Bab 3. Meminta informasi

1211 Words
"Sepertinya, dia begitu mengenal dekat denganmu. Nggak mungkin, jika dia mengenal sekelebat tentang dirimu, sampai begitu fanatik seperti ini," ujar Riko. "Nah itu masalahnya. Selama ini aku tak begitu dekat dengan lawan jenis, selain kalian bertiga. Lu tahu sendiri, setiap hari hidupku di habiskan di kantor dengan kalian, nongkrong pun ketemu kalian lagi. Aneh bukan, sih?" Jesica bertanya-tanya. "Sudahlah, bahas itu nanti. Habiskan dulu makanannya." Devano terlihat tak begitu suka kala membahas jika ada orang lain yang menyukai Jesica. Mereka berempat melahap makanannya, tetapi terkadang sesekali masih berbicara. "Orang kalau suka itu ya diungkapkan. Kalau di serobot orang terlebih dahulu, nanti nangis." Riko yang jail malah dengan sengaja menyindir Devano.   Devano hanya melirik temannya itu, dengan wajah yang sangat ketus. “Mana berani dia mengungkapkan. Eh, dia lagi galak jangan disenggol,” sahut Jesica. Mereka bergegas menyantap makanannya hingga habis. Setelah itu, kembali ke kantor. Mereka berempat kembali mengamati berkas-berkas orang hilang. Beberapa anggota yang ditugaskan ke rumah korban yang hilang, saat itu sudah kembali bersamaan dengan kedua orang tuanya. “Pak, orang tua korban sudah datang,” ujar anggota yang lain. “Baik, bawa mereka masuk ke sini saja,” jawab Devano. “Baik, Pak.” Tak berselang lama anggota itu kembali membawa beberapa orang tua yang datang. “Siang, Pak.” Mereka secara bersamaan menyapa Devano. Devano yang melihatnya dengan spontan berdiri dan menjabat tangan mereka secara bergantian. “Silahkan duduk. Sebelumnya terima kasih atas kedatagan kalian semua, mohon maaf jika mengganggu aktivitas kalian.” Devano menghela napas sebentar. “Sebelumnya, kami meminta kedatangan kalian untuk meminta info yang kalian ketahui sebelum anak-anak kalian menghilang. Bukan hanya itu, kami juga meminta sempel darah untuk tes DNA. Kami infokan sebelumnya, jika pagi tadi salah satu warga menemukan potongan kaki di tempat pembuangan akhir di daerah perumahan dan apartemen yang tak jauh dari sini. Apa kalian bersedia membantu kami untuk kasus ini?” “Iya, Pak. Kami dengan senang hati membantu yang kami bisa. Anak kami hilang bagai di telan bumi,” jawab salah satu anggota keluarga. “Baiklah, kalau begitu saya minta informasi dari kalian secara bergantian, ya. Sebelumnya mohon maaf, untuk yang belum saya mintai keterangan bisa menunggu di luar terlebih dahulu, ya. Saya minta kedua orang tua Fedriko untuk tetap tinggal di ruangan ini,” pinta Devano. Orang tua korban yang hilang pun antusias untuk ini. Mereka tanpa mengeluh dan banyak bicara bergegas melakukan hal yang diminta. Sedangkan kedua orang tua korban yang bernama Fedriko tetap tinggal di sana. “Perkenalkan, saya Devano. Saya yang menangani kasus hilangnya anak kalian. Maaf, jika kami sedikit lambat menangani ini, sebab masuknya laporan orang hilang juga silih berganti masuk setiap harinya. Korban pun juga tak jauh berbeda usianya dengan anak kalian.” Devano memberikan informasi itu terlebih dahulu ke mereka. “Tidak apa-apa, Pak. Kami hanya bisa maklum dan terima kasih, jika kasus ini masih mencoba diungkap hingga saat ini. *** Fedriko yang berusia dua puluh empat tahun, hilang secara tiba-tiba bagi kedua orang tuanya. Dia yang setiap harinya bekerja membantu orang tuanya berjualan, sore itu tak kunjung pulang ke rumah dari kemaren sore dia pergi. Bahkan hingga saat ini masih tak kunjung pulang, entah ke mana rimbanya pergi. Keluarga Fedriko sudah biasa berangkat jam tiga malam untuk berdagang sayuran di pasar dan pulang jam delapan pagi. Pagi itu tetap sama, Fedriko dengan senang hati mengantar ibunya berangkat hingga pulang ke rumah. “Kamu mau ke mana lagi, Fe? Kamu nggak tidur?” tanya Ibu Fedriko saat melihat anaknya mengganti pakaiannya lebih rapi dari