WCC 4 – Tanda Merah Sang Iblis

1297 Words
Keke membuka mata menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih bersih, pendar cahaya yang berasal dari jendela kamarnya yang terbuka membuatnya mau tak mau menyipitkan mata. Dia mengerjapkan matanya berulang kali mencoba memastikan dimana dia berada dan apakah tubuhnya kini benar-benar ada di dunia nyata bukan dunia mimpi.   Setelah mengerjap beberapa kali, langit-langit putih yang amat di kenalnya itu tetap di sana. Keke mendesah dalam hati. Dia merasa telah mengalami mimpi buruk. Mimpi yang benar-benar buruk, bahkan hanya untuk sekadar mengingatnya saja Keke tidak mau dan tidak akan pernah mau.   Keke merengangkan tubuhnya.   “Akh!” serunya tertahan.   Keke segera duduk. Dia merasa tubuhnya sangat sakit di sana-sini. Keke mencoba meluruskan tangannya untuk kembali melakukan peregangan otot tangannya. Dia benar-benar merasa butuh olahraga peregangan untuk merilekskan tubunya yang terasa sakit.   “Akh!” serunya lagi.   Dia mengamati tangannya. Lengannya dipenuhi lebam-lebam berwarna keunguan. Keke memegang salah satu lebam itu lalu kembali mengaduh, bodoh. Lalu, dia mengamati pergelangan tangannya dan mendapati ada bekas ikatan di sana.   “J-jadi kejadian penculikan itu bukanlah mimpi?” pekiknya pada dirinya sendiri.   Keke buru-buru lompat dari kasur dan berlari ke arah kaca rias miliknya, dia ingin mencari tahu apa yang telah terjadi. Dia mendekatkan diri pada kaca. Lalu mengamati pantulan dirinya dari kaca itu. Selain tubuhnya lebam-lebam, diapun melihat tanda-tanda di tangannya, tanda habis diikat.   “Sial!” seru Keke.   Keke ingat persis apa yang telah dia alaminya kemarin, bayangan bagaimana dirinya terikat membuat Keke benar-benar frustasi. Terlebih, bayangan tentang bagaimana dia harus membersihkan air liurnya sendiri di wajah tampan pria yang menyekapnya.   Seketika, Keke merasa mual. Dia langsung berlari dari westafel ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya yang kosong di sana.   Keke mengamati dirinya lagi. Ada satu hal yang begitu menyita perhatiannya. Ada sebuah tanda merah di lehernya. Keke mendekatkan diri pada kaca westafel, lalu menyibak rambutnya agar dia bisa lebih leluasa melihat tanda merah yang ada di sana.   Keke mengamati tanda merah itu. Tanda itu tidak mungkin ditinggalkan oleh hewan yang tak sengaja menggigitnya. Tanda itu pula bukan jenis lebam. Jika diamati dengan seksama, tanda itu seperti gigitan. Gigitan manusia. Seketika otak Keke beroperasi dengan cepat. Kini dia menyadari apa yang tengah terjadi. Seketika darahnya mendidih.   “b*****h!” teriak Keke lagi.   Keke mengacak wajahnya frustasi. Pasalnya tanda merah itu bukan hanya satu melainkan ada tiga di area lehernya. Keke berpikir siapa orang yang berani membuat dia seperti itu. Namun, pikirannya hanya tertuju pada satu orang yang baginya adalah Iblis. Dia adalah laki-laki tampan yang menculiknya.   “Keke! Ada apa, Nak?” suara Rina atau Ibu Keke terdengar panik.   Mendengar suara Ibunya, Keke buru-buru mengambil handuk yang menggantung di sampingnya lalu menutupi lehernya dengan handuk itu.   “Ada apa?” tanya Rina sesampainya di depan Keke.   Keke tentu tidak berani mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, selain karena dia malu, dia tidak mau dicap telah diapa-apakan seseorang oleh ibunya, diapun diam-diam masih memiliki rasa takut pada Iblis yang telah menyekapnya itu.    Iblis itu terlihat sangat berkuasa, bila Keke berani membocorkan bahkan lapor pada polisi, Keke yakin tidak bisa akan aman dari cecarannya. Jika dilihat dari jas yang Iblis itu gunakan, sepertinya Iblis itu mampu membayar semua aparat.   Keke menggeleng, “Aku tidak apa-apa, Ma.” katanya sambil memaksakan senyum.   “Kenapa kamu berteriak?” tanya Rina dengan wajah bingung.   “Emm, tadi. Aku hanya sedang olah vokal saja, Ma. Hehehe.” kata Keke, berbohong.   Meski Rina mendapatkan jawaban tidak masuk akan dari anaknya, Rina tidak mau serius menanggapi, karena Rina tahu Keke memang kerap kali bertingkah aneh, jadi ini bukan kali pertama Keke mengatakan hal tidak masuk akal.   “Yasudah kamu mandi. Mama tunggu di ruang makan, karena ada banyak hal yang ingin Mama tanyakan pada kamu.” kata Rina.   “Baik, Ma.” jawab Keke pasrah.   