Saat mereka tertawa lepas, saat bersamaan terdengar ponsel Jesica berdering kembali.
“Ponselmu, Jes,” ujar Rico.
Jesica segera meraih ponsel yang ada di dalam tasnya. Saat dia melihat, terdapat panggilan telepon dari nomor yang sama dengan sore tadi menghubunginya. Bukannya menjawab panggilannya, justru Jesica menatap ke arah teman-temannya.
“Kenapa?” tanya Devano dengan sorot mata yang tajam.
“Lihat, ini orang dari kemaren menghubungiku. Chat gue terus tapi sama sekali tak gue gubris. Chatnya sampai sekarang masih belum gue buka itu,” ujar Jesica memberitahu.
“Coba angkat saja, siapa tahu penting,” pinta Adnan.
“Lu saja, deh. Males gue, itu,” ujar Jesica.
Devano tanpa banyak kata langsung meraih ponsel itu dari tangan Jesica. Dia bergegas menjawabnya.
“Halo,” ujar Devano saat menjawab panggilannya.
Alih-alih ngomong, panggilan itu pun dengan cepat diputuskan saat yang menjawab Devano.
“Malah dimatikan. Orang iseng banget.” Devano menatap ke arah Jesica. “Buka saja chatnya, ingin tahu isinya apaan.”
“Elu buka saja deh, Dev. Sumpah males banget gue, itu,” jawab Jesica/
“Ya sudah, maaf gue buka, ya,” ujar Devano. Dia pun bergegas membuka chat dari panggilan nomor yang tak dikenal itu.
Devano pun membaca satu-persatu isi chat tersebut. Dia terbelalak, kala melihat chat yang numpuk dari satu nomor sama.
"Dari kapan dia, chat?" tanya Devano.
"Dari kemarin, tapi gue males banget mau membukanya. Nggak jelas banget sepertinya,"jawab Jesica.
“Lu di suruh datang ke apartemennya, Jes. Katanya mau minta pertolongan,” ujar Devano memberitahukan isi chat tersebut.
“Kenapa nggak datang ke kantor saja, sih? Gue lebih takut kalau ada yang chat pribadi terus bilang minta tolong, apalagi beda kelamin gini. Saekuat-kuatnya, gue tetap perempuan, yang mana tenaganya kalah jauh dengan laki-laki.” Jesica bergidik dengan chat orang itu.
“Iya, sih. Kalau pun dia meminta tolong beneran, mungkin saat Devano mengangkat teleponnya akan ngomong nggak malah dimatikan. Takutnya kejahatan yang bermodus meminta tolong,” sahut Adnan.
“Kenapa saat ini kita disuguhkan kasus yang di luar nalar, sih?” ujar Riko seraya merebahkan tubuhnya di sofa.
Tiba-tiba ponsel Devano berdering memecahkan suasana yang kembali menegang.
“Halo,” jawab Devano tanpa melihat nomor di layar ponselnya.
“Pak, bisa mohon bantuannya. Ada laporan dari warga, yang mana ditemukan potongan tubuh kembali di dekat jembatan layang di jalan merpati. Beberapa anggota sudah berangkat ke sana untuk memasang garis,” ujar salah satu anggota mereka yang memberitahukan.
“Baik, saya akan segera ke sana. Langsung ke tempat kejadian saja.Terima kasih,” ujar Devano.
“Baik, Pak.”
Setelah itu, Devano memutuskan panggilannya dan beranjak dari tempat duduknya.
“Kita harus pergi ke jembatan layang di jalan merpati. Di daerah sana kembali di temukan potongan tubuh. Siapa tahu, potongan yang sama pemiliknya dengan kaki pagi tadi,” ujar Devano memberitahukan.
Mereka pun menghela napas. Badan lelah pun merega dengan sigap tanpa mengeluh bergegas beranjak dari tempat duduknya. Mereka tetap berangkat tanpa mengenakan seragam. Mereka mengendarai satu mobil untuk cepat sampai di jalan itu. Sbenarnya jalan itu oun tak jauh dari kantor mereka bekerja juga.
