangan main-main sama Tuhan!” lanjutnya.
“Iya, Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu.” kata Keke. Menyesali kata-katanya. Dia membenarkan kata-kata Lusi.
“Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Lusi. Sambil menaikkan kedua alisnya.
“Aku habis menyumpahi iblis.” jawab Keke jujur kepada Lusi.
Duarrr!
Suara petir kembali terdengar. Keke kembali panik dan ketakutan, “Maaf, Tuhan. Aku tidak akan menyumpahinya lagi. Aku janji, walaupun dia menyebalkan aku tidak akan menyumpahinya lagi.” kata Keke, sambil menyatukan tangannya di depan d**a dan matanya menatap ke atas.
Karena takut petir kembali datang, Keke pun langsung berlari ke kamar mandi.
Di kamar mandi, dia segera mengusap dadanya lega. Dia seperti orang yang sedang dikejar-kejar. Lalu Keke menghampiri kaca. Keke menyibak kerah bajunya sedikit lalu mengecek lehernya di sana.
“Ada apa dengan lehermu?” tanya Lusi yang tiba-tiba sudah berada di samping Keke. Lusi menatap sahabatnya bingung.
“Eh? Tidak, tidak ada apa-apa.” ucap Keke sambil nyengir lebar tanpa dosa.
Keke tidak mau sahabatnya tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi, terlebih mengenai tanda merah di lehernya. Cukuplah Danu yang melihatnya. Walaupun bila diperbolehkan memilih, Keke lebih memilih Lusi yang melihat tanda merah itu ketimbang Danu, pujaan hatinya.
“Kalau tidak apa-apa kenapa kamu begitu serius memandangi lehermu?” tanya Lusi.
“Ah, tidak. Aku hanya mencoba tampil sexy.” kata Keke memberikan jawaban yang sangat bodoh. “Apakah bila begini aku sudah sexy, Lus?” tanya Keke, sembari membuka satu kancing kemejanya bagian atas.
“Hih! Dasar tidak waras! Aku kembali sajalah ke ruanganku.” kata Lusi sambil mendecak sebal.
Keke tertawa melihat Lusi yang tertawa. Setelah memastikan Lusi keluar, Kekepun kembali membetulkan bajunya. Setelah dia rasa sudah rapi. Diapun mengeluarkan smartphone-nya. Diapun masuk ke laman google, lalu hendak mengetikkan sesuatu.
Sebelum mengetikkan sesuatu dia merogoh sesuatu di kantong roknya. Ternyata ada sebuah lipstick yang belum lama dibelinya. Keke meletakkan smartphone-nya di dekat westafel.
Keke baru sadar kalau ternyata dia membawa lipstick tersebut. Dia benar-benar lupa hingga meminjam lipstick Lusi. Dia mengambil tisu, lalu mengelap bibirnya yang tadi menggunakan lipstick Lusi. Dia benar-benar ingin mencoba lipstick barunya. Setelah selesai, diapun mengambil smartphone-nya lalu mengetikkan sesuatu.
“Cara mendekati pria dalam waktu singkat.” Keke berguman sendiri sambil mengetik kalimat sesuai apa yang diucapkannya.
Setelah mencari kalimat kunci yang diinginkan Keke, layarnya pun kini menampilkan banyak link yang bisa Keke akses sebagai bahan referensi. Keke mengklik laman yang paling pertama muncul.
“Cara Menaklukkan Pria Paling Ampuh. Pertama, jadilah wanita yang lemah lembut dan selalu tersenyum. Hampir seluruh pria menyukai wanita yang lemah lembut dan selalu tersenyum ceria.” Keke membaca bagian atas sebuah artikel.
Itu adalah salah satu cara untuk meluluhkan hati pria. “Ah, tidak sulit!” seru Keke.
Keke memandangi dirinya di depan kaca, lalu tersenyum tanpa memperlihatkan gigi. Merasa tidak puas dia mengganti gaya tersenyumnya sambil memperlihatkan gigi. Lalu dia mencoba tertawa. Lalu mencoba tertawa anggun sambil menutup mulutnya dengan tangan.
Tiba-tiba seorang karyawan kantor masuk dan melihat Keke yang sedang tertawa sendiri di depan kaca. Dia menatap Keke sinis.
"Ish!" desis wanita karyawan kantor sinis memandang Keke.
Keke yang mengetahui ada seorang karyawan masuk langsung menghentikan aktivitasnya dan keluar dari kamar mandi. “Ah, pasti dia menganggapku gila.” kata Keke menyesali perbuatannya.
Kekepun berjalan menuju mejanya. Sebetulnya sebagai penulis, Keke tidak perlu ke kantor setiap hari untuk menulis novelnya, karena dia bisa mengerjakan novelnya di rumah, namun karena Keke ingin terus berdekatan dengan Danu jadi dia meminta untuk terus menulis di kantor dan bersikap seperti layaknya karyawan biasa.
Di samping meja Keke ada meja Zahra, Editor Keke. Keke tersenyum anggun kepada Zahra, dia ingin membuat image-nya naik dengan bersikap anggun. Dia merasa kalau dia bersikap anggun pada siapapun, nantinya akan ada yang melaporkan kepada Danu, dan Danu akan tertarik padanya.
“Ada apa dengan wajahmu?” tanya Zahra. Editor Keke.
“Ah, tidak ada apa-apa.” kata Keke sambil terkekeh menutup mulutnya seperti yang sudah dipelajarinya di kamar mandi.
Zahra menempelkan punggung tangannya di dahi Keke. “Tidak panas.” kata Zahra.
“Aku tidak sakit!” seru Keke.
Zahra hanya mengangkat bahu acuh tak acuh. Zahra mulai memutar bangkunya dan kembali menghadap computer.
Keke buru-buru memutar bangku Zahra agar menghadapnya. Zahra terkejut setengah mati mendapati bangkunya diputar paksa oleh Keke.
“Bagaimana penampilanku, Zara?” tanya Keke sambil pura-pula memperbaiki rambutnya yang tidak berantakan.
“Namaku Zahra bukan Zara.” protes Zahra.
Keke tertawa seperti biasanya, namun seketika dia teringat kalau dirinya sedang mencoba bersikap anggun, dia lalu mengubah cara tertawanya menjadi sok anggun dengan kekehan kecil dengan tangan yang menutup mulutnya.
“Mulutku susah mengatakannya. Karena sudah terbiasa. Sudah katakanlah padaku, apakah aku sudah terlihat anggun?” tanya Keke penasaran dengan penilaian editornya ini.
“Apa tugasku bertambah sekarang? Selain menyunting naskah, aku juga menyunting penulisnya?” tanya Zahra.
“Ayolah, Zara. Kalau kamu tidak memberiku penilaian, aku akan mogok menulis selama tiga bulan.” kata Keke mengancamnya.
“Eh, iya-iya-iya. Kamu sangat anggun. Pak Danu pasti akan menyukaimu kalau kamu terus anggun seperti itu.” kata Zahra.
Zahra sangat takut pada ancaman Keke. Karena meski Keke sangat senang bercanda namun Zahra tahu dibeberapa kasus Keke selalu serius dengan kata-katanya. Zahra sangat mengenal Keke. Dulu Keke pernah berhenti menulis sebulan dan perusahaan menjadi goyang hingga Zahra hampir kehilangan pekerjaannya. Zahra tentu tidak mau kalau hal ini terulang kembali. Cukup sekali, dan Zahra tidak mau lagi.
Zahra dan seluruh karyawan Penerbit Nara tahu kalau Keke sangat menyukai Danu dan selalu mengejar cinta Danu.
“That’s the point! Thank you!” kata Keke sambil mencium pipi Zahra.
Zahra hanya tersenyum. Meski dengan segala keanehannya, Zahra sudah menganggap Keke teman dekat, lebih dari seorang editor dan penulis.
“Lipstick-mu pasti menempel! Ah, aku harus ke kamar mandi untuk membersihkannya.” seru Zahra, sambil pura-pura Marah.
“Tidak, Zara. Aku sudah memilih lipstick paling mahal yang tidak akan menempel bila aku mencium seseorang.” ucap Keke. Dia menjelaskan kepada Zahra.
“Lho? Memangnya ada lipstick yang seperti itu?” tanya Zahra.
“Tentu ada, Nih. Kau lihat di cermin. Tidak ada bekas ciumanku, kan?” tanya Keke.
Zahra mengamati wajahnya di pantulan cermin milik Keke. Dia memegangi pipinya, namun benar saja. Tidak ada bekas lipstick itu di pipinya.
“Kini kamu percaya kan padaku?” tanya Keke.
Zahra mengangguk. “Hebat juga kamu, Ke.” katanya.
“Tentu saya, siapa dulu? Keke!” kata Keke menyombongkan diri.
“Aku tebak ada maksud lain di balik kau beli lipstick itu.” kata Zahra.
Mendengar tebakan Zahra, Keke terkekeh. Dia mengangguk. Dia benar-benar tidak percaya kalau Zahra bisa begitu mengenalnya.
“Sini mendekat..” kata Keke.
Zahrapun mendekatkan telinganya pada Keke. Keke pun mulai berbisik.
“Aku membelinya untuk berjaga-jaga kalau-kalau Kak Danu memintaku untuk menciumnya.” bisik Keke.
Zahra tidak bisa berkomentar, dia hanya menggeleng pasrah melihat Sang Penulis mengatakan hal yang di luar nalarnya.