Rina pun pergi meninggalkan Keke sendiri. Keke kembali menghembuskan nafas laga. Meski hanya sedikit kelegaan yang didapatnya namun tetap saja dia benar-benar ingin merasakan perasaan lega walau hanya sedikit.   Keke sangat paham, baik ibunya maupun ayahnya pasti akan menanyakan perkara kejadian kemarin, Keke hanya bisa menggeram. Keke kembali melihat wajahnya lewat pantulan cermin. Pantulan cermin yang semula wajahnya kini berubah menjadi Iblis yang sangat di bencinya. Dia pun mulai membayangkan wajah Iblis yang sedang tertawa di sana.   “Jangan sampai aku bertemu lagi dengan Iblis seperti kamu!” seru Keke.   Tersadar kalau tindakannya adalah tindakan yang tak bermakna, Kekepun mengunci pintu dan langsung mandi. Seusai mandi, dia pun mencari ponselnya. Dia ingin mengecek sekarang hari apa. Dia benar-benar lupa hari.   Ponselnya menampilkan kalau hari ini adalah hari Rabu, tandanya Keke harus kembali ke kantor. Dia mendesah mengamati bekas merah di lehernya.   Tak sengaja matanya tertuju pada bedak yang ada di depannya. Dengan cekatan Keke langsung mengambil bedak itu dan menggunakannya untuk menyamarkan tanda merah di lehernya itu. Setelah selesai dia mengamati lagi lehernya lagi di cermin. Dia tersenyum puas kali ini karena dia sudah merasa aman turun ke bawah dan pergi ke kantor.   Keke memoles wajahnya seperti biasa lalu berpakaian dan turun ke bawah, menghampiri kedua orang tuanya yang ada di ruang makan.   “Kamu kemarin ke mana? Kenapa bisa pingsan di jalan?” tanya Lukman, ayah Keke.   “Mmm, aku, aku main ke rumah teman, Pa.” kata Keke berbohong.   “Kenapa bisa sampai pingsan di jalan?” tanya Rina.   “Aku bukan pingsan, Ma. Aku hanya mengantuk dan tertidur di jalan.” kataku.   “Ada-ada saja kamu.” kata Lukman sambil menggelengkan kepalanya karena heran dengan kelakuan anak perempuannya.   “Kayak kamu tidak tahu kelakuan Keke saja, Mas.” kata Rina sambil terkekeh.   Lukman tertawa. Keke mengerucutkan mulutnya karena tidak terima dikatakan suka membuat hal-hal aneh. Namun, meski begitu Keke bersyukur pembicaraan mengenai kepergiannya kemarin hanya diulas sampai sana saja.   Apa mama tahu kondisi tubuhku? – batin Keke.   “Untunglah kamu tidak apa-apa selama tertidur di jalan, untung ada bos laki-lakimu yang mengantarmu ke sini. Coba kalau tidak ada yang menemukanmu, mungkin sampai saat ini kamu masih tidur di jalan, Nak.” kata Rina.   “Bosku?” tanya Keke bingung. "Siapa?" lanjutnya.   “Iya, siapa, Pa, namanya?” tanya Rina pada suaminya.   “Sayangnya Papa lupa menanyakan namanya, Ma.” kata Lukman.   Keke pun berpikir keras. Dia mulai memikirkan siapa bos yang dimaksud ibu dan ayahnya itu. Jika Bos yang dimaksud Lukman dan Rina adalah editornya, itu sangatlah tidak mungkin karena editor Keke seorang perempuan bernama Zahra.   “Bagaimana ciri-cirinya, Pa?” tanya Keke antusias.   “Ntahlah, yang jelas dia tampan, ya Ma?” kata Lukman.   Rina mengangguk membenarkan kata-kata suaminya.   Sendok makan di kanan dan garpu di kiri tangan Keke terus dibiarkan menggantung. Keke kembali memikirkan kemungkinan seseorang yang mau membantu dan membawanya ke rumah. Penjelasan Lukman tidak terlalu spesifik jadi Keke tidak bisa menyimpulkan siapa laki-laki itu.   “Lebih baik kamu kembalikan jaket yang kamu pakai semalam. Mama yakin itu jaket dia bukan milikmu.” kata Rina.   “Jaket, Ma? Jadi, semalam aku pakai jaket?” tanyaku.   “Iya, kamu pakai jaket dan syal.” terang Rina.   Keke mengangguk. “Mama lihat lebam-lebamku?” tanya Keke.   “Lho, kamu lebam-lebam, Sayang?” tanya Lukman.   Dalam hati Keke bisa menghembuskan nafas lega. Melihat bagaimana ekspresi ibu dan ayahnya, dia tahu orang tuanya tidak ada yang melihat tanda merah di lehernya.   “Oh, Mama lihat!” seru Rina.   Keke langsung memucat. “M-maksudnya, Ma?” tanya Keke pura-pura bodoh tak mengerti.   “Mama lihat kakimu lebam.” kata Mama.   “Oh, hehehehe.” kata Keke  sambil memaksakan tersenyum.   “Itu pasti karena jatuh. Apakah masih sakit, Sayang?” tanya Mama dengan suara lembutnya.   Keke menggeleng. “Tidak, Ma. Tidak sakit sama sekali.” katanya. Ada yang lebih sakit dari lebam di kakiku, Mama. Hatiku. - batin Keke. Keke memperhatikan sorot wajah ibunya yang menurutnya sangat ibu-able dan nyaman meneduhkan.  Hati Keke merasa sangat menyedihkan karena mengingat peristiwa menyebalkan itu. Dirinya benar-benar jijik pada dirinya sendiri, bahkan sangat membenci si laki-laki jahat itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD