Tak perlu menunggu lama, Nisa pun datang dengan cepat.
“Selamat siang,” ujarnya saat membuka pintu ruangan itu.
“Nisa bisa duduk,” pinta Devano.
“Iya, Pak.” Nisa pun segera duduk. Dia yang sebelumnya sudah diberitahu ayahnya untuk apa datang ke sini, segera menyerahkan ponselnya di hadapan Devano. “Ini ponsel saya. Itu masih tersimpan rapi data panggilan telepon dan chat terakhir saya di sana bersama Kak Fe.”
“Maaf, kami lihat dulu, ya.” Devano dengan santun meminta izin pemiliknya.
“Baik, Pak,” jawab Nisa.
Devano dan yang lain segera melihat isi pesan terakhir. Bahkan, pesan terakhirnya pun sebelum kepergian Fedriko saat itu.
“Pesan terakhirnya sehari sebelum kepergian Fedriko, ya.” Devano bertanya-tanya.
“Iya, Pak. Kami jarang chatan, kalau pas tidak penting. Setelah kepergian Kakak, saya coba chat nggak dibuka hingga saat ini,” jelas Nisa.
“Oh, iya-iya saya paham. Fedriko apa memiliki kekasih atau apa yang bisa saya tanyakan? Mungkin, besok atau lusa meminta kalian untuk datang ke sini lagi, bersama teman-teman terdekat Fedriko. Kami hanya meminta informasi untuk memecahkan kasus ini. Kalian tak perlu takut atau bagaimana dengan kami, sebab kami juga berusaha membantu kalian. Sebelumnya terima kasih, setelah ini kalian akan di antarkan rekan saya untuk pengambilan sample DNA,” ujar Devano.
Mereka pun terlihat antusias dan tak terlihat keberatan sama sekali.
“Mari ikut saya,” pinta Adnan untuk mengikuti dia ke ruang pemgambilan sample DNA mereka.
Sedangkan Jesica, Rico dan Devano tetap meminta keterangan dari kedua orang tua para korban yang diminta kedatangannya. Mereka ingin mengumpulkan bukti yang mana bisa menjurus ke pelaku. Dari semua kesaksian, korban hilang di hari yang tak berjarak jauh. Usia mereka pun lebih kurang ada yang seumuran juga. Sebelum hilangnya mereka pun dengan alasan sama, berpamitan pergi yang mana hingga saat ini tak kunjung pulang. Bahkan, akhir-akhir ini yang hilang kebanyakan pria yang usianya tak jauh beda.
Setelah semua penyidikan selesai, keempat anggota polisi itu berdiam di dalam kantor dan mengamati berkas yang baru mereka dapatkan. Mereka tak habis pikir, kenapa korban orang dewasa yang mana bergender pria semua.
“Keterangan dari keluarga korban malah buat gue bingung,” gumam Jesica.
“Kok bisa?” tanya Adnan yang memang tak bertugas bersama mereka bertiga. Dia yang bertugas menemani pengambilan sample DNA.
“Kasus hilang di kota ini merajalela. Tapi, semua korban pria dengan usia dewasa. Pelaku macam apa yang kita hadapi saat ini?” jawab Jesica.
“Apa dia kaum para pria pecinta pria?” Riko dengan mata melotot menatap temannya secara bergantian. “Ih, akika takut, deh. Nama akika kalau siang Riko kalau malem Rika. Nongkrong di bawah pohon beringin.” Riko malah dengan senangnya mengejek temannya yang sedang serius memikirkan masalah itu.
“Ih, jijik gue ngelihat elu macam. Lu mau jadi salah satu list orang ini?” tanya Jesica.
“Canda, Jes. Jangan nakutin, deh. Elu mau, teman elu yang tampan ini jadi sasaran pria hidung loreng?” Riko cemberut menanggapi jawaban Jesica.
“Hahaha. Seorang Riko Syahputra punya rasa takut juga ternyata,.” Adnan tertawa terbahak-bahak.
“Lu kira gue apaan. Ke rumah gue, yuk. Gue tadikan cerita kalau dapet kotak kado, siapa tahu dari cewek cantik yang ngefans sama gue,” ajak Riko.
“Idih, pede banget bocah satu ini. Tapi, okelah. Gue telepon orang rumah dulu, sekalian ganti seragam, ya.” Jesica meraih tasnya yang ada di kursi. Dia selalu membawa pakaian ganti, agar di saat jam kerjanya selesai dia dengan leluasa pergi tanpa mengetahui profesinya.
Dia tak ingin, citra profesinya buruk jika dia tetap keluar kelayapan menggunakan seragam. Dia tak mau, tingkahnya kadang yang memalukan malah membuat profesinya di pandang sebelah mata.
Jesica masuk ke dalam toilet. Saat baru menanggalkan pakaiannya terdengar suara ponsel di tasnya berdering. Dia yang kepalang tanggung memilih untuk tak menjawab panggilan itu. Setelah semua selesai, dia segera mengambil ponselnya. Terdapat nomor tak di kenal yang menghubunginya.