“Bagaimana?” tanya Devano saat sampai di sana.
“Potongan tangan dan kaki tangan sebelah kanan. Kalau di lihat dari potongan tubuh sepertinya masih baru. Darah pun terlihat baru mengering,” jawab anggota itu.
“Oke, masukkan. Kita bawa ke kantor, laksanakan olah Tkp besok saja.” Devano dengan tegas memerintah.
Devano lantas melangkah keluar garis polisi, kemudian menghadap ke warga.
“Mohon perhatiannya, Bapak, Ibu da semuanya. Kami sudah memasang garis polisi di sini, jangan ada yang masuk dan mengubah apapun yang ada di sana. Mohon kerjasamanya untuk mempermudah kami melakukan tugas ini. Mohon patuhi dan infokan ke kami jika ada yang mencurigakan di area kejadian perkara ini. Terima kasih.” Devano hanya menghimbau para warga. Dia tak ingin ada sidik jari dari mereka tertempel di area tersebut, atau sesuatu hal yang meninggalkan barang yang mana mempersulit keadaan.
Adnan tak lupa untuk memotret tempat kejadian. Dia melihat barang-barang yang dianggap mencurigakan dan mengabadikannya kembali. Barang yang dianggap mencurigakan pun di bawa ke kantor untuk barang bukti dalam tindakan ini.
Mereka pun kembali ke kantor dengan perut yang keroncongan dan badan lelah karena baru istirahat sebentar sudah bertugas kembali.
“Pak, buat surat pemanggilan untuk orang tua korban hilang selanjutnya, ya. Kita ambil sampel DNA mereka kembali untuk besok. Dan untuk orang tua yang tadi, paling lambat satu mingguan hasil DNA dan pencocokan oleh jenazah-jenazah yang ditemukan pada hari ini.” Devano memberitahukan ke anggotanya.
“Baik, Pak.”
Devano menyandarkan tubuhnya di kursi.
“Kenapa, Dev?” tanya Jesica yang terlihat khawatir ke Devano.
“Nggak apa-apa, Jes.” Devano terlihat begitu lelah.
“Gue ambilkan minum dulu, ya.” Jesica beranjak kembali.
“Pesen makanan sekalian juga boleh, Jes. Laper banget gue,” sahut Riko.
“Yok, kita keluar. Kita beli makan di depan, noh,” ajak Jesica.
Tanpa berpikir panjang, ketiga lelaki itu pun beranjak dan berjalan berdampingan dengan Jesica.
“Kita cari makan di depan dulu, Pak,” ujar Jesica seraya tersenyum.
Mereka duduk di salah satu bangku di warung itu. Namun, yang menjadi pusat perhatian Jesica kali ini seseorang yang tak jauh dari tempat mereka duduk.
“Loh, Zein,” sapa Jesica.
Zein yang sedang duduk sembari memainkan ponselnya pun terkesiap saat Jesica menyapanya, sebab dia tak tahu kedatangan Zein di sana. Dia dengan cepat menyimpan ponselnya ke tas kecil yang ia gendong saat ini.
“Hei, kalian. Kaget gue,” ujar Zein. Senyumnya terlihat aneh, saat dia kaget seperti itu.
“Sini gabung,” ajak Riko.
“Eh, iya,” jawab Zein, kemudian duduk bersama mereka.
“Nggak nyangka ketemu lagi. Kalau sekali ketemu ya seperti ini, terus saja ketemu. Kalau enggak, lu bagai hilang di telan bumi. Sumpah, deh,” ujar Riko lagi.
“Gue sibuk banget, Rik. Entah, ini kebetulan lewat sini, ya mampir saja sambil cari makan. Ketemu kalian lagi,” jawab Zein. “Oh iya, kalian belum pulang?”
“Sudah, tadi. Kita balik lagi.” Kali ini Devano yang menjawabnya.
“Ketemu potongan tubuh lagi?” tanya Zein.
“Kok tahu?” tanya Jesica.
Apartemen dan jembatan layang yang berbeda arah nggak mungkin kejadian dua kali dia ketahui, kecuali Zein juga berada di kejadian yang baru terjadi.
“I-itu, tadi pagi kita ketemu gara-gara potongan, siapa tahu ketemu seperti itu lagi.” Zein tertawa, tetapi terdengar garing di telinga ke empat orang yang ada di dekatnya. Jesica mengernyitkan keningnya kala menatap Zein.
“Memang benar, sih. Apa yang lu katakan benar adanya,” ujar Jesica.
“Eh, beneran gue uma menduga-duga dan becanda.” Zein gelagatnya semakin aneh.
“Ini mas, pesanannya. Lima belas ribu,” ujar penjual nasi sembari meberikan sebungkus nasi diberikan ke Zein. Zein pun menerimanya dan bergegas membayarnya.
“Gue duluan, ya,” ujar Zein sembari beranjak dan menjabat tangan mereka kembali.
“Oke, hati-hati, ya,” ujar mereka.
Zein pun melangkah pergi, kemudian melajukan sepeda motor yang ia gunakan sampai ke sini.
“Sumpah, dia aneh banget nggak, sih? Apa Cuma gue yang merasa dia aneh?” tanya Jesica.
“Sama, sih. Kalian ada cium bau anyir darah di tubuh Zein, nggak? Apa Cuma gue?” tanya Adnan.
Adnan yang duduk tepat bersebelahan dengan Zein, mencium bau anyir dari tubuhnya.
“Njir, lu mencurigai Zein sebagai pelaku pembunuhan ini?” sahut Riko.
“Ya, bukan begitu. Tapi kok aneh begitu, loh. Kan namana orang tidak ada yang tahu,” jawab Adnan.
“Tapi namanya suudzon juga tidak baik, bosku. Dahlah, kita makan saja dulu,” ujar Jesika menyela obrolan mereka.
Ting! Bunyi notif pesan masuk di ponsel Jesica berbunyi. Jesica segera membukanya dan terlihat nomor ponsel yang sama dengan yang telepon tadi.
“Kak, bisa cepat dateng, nggak? Ada sesuatu hal yang nggak bisa aku ceritakan saat ini.” Isi pesan tersebut berbunyi seperi itu.
Jesica menyerahkan ponselnya ke arah Devano.
“Kenapa?” tanya Devano.
“Baca saja,” jawab Jesica.
Devano pun menuruti perkataan Jesica dengan membaca isi pesan tersebut.
“Telepon dia sekarang,” ujar Devano.
Jesica pun segera menghubunginya.
“Halo, selamat malam,” ujar Jesica saat teleponnya terhubung.
“Halo, benar dengan Ibu Jesica? Bisa ketemu nggak, ya?” tanya orang di seberang telepon yang terdengar panik.
“Iya, bisa. Tapi jangan di tempat yang kamu maksud, ya. Kalau di tempat lain kungkin bisa.” Jesiuca bernego soal tempat.
“Tapi ada...”
“Hah!” terdengar suara lain yang mendnegus kesal saat bersamaan membuka pintu terdengar dari ponsel. Saat bersamaan telepon itu pu terputus.
“Halo.” Jesica menatap layar ponsel yang sudah tak terhubung. “Panggilannya terputus.”
“Ada suara lain kan tadi? Apa dia sedang dalam keadaan terancam?” Devano bertanya-tanya.
“Nah, takutnya seperti itu. Mungkin, dia tadi memutuskan panggilan saat orang yang mendengus tadi bersamanya.” Jesica mengira-ngira.
“Benar juga, sih. Coba kalau dia menghubungimu, cepat lu respon saja,” saran Adnan.
Mereka melanjutkan pembicaraan dengan kemungkinan-kemungkinan yang muncul dalam pikiran mereka sendiri. Selepas makan, mereka berangsur pulang menuju rumah Riko untuk mengambil kendaraan masing-masing.
“Gue langsung pulang saja, ya. Sudah malam juga,” ujar Jesica berpamitan.
