“Edel, dicariin Si Crazy Rich tuh.” Bisik Tito pada Edel yang sedang mencuci tangan. Edel melirik ke arah dua lelaki sama tampan yang tampak asyik bercengkerama, entah membicarakan apa.
“Mau ngapain dia?” Tanya Edel heran.
“Gak bilang mau ngapain, tapi pasti mau minta maaf lah. Secara udah salah sangka ke elu kan.”
“Hmm… “ Edel tidak menjawab, tapi kemudian kakinya melangkah menuju tempat Daniel dan Yasa yang asik mengobrol.
“Nah, ini Edelweiss sudah datang. Edel, ini Mas Daniel mau ketemu kamu. Aku tinggal bentar ya. Mau bagi makanan ke anak-anak buat persiapan buka puasa, kasian mereka matanya ijo semua gitu lihat bungkusan makanan.” Tepuk Yasa ke pundak Edel, sesaat setelah Edel duduk.
“Iya. Sa, sisain nasi rendang buatku ya.” Pinta Edel yang dijawab Yasa dengan mengacak rambut Edel. Senyum manis terbit di bibir Edel karena perlakuan Yasa padanya.
Semua itu tak lepas dari pengamatan Daniel. Mendadak dia teringat Mya. Seandainya dia mengacak rambut Mya, apa yang akan terjadi ya? Kalau melihat interaksi Edel dan Yasa yang natural, kemungkinan besar itu tidak akan terjadi pada Mya. Bisa jadi Mya akan langsung menghajarnya habis-habisan karena merusak tatanan rambut cantiknya.
Kok aku mendadak kepikiran si Mya sih?
Mata tajam Daniel melihat ke arah Edel dengan intens. Baru kali ini Daniel bertemu dengan seorang perempuan yang tampak sangat tangguh. Kulit kecoklatan - warna kulit eksotis menurutnya -, mata tajam, hidung mancung dan bibir penuh, membuat sebuah perpaduan yang menarik pada Edel, tidak membosankan untuk dilihat. Tampak sungguh berbeda dari malam saat dia salah sangka dan memberi Edel bantuan sembako. Saat itu gadis di depannya memang terlihat kacau, kumal dan kucel. Wajar jika dia salah sangka kan? Namun sekarang, kondisi Edel sungguh berbeda. Walau tampil cuek dengan kaos yang kebesaran di tubuh langsingnya, jeans belel bermerk, dan juga jam tangan khas orang-orang pecinta naik gunung. Tampak elegan dan cocok dipakai oleh gadis tinggi langsing ini.
Mata tajam tapi indah milik Edel, melihat ke arah Daniel dengan bingung. Kesambet kali yak nih orang? Kok malah bengong?
“Hai…” Suara lembut nan merdu Edel, terdengar di netra pendengaran Daniel. Mendadak Daniel hilang arah, padahal baru disapa dengan satu kata saja, tapi dia sudah sangat melambung.
“Mas… halloww…” Edel melambaikan tangan di depan wajah Daniel, yang bengong.
“Wah Mas, jangan bengong di jelang magrib gini dong. Mana tadi tuh parkir di bawah pohon gede kan? Hmm, jangan-jangan…”
Mata Daniel mengerjap saat Edel berkata jangan-jangan.
“Eeh hai Mbak, maaf tadi saya sedang memikirkan sesuatu. Maaf kalau jadi tidak sopan.” Daniel meringis, malu.
“Eeum mari kita berkenalan secara benar ya. Kenalkan nama saya Daniel.” Daniel mengulurkan tangan dan dibalas Edel, tapi hanya dua detik saja mereka bersalaman, karena Edel segera menarik tangannya.
“Edelweiss, panggil Edel saja gak papa, gak perlu pakai mbak, kok terdengar aneh.” Senyum super duper manis Edel terbit, membuat untuk kedua kalinya Daniel terpesona. Memang benar apa kata orang, senyum itu menular, karena Daniel terkena virus senyum Edel dan ikut tersenyum.
“Eumm gini Edel, kedatangan saya ke mari khusus ingin meminta maaf karena kejadian beberapa waktu lalu. Waktu itu saya salah mengira Edel sebagai pengemis. Saya sungguh-sungguh minta maaf.” Daniel menangkupkan tangan di depan dadanya, tanda sungguh menyesal.
“Ooh itu, saya malah sudah lupa kok. Oiya tapi sembako dan uang itu sudah kami bagi ke orang-orang yang membutuhkan. Gak papa kan ya?” Tanya Edel, polos.
“Iya, gak papa banget. Eeh ini jadi permintaan maaf saya diterima nih?” Daniel bertanya dengan grogi. Mama tercinta sudah mengomel sepanjang jalan padanya gegara dia salah sangka pada Edel. Ternyata walaupun tidak dekat dan tidak mempunyai hubungan bisnis langsung, tapi papanya dan Hartono pernah beberapa kali bertemu.
“Sudah saya bilang, tidak perlu minta maaf kok.” Kata Edel menjawab kegalauan Daniel.
Terdengar langkah kaki mendekati mereka, ternyata Yasa dan satu orang lagi. Mereka membawa tiga cangkir teh manis hangat, terlihat dari uap yang mengepul saat cangkir itu diletakkan di meja, dan juga tigak gelas air putih serta satu box kecil kurma.
“Sebentar lagi kita buka puasa. Maaf, apakah Mas Daniel puasa? Jika iya, ini nanti buat kita buka bersama ya.” Yasa bertanya dengan hati-hati.
“Iya, saya puasa kok Mas. Terima kasih untuk undangan santapan berbukanya.”
“Alhamdulilah kalau begitu. Nah mumpung masih ada lima menit sebelum adzan magrib berkumandang, silakan Mas Daniel mengambil wudhu di depan situ. Nanti setelah buka puasa, kita akan sholat magrib berjamaah dan menyantap kudapan sebelum kita sholat tarawih.” Yasa menjelaskan cukup panjang.
Daniel mengangguk dan segera mengikuti langkah kaki Yasa yang juga mengambil wudhu. Dalam hati, Daniel tersenyum senang karena baru kali ini mendapat pengalaman berbuka puasa secara akrab bersama orang-orang yang tulus, yang tidak melihat nama belakang yang disandangnya.
Berada di situ membuat Daniel seperti merasa terasing. Mungkin dia dan Edel sama-sama berasal dari keluarga borjouis, dengan ayah seorang pengusaha kaya raya. Entah apa yang membuat Edel sangat berbeda dengannya. Mungkin saja pengalaman hidup mengajarkan Edel untuk menjadi pribadi yang tidak menonjolkan kekayaan keluarga Hartono.
Saat ini pun Daniel sungguh terpesona pada Edel. Mukena yang menutupi keseluruhan tubuh Edel, membuatnya terasa sulit digapai. Senyum cantik, wajah menenangkan Edel, bisa membawa perasaan damai bagi siapapun yang melihatnya. Hanya saja, sepertinya ada sesuatu yang salah di sini. Senyum dan pandangan mata Edel hanya mengarah pada satu titik, si lelaki yang sebelumnya menjadi imam, Yasa.
Sontak, rasa suka yang tadi sempat bungah di hati Daniel, perlahan meredup, karena dia tahu jika dia menyukai Edel, maka saingannya akan berat. Ingatkan dia untuk mencari tahu siapa itu Yasa, lelaki yang menimbulkan senyum di bibir Edel.