“Nomor siapa sih, ini? Ada-ada saja, makanya malas buat aktifin ponsel ya gini,” gumamnya.
Dia memilih untuk mengabaikan dan bergegas menghubungi Bundanya. Dia hanya ingin mengabarkan, jika dia dan teman-temannya ingin mampir ke rumah Riko. Rumah Riko berjarak tiga kilo meter dari kantor tempatnya bekerja. Rumah Riko juga terdekat dari ketiga temannya itu.
“Halo, Bun,” ujar Jesica saat panggilannya terhubung.
“Iya, Jes. Kenapa?” tanya mamanya di seberang telepon.
“Bunda, aku mau ke rumah Riko dulu, ya. Nanti pulang paling diantar sama Devano kalau ngak Adnan,” ujar Jesica memberitahu.
“Iya, Jes. Hati-hati, ya. Kalau nanti nggak ada yang nganterin, hubungi Bunda atau Kakak saja biar kamu dijemput,” pinta mamanya.
“Iya, Bunda. Nanti aku coba hubungi Kak Nando kalau nggak ada yang ngaterin,” jawab Jesica. “Bye-bye, Bunda.”
“Bye-bye,”jawab Bundanya sembari memutuskan panggilannya.
Selepas itu, Jesica kembali menghampiri ketiga temannya yang mana sudah mengganti pakaian atasnya di ruangan itu.
“Gila, sudah ganti baju saja,” celetuk Jesica.
“Niatan juga mau ganti celana di sini, tapi kok kurang etis. Takut, khilaf,” jawab Riko seraya berjalan keluar ruangan.
“Eh...” Jesica hanya menatap Riko dengan mengernyitkan dahinya.
“Dahlah, Jes. Mari pulang,” ajak Riko.
Mereka segera menaiki mobil masing-masing. Mereka mengemudikannya secara beriringan menuju rumah Riko. Jarak yang begitu jauh, membuat mereka cepat sampai di tempat tujuan. Mereka keluar dari mobil dan langsung berjalan menuju pintu utama rumah Riko. Pintu pun terbuka sebelum mereka ketuk, sebab Ibunda dari Riko yang mendengar deru mobil berhenti lekas membuka pintu dengan segera.
“Assalamualaikum.” Mereka mengucapkan salam secara bersamaan.
“Waalaikumsalam. Anak-anak Bunda sudah pulang. Mari masuk,” ajak Bunda Riko.
Mereka yang sudah berteman lama hingga membuat para orang tua sudah menganggap mereka menjadi anak sendiri. Mereka tak lupa untuk menjabat tangan terlebih dahulu.
“Bunda, peluk.” Jesica satu-satunya perempuan diantara mereka, yang membuat para Ibu mereka lebih dekat dengannya.
“Anak perempuan, Bunda. Ayo masuk, istirahat sana. Kalau mau makan seperti biasa ambil sendiri. Bunda masak lumayan banyak tadi, sudah kerasa kalau kalian semua mau ke sini,” ujar Ibunda Riko.
“Jadi ya gaes, belakangan ini Ibunda gue beralih profesi jadi cenayang. Mohon dimaklumi, ya. Jadi tukang catering kurang estetik, jadi tambah kerja sampingan,” ejek Riko.
Ibunya pun tertawa sembari menepuk bahunya.
“Wanita sejati ini Bunda, gua. Tertawa saja mukul,” ejek Riko lagi.
Dia yang begitu asyik, membuat pertemanan mereka tak jenuh sebab ada yang bisa bikin menyairkan suasana.
“Ayo, masuk. Kalian istirahat sana, yang mau membersihkan badan silahkan. Bunda setelah ini mau pergi pengajian. Kalau perlu apa-apa minta Mbak saja,” ujar Bunda Riko.
Mereka pun segera masuk menuju ruang tengah di rumah itu, sedangkan Riko berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya.
“Mbak, nggak bikin puding kayak kemarin?” tanya Jesica saat asisten rumah tangganya memberikan minuman ke mereka.
“Enggak, Mbak Jes. Besok aku saja aku buatkan, biar dibawakan Mas Riko kalau berangkat ke kantor.” Sampai asisten rumah tangga mereka pun sangat baik dan ramah ke mereka.
“Iya, beneran, Mbak. Besok Mbak buatkan untuk kalian bertiga. Kalian kalau makan ke dapur sendiri saja, ya. Ibu tadi ada masak opor ayam sama terong balado. Sama bikin jajanan di belakang tadi. Kalian ambil sendiri saja, ya,” ujar asisten rumah tangganya memberi tahu.
“Iya, Mbak. Oh iya, Mbak. Katanya Riko dapat kotak kado, ya?” tanya Adnan penasaran.
“Iya, Mas Adnan. Tadi pagi sih, saat Mbak lagi membereskan halaman depan ada kotak kado tergeletak di depan gerbang. Setelah itu, Mbak ambil saja,” jawab Asisten rumah tangganya.
“Oke, Mbak. Makasih, ya,” ujar Adnan.
Tak berselang lama Riko pun datang menghampiri mereka, dengan membawa satu kotak kado yang ia ceritakan.
“Kotak yang elu maksud tadi pagi, kah?” tanya Devano.
“Yups,” jawab Riko dengan singkat.
Kotak kado itu tak terlalu besar, tapi yang bikin aneh di atas kotak itu tertempel bunga merah yang sering dijuluki dengan bunga higanbana.
“Bunga yang bagus,” gumam Jesica.
Dia tak begitu mengerti dengan bunga ini, sehingga dia yang melihatnya sekilas akan memuji kecantikan bunga ini.
“Coba buka,” pinta Adnan.
Kotak kado itu dengan mudah di bukanya. Terlihat di dalamnya terdapat bunga yang sama seperti di kotak kado.
“Hah, bunga lagi?” gumam Riko.
“Kok aneh, sih. Jangan dipegang, takut berbahaya, sebab aku merasa ada yang aneh dengan ini semua,” larang Devano.
“Tapikan ini, hanya bunga?” tanya Riko.
“Kita nggak ada yang tahu Riko. Ada banyak bunga yang beracun, tapi mungkin kita saja yang tak memahaminya.” Devano memilih untuk berhati-hati.
“Isinya sama, kenapa harus di kasih di dalam kotak padahal di luarnya sudah ada?” gumam Jesica.
“Nahkan, janggal bangetkan? Dahlah, jangan dipegang. Besok kita bawa ke leb saja.” Devano memang orang yang sangat berhati-hati jika melakukan sesuatu.
“Ada suratnya nggak, sih?” tanya Adnan.
“Oh iya, mau cari tahu di dalamnya ada suratnya.” Riko dengan antusias hendak mencari suratnya di dalam kotak itu, tetapi dengan cepat Devano melarangnya.
“Pakai sarung tangan, weh. Dibilang jangan asal pegang, takut beracun,” ujar Devano sedikit kesal.
Riko pun nurut segera mengambil sarung tangan dan mencari surat yang ada di dalamnya.
Memang benar, terdapat surat di dalam kotak itu. Surat itu di letakkan tepat di bawah bunga yang ada di dalamnya. Saat mereka buka, hanya ada tulisan “Cantik, tetapi mematikan.”
“Hah, Cantik tapi mematikan? Apa yang dimaksud itu bunga ini, ya?” ujar Jesica.
“Mungkin saja, tapi seperti mengisyaratkan sesuatu nggak, sih?” Adnan bertanya-tanya.
“Tapi kenapa harus gue, Anjiir! Ya kali, gue cantik. Kali ini Jesica yang dibilang cantik rela deh, gue. Please jangan gue,” ujar Riko bergidik ketakutan.
“Apa jangan-jangan, kado ini buat si Mbak?” sahut Devano.
“Ya juga, sih? Kenapa nggak kepikiran sampai situ, gue. Bentar, kita panggil Mbak dulu saja,” ujar Riko. “Mbak!”
“Iya, Mas. Bentar,” jawab Mbak seraya berteriak, sebab berada di belakang.
“Sini bentar deh, Mbak,” pinta Riko.
Mbak pun bergegas berlari menghampiri mereka.
“Iya, Mas. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Asisten rumah tangganya.
“Mbak, jangan-jangan kada ini buat kamu, deh. Lihat noh tulisannya.” Riko menunjukkan dan saat itu asisten rumah tangganya membaca.
“Cantik, tapi mematikan. Tapi saya nggak cantik, Mas. Jadi bukan untuk saya, mungkin buat Mbak Jesica,” ujar asistennya.
“Mbak ini jangan ketularan kekonyolan Riko, deh. Ini rumah Riko Mbak sayangku. Rumahku jauh, masa iya keliru alamat harus ke Riko,” jawab Jesica.
“Iya juga sih Mbak. Tapi, saya yakin bukan untuk saya, deh. Saya sudah punya pacar di kampung,” jawab asisten rumah tangganya dengan malu-malu.
Tulisan di kertas itu pun menggunakan ketikan, bukan tulisan tangan. Yang seharusnya surat sebagai barang bukti, tetapi kali ini tidak bisa karena dari ketikan komputer.
“Ya sudah, Mbak. Makasih, ya,” kata Devano, seraya tersenyum.
“Iya, Mas.” Asisten rumah tangga Riko melangkah kembali menuju belakang.
“Riko, masukin lagi saja. Kita bawa besok ke kantor. Siapa tahu ada sangkut pahutnya dan elu list korban selanjutnya,” ujar Devano.
“Ada ya teman kayak gini. Ngebet banget gue jadi korban. Ya kali, gue hilang estetik diculik om-om. Ih, masa depan gue suram, say,” jawab Riko sembari membereskan kotak kado itu.
“Hahaha.” Mereka berempat tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Riko, walaupun sebenarnya di dalam pikiran mereka muncul seribu pertanyaan baru
.