sebelumnya. Fedriko biasanya selepas dari pasar, bergegas untuk tidur kembali tetapi kali itu tidak. Dia malah mandi dan mengganti pakaiannya dengan rapi. “Enggak, Bu. Aku mau keluar sebentar ketemu teman, nanti biar istirahat di sana,” ujat Fedriko. Fedriko yang biasa dipaggil Fe kalau di rumah, dia menjabat tangan ibunya. “Fe, pergi dulu ya, Bu. Maaf, kalau Fe ada salah sama Ibu,” ujar Fe yang terlihat begitu aneh. “Kamu ini kenapa sih, Fe? Kok tiba-tiba minta maaf.” Ibunya pun juga merasakan keanehan itu. “Ya nggak apa-apa, Bu. Orang minta maaf doang masah aneh. Kan kata Ibu, orang kalau minta maaf nggak harus tunggu lebaran. Nah, Fe ingin minta maaf ke Ibu sekarang.” Fe mengecup kening ibunya dengan kembut. Fedriko anak yang penurut dan penyayang. Dia anak pertama di silsilah keluarganya. “Halah, Bu. Kak Fe pasti ada maunya itu,” sahut Nisa adiknya Fedriko. Mereka hanya berjarak dua tahun, terlihat seperti teman seumuran. Nisa masih melanjutkan kuliahnya, sedangkan Fedriko mengalah, sebab masa depan adiknya bagi dia lebih utama. “Ya, itu mah kamu, Nis. Kakak pergi dulu, kamu mau dibawain apa kalau nanti pulang?” tanya Fedriko. “Nggak minta apa-apa. Kakak pulang dengan selamat aku sudah bahagia. Jangan bandel, jangan bikin malu diluaran sana. Hati-hati ya, Kak.” Nisa pun suka mengejek kakaknya, tetapi dia juga memiliki kepribadian yang baik. Mereka berdua cerminan dari kedua orang tuanya. Yang dikenal begitu baik, ramah dan suka menolong. Perkataan Nisa pun terdengar begitu aneh kala menasehati kakaknya. “Iya, bawelnya Kakak.” Fedriko masih menyempatkan mencubit hidung Nisa. “Aku berangkat dulu ya. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan, jangan ngebut,” ujar ibunya seraya melambaikan tangan. Entah kenapa, saat mereka lihat Fedriko terlihat terburu-buru saat berangkat waktu itu. Ibu dan adiknya khawatir, sebab dia yang belum tidur membuat mereka was-was jika mengantuk saat diperjalanan. “Kak Fe mau ke mana, Bu? Kok kelihatan bur-buru?” tanya Nisa. “Nggak tahu, dia kata mau ketemu temannya.” “Oh, jalan-jalan kali, Bu. Biasa anak muda, mau cari menantu mungkin buat Ibu dan Ayah,” ejek Nisa. “Biarkanlah, yang penting tahu batasan,” jawab Ibunya. “Iya, kalau begitu aku berangkat dulu, ya. Ada kuliah jam sepuluh, mau beli buku dulu, Bu.” Nisa juga menjabat tangan ibunya. “Ini uangnya.” Ibunya merogoh uang di kantong celananya. “Nggak usah, Bu. Aku masih ada, kok. Berangkat dulu. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” *** Ibunya Fedriko yang memang terakhir ketemu saat di rumah hanya bisa menceritakan sekilas tentang itu. “Lalu, Ibu dan Bapak sudah mencoba menanyakan ke teman-temannya?” tanya Devano. “Sudah, Pak. Saya sendiri dan Nisa yang datang ke rumahnya. Mereka kata, Fe tidak ke sana pagi itu. Semua teman yang sering main ke rumah sudah saya tanyai, tapi tetap sama.” Ayah Fedriko yang kali ini menjawabnya. “Apa dari gerak-gerik Fedriko ada yang mencurigakan bagi kalian?” sahut Jesica. Jesica di sini mencatat semua infromasi yang diberikan orang tua korban. “Tidak, Bu. Dia tetap berperilaku sama seperti biasanya,” jawab Ibunya. “Pak, kita bisa datangkan Nisa ke sini juga. Siapa tahu, ada chat terakhir bersama kakaknya yang bisa menjadi bukti untuk hal ini,” ujar Jesica ke Devano. “Boleh, siapa tahu ada sedikit menjurus ke informasi selanjutnya,” jawab Devano. ”Bapak, Ibu. Saat ini Nisanya bisa di datangakan ke sini atau tidak?” “Bisa, Pak. Kalau jam segini biasanya dia sudah pulang, sebab dia tadi pulang pagi,” jawab Ibunya. “Biar saya telepon saja, Pak. Biar dia langsung ke sini,” sahut ayahnya Fedriko. “Baik, Pak.” Devano tersenyum kala mengatakan itu. Ayah dari Fedriko segera menghubungi anak keduanya. Terdengar Nisa pun mengiyakan permintaan ayahnya untuk datang ke sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD