“Ooh ini toh yang namanya Daniel. Kamu putranya Bapak Tedjasukmana itu kan ya?”
“Iya tante. Maaf mengganggu sore ini, tapi saya ingin bertemu tante dan Edelweiss.” Entah kenapa mendadak Daniel merasa gugup luar biasa saat berhadapan dengan Etty. Sepertinya si empunya rumah tidak suka pada kehadirannya sore ini.
“Ada apa mau bertemu putri saya? Mau ngecek apakah benar putri saya itu pengemis atau bukan?” Tanya Etty dengan sinis. Lelaki tampan di depannya sudah mendapatkan nilai jelek di matanya, walaupun Daniel bermaksud meminta maaf, Etty tidak peduli.
“Euum bukan tante, justru itu, saya datang ingin menyampaikan permohonan maaf kepada tante sekeluarga, terutama kepada Edelweiss.” Jawab Daniel dengan sungkan.
Duuh, kayanya namaku udah jelek aja di keluarga ini.
“Ooh…” Jawab Etty, menyilangkan kedua tangan di depan d**a.
Ooh… doang? Daniel menggaruk kepalanya.
“Eehemm… Euum maaf tante, apakah putri tante ada?” Daniel berdehem untuk menghilangkan grogi. Baru kali ini dia berhadapan dengan seorang ibu yang tampak tidak menyukainya.
Gini amat sih mau minta maaf. Ini baru ketemuan ama emaknya, gimana ntar ketemuan ama bapaknya ya? Berasa mau lamaran aja deh. Batin Daniel sedari tadi tak henti bermonolog.
“Siapa tamunya mah?” Suara berat berwibawa seorang lelaki, membuyarkan suasana canggung antara Daniel dan Etty.
“Ini pah, Daniel putranya Pak Tedja.” Etty menunjuk ke arah Daniel dengan dagunya, masih nampak kekesalan yang sangat kentara.
“Om, saya Daniel. Maaf mengganggu sore ini.” Daniel bangun, menyambut uluran tangan Hartono dan mencium punggung tangannya dengan khidmat.
“Ooh kamu putranya Mas Tedja toh. Wah sudah bujang gini ya. Sudah lama sekali berarti, Om dan papamu terakhir bertemu. Ada perlu apa?” Tanya Hartono dengan ramah.
“Saya mau bertemu Om, Tante dan Edelweiss untuk meminta maaf atas kesalahapahaman yang terjadi beberapa hari lalu, Om.” Daniel meringis. Tapi sungguh dia bersyukur karena sambutan Hartono yang lebih hangat dibanding sang istri, yang masih saja bertampang jutek melihatnya.
“Ooh itu. Mah, gak panggil Edel?” Tanya Hartono pada sang istri.
“Kan Edel lagi di yayasan pah, sama Yasa sama teman-temannya, katanya mau bahas proyek listrik di kampung Sendang di Lampung.” Jawab Etty, gusar. Tapi tiba-tiba terbersit ide cemerlang saat dia menyebut nama Yasa beberapa detik lalu.
“Datang saja ke yayasan ya, nanti saya akan kasih kartu namanya.”
Lagi ada Yasa, Tito dan teman-teman Edel yang lain. Biar saja dia diplonco deh hehe…
“Baik Tante, terima kasih. Sekali lagi, saya minta maaf karena kesalahpahaman yang saya buat beberapa hari lalu. Permisi, assalamualaikum.” Daniel berpamitan setelah mendapatkan kartu nama. Tertulis nama sebuah yayasan dan alamatnya.
Tanpa Daniel tahu, beberapa menit setelah dia pamit dari rumah keluarga Hartono, Etty segera saja menelpon Yasa - si calon mantu idaman - untuk memberitahu hal ini.
“Assalamualaikum Yasa. Lagi sama Edel kan?” Etty tidak mau berbasa-basi untuk mempercepat pembicaraan.
“Waalaikumusalam, iya tante, ini lagi di rumah makan padang langganan Edel, lagi pesan makanan sekalian buat anak-anak. Tumben tan suaranya kok panik gitu, ada apa?” Tanya Yasa sopan. Bagaimanapun juga dia sering bertemu dengan Etty karena statusnya sebagai adik kembar si menantu di keluarga itu.
“Wah bagus kalau gitu, lagi jauh dari Edel kan? Gini, nanti si Daniel Tedja itu akan datang ke yayasan karena mau ketemu Edel dan minta maaf padanya. Tante minta tolong untuk kamu selalu dekat Edel ya Sa.”
“Loh kalau Daniel ini mau minta maaf kan bagus tan. Dia bersikap gentleman kan? Kenapa pula saya ada di dekat Edel terus?”
“Karena si Daniel ini mirip secara fisik dengan almarhum. Tante gak mau Edel jadi sedih lagi. Pokoknya tante percaya kamu Yasa, tolong jaga putri tante.”
Tanpa Etty tahu, di seberang sana Yasa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tanpa disuruh dua kali dia pasti akan siap sedia selalu ada di dekat Edel, hanya saja apakah Edel mau akan hal itu?
“Yasa?! Halloww… kamu masih di situ?”
“Iya… Masih tante.”
“Bagus deh. Kalau gitu tante tinggal tunggu kapan kamu dan bundamu datang ke mari ya Sa.”
“Ha? Ngapain tan?” Tanya Yasa dengan heran.
“Ngelamar Edel lah, apalagi?” Suara telepon pun terputus, meninggalkan bunyi tuut tuut yang hanya bisa dipandangi Yasa dengan senyum canggung.
***
Daniel mimicingkan mata melihat alamat yang tertera terletak di daerah Cikini. Dia tahu besaran sewa di daerah tersebut. Dikemudikannya jeep mahalnya perlahan agar tidak terlewat. Jalanan yang dia lalui saat ini adalah satu arah, bisa berabe jika dia kebablasan. Dia menarik nafas lega saat melihat di sisi kiri ada sebuah rumah dengan halaman yang luas dan bertulis nama yayasan seperti yang tertera di kartu nama yang diberikan oleh Etty. Segera dibelokkannya saja mobil dan parkir dengan manis. Hanya ada satu mobil berwarna silver terparkir di sebelahnya, dua buah motor dan beberapa sepeda.
Setelah merapikan diri, Daniel segera turun dan dengan langkah kaki mantap menuju ke rumah itu. Pendopo itu sedang ramai sore ini, sepertinya mereka sedang sibuk mengerjakan sesuatu.
“Assalamualaikum, selamat sore… Saya mau bertemu dengan Nona Edelweiss.” Ucapan salam dari Daniel, membuat suasana hening beberapa saat. Beberapa pasang mata menoleh ke arahnya, ada yang menyelidik, ada juga yang terpana, pastinya kaum hawa.
“Waalaikumusalam….” Suara koor menjawab salam Daniel terdengar. Tapi kemudian hampir semuanya kembali asik melanjutkan kegiatan yang sebelumnya sempat tertunda. Hanya ada satu lelaki yang mendekat ke Daniel dan menyambutnya.
“Mbak Edel sedang pergi bersama Yasa, tapi sebentar lagi sampai kok. Silakan tunggu di situ, Mas Daniel. Sambil melihat apa yang sedang kami kerjakan.” Tangan lelaki itu menunjuk kursi tamu, sebuah set kursi dan meja tamu bulat yang tampak oldies tapi tetap menawan.
“Terima kasih. Saya akan tunggu di situ.” Jawab Daniel santun. Eeh kok dia tahu namaku? Daniel yang canggung, akhirnya hanya bisa duduk manis dan melihat kesibukan yang terjadi di situ. Beruntung tak lama kemudian, sebuah mobil jeep mewah, Rubicon, memasuki halaman dan parkir di sebelah mobilnya.
Seorang gadis bertubuh tinggi langsing, berambut pendek, berkulit kecoklatan, tampak dengan sigap turun dari jeep itu. Dari pintu supir, tampak seorang lelaki tampan berkulit putih - kontras dengan kulit si gadis yang dia yakin itu adalah Edelweiss Hartono - menutup pintu mobil dan melihat dengan heran ke arah jeep yang tak kalah mewah, yang terparkir di sebelah Rubicon.
Si lelaki tampan berkulit putih bersih itu, dengan sungguh gentle mengambil ransel besar yang tadi dibawa si gadis, kemudian menggandeng tangan gadis tinggi itu dan mengajaknya masuk.
“Wah ada tamu ternyata.” Sapa si lelaki tampan yang berjalan bersama Edel dengan ramah. Lelaki itu meletakkan ransel, mencuci tangan dan mengulurkan tangan untuk bersalaman hangat dengan Daniel.
“Iya Mas. Maaf mengganggu. Saya Daniel.” Respon Daniel dan tersenyum ramah, membalas uluran tangan lelaki tampan itu.
“Hai, saya Yasa. Mau bertemu Edel ya? Tadi Tante Etty sudah menelpon, kasih tahu kalau Mas Daniel mau bertemu.” Kedua lelaki yang sama-sama tampan itu bersalaman dengan erat dan hangat. Tanpa keduanya tahu, kelak mereka akan bersaing untuk mendapatkan cinta seorang Edelweiss Hartono.
Dan siapakah pria yang beruntung itu? Apakah Daniel? Apakah Yasa? Atau Edel tetap berkutat pada masa lalunya yang masih belum bisa melupakan mantan? Lebih tepatnya almarhum sang mantan.