“Gue juga, Rik,” sahut Devano. “Jes, biar gue anterin elu sampai depan rumah, ya.”
“Oh iya, Dev. Kita berdua pulang dulu, ya,” ujar Jesica.
“Iye, kenapa mobil elu nggak ditinggal di sini saja, biar besok gue bawa ke kantor,” usul Riko.
“Oh iya juga, ya. Ya sudah, gue tinggl di sini saja, ya. Biar besok gue dianterin Nando,” jawab Jesica.
“Besok gue jemput biar elu nggak ngrepotin Kakak Elu. Lagian arah rumah sakit ke kantor juga beda arah.
“Iya deh, iya.Kita pulang duluan, ya. Salam ke Bunda,” ujar Jesica seraya memberikan kunci mobilnya ke Riko.
“Iya, hati-hati,” jawab Adnan dan Riko secara bersamaan.
Devano mengendarai mobilnya secara perlahan. Dia mencoba mengajak Jesica berbicara di sepanjang perjalanan.
“Jes, Elu nggak coba buat akun fake buat cari tahu orang yang selama ini chat Elu?” tanya Devano.
“Akun fake?Orang telepon tadi maksud Lu?” Jesica menatap ke arah Devano
“Bukan, orang yang kamu kata pakai poto profil anime dan bawa bunga.” Devano mendadak teringat sesuatu. “Oh iya, bukannya bunga yang ada di kotak kado Riko sama dengan bunga yang di buat poto profil itukan?”
“Oh iya, kok baru keinget gue. Bentar, gue minta poto itu ke Riko dulu, ya.”
“Iya, suruh kirim secepatnya.”
Jesica pun segera menghubungi Riko secepatnya. Riko pun, dengan cepat menjawabnya.
“Ape, Jes?” tanya Riko di seberang telepon.
“Minta tolong potokan gambar bunga yang ada di kotak kado elu, ya. Sekarang,” pinta Jesica.
“Astaga bocah, gue baru duduk, njiir. Bentar,” jawab Riko.
“Buruan, Riko,” pinta Jesica terburu-buru.
“Iya-iya, gue matiin dulu.” Riko pun memutuskan panggilannya.
Tak berselang lama notifikasi pesan Jesica pun berbunyi. Pesan gambar yang dikirimkan Riko pun sudah di terima Jesica.
“Dikirim, ini,” ujar Jesica memberitahukan.
“Coba Lu bandingkan. Gue rasa gambar yang sama, deh,” jawab Devano.
Jesica mencoba mengamati gambar bunga itu dengan jeli. Kemiripan 100% terlihat meski di dalam akun sosial media itu gambar bunga menggunakan anime.
“Apa semua ini ada hubungannya?” Jesica bertanya-tanya.
“Enggak tahu juga, sih. Kalau misal yang di teror Elu, buat apa kirim kotak ke Riko? Nggak ada hubungannya juga.”
“Iya, juga, sih. Ih, ribet banget, sumpah.”
Kalau ada apa-apa sama kamu, cepat hubungi kami. Kami nggak mungkin dua puluh empat jam sama kamu. Kalau ke mana-mana usahakan sama Kak Nando kalau dia lagi di rumah,” pinta Devano terdengar sangat bawel kali ini.
“Nando sering sibuknya, weh. Apalagi jalan sama ceweknya, noh. Semakin sibuk bapak dokter yang satu itu,” gumam Jesica.
“Kapan nikah dia?” tanya Devano.
“Nggak tahu, gue. Orang profesinya hanya dibuat ajang pamer mulu sama pasangannya. Gegayaan pacaran dia itu, tuh. Definisi, dokter yang tersakiti ya dia itu. Heran gue, cari pasangan selalu nggak bener dari dulu,” ujar Jesica yang terlihat cemberut kali ini.
“Hahaha, Kak Nando tersakiti? Astaga, gue ngakak sumpah.”
“Iye, noh. Orang suka pacaran sama cewek labil. Males gue bahas dia, kayak nggak ada bahasan saja.”