Beberapa bulan berlalu sejak pertemuan pertama antara Daniel dan Edel. Hidup Daniel yang sebelumnya kacau sejak ditinggal selingkuh Emira, menjadi lebih teratur dan berwarna.
Apalagi untuk kepedulian dengan sesama. Semula Daniel hanya sekedar berbagi saja, nyatanya bersama Edel mata dan pemikirannya terbuka, bahwa bukan hanya berbagi saja, tapi kesinambungan hidup yang lebih baik bagi si penerima. Itulah kenapa Edel selalu memberikan bantuan untuk komunitas di suatu lokasi, bukan hanya menyasar secara individu.
Itu yang Daniel masih belum sanggup lakukan. Dia masih belum bisa meninggalkan pekerjaan utama di kantor. Apalagi dengan jabatannya sebagai seorang Direktur Utama yang membawahi hajat hidup orang banyak, karyawan yang bekerja di perusahannya. Sesekali, tentu saja dia ingin pergi bersama Edel ke daerah-daerah terpencil. Selain untuk membantu masyarakat lokal di daerah tersebut, tentu saja agar dia bisa semakin dekat dengan Edel, mengalahkan Yasa yang semakin dekat saja pada gadis manis bertubuh tinggi langsing itu.
Tapi Daniel merasa sedikit terobati saat Edel berkata bahwa perjuangannya juga mulia kok, walau dengan cara yang berbeda. Kata Edel, dengan dia membuat perusahaannya tetap berjalan hingga karyawannya tetap mendapatkan gaji setiap bulannya, itu juga merupakan bentuk perjuangannya pada sesama.
Terlebih lagi, sekarang dia sama sekali tidak berhubungan dengan wanita-wanita manapun karena Edel. Biasanya dia seringkali menghabiskan malam bersama wanita cantik dan seksi, yang akan menemaninya menghabiskan malam dengan panas, menghangatkan ranjangnya.
Semua karena ia ingin menjadi pribadi yang lebih baik lagi, agar ia layak untuk mendampingi Edel, menjadi lelaki yang pantas untuk gadis itu. Semua karena Edel.
Iya sih dia mendapat pencerahan dan menjadi pribadi yang semakin baik lagi. Namun semua itu belum juga mampu mendekatkan dirinya dengan Edel. Ada saja hambatan, entah karena ketiadaan waktu, jadwal yang berbeda, Bu Hartono yang secara halus lebih mendukung Yasa, sang saingan, untuk menjadi menantu ketimbang dirinya. Dia sendiri sampai heran, karena menurutnya antara Yasa dan dirinya tidaklah berbeda terlalu jauh.
Yasa adalah lelaki yang tampan, dia akui itu. Tapi dia juga tak kalah tampan kok, malahan menurut ibunya, dia lebih tampan daripada Yasa. Hmm, pasti sih itu, semua ibu pastinya akan melebihkan anak tercinta kan?
Yasa pintar. Dia juga pintar kok. No one doubt it. Yasa baik hati, dia juga baik hati. Malahan dari segi ekonomi, dia jauh lebih berharta dibanding Yasa. Tapi sepertinya baik Edel maupun Hartono tidak pernah menilai orang hanya dari kekayaan saja. Mungkin juga karena harta kekayaan mereka tidak akan habis untuk tujuh turunan, delapan tanjakan, sembilan pengkolan.
Buktinya, Mawar, kakaknya Edel, malah sangat direstui oleh sang mama untuk menikah dengan Ilyas, kembaran Yasa. Mungkin karena Ilyas mampu menjadi imam yang bisa membawa Mawar ke surga.
Ngomong-ngomong tentang imam, hari ini sahabat sekaligus tangan kanannya, Randu, berhasil menikahi gadis pujaan hatinya, Sonja, setelah melalui jalan terjal berliku. Terlihat senyum bahagia yang selalu tercetak di bibir Randu dan Sonja. Hari ini, semua tampak berbahagia di hari pernikahan Randu dan Sonja. Tidak hanya dua pengantin tapi juga kedua keluarga pengantin tampak bahagia. Termasuk dirinya, karena berhasil merayu Edel untuk datang ke acara kondangan bersamanya. Akhirnya dia bisa ke kondangan bersama gadis yang menjadi incarannya!
Tapi tidak semua orang tampak bahagia hari ini. Sepertinya Mya, sahabatnya dari kuliah, tidak terlihat bahagia. Wajah cantik tapi jutek itu, terlihat semakin jutek, entah kenapa. Apa mungkin karena dia patah hati ya? Dulu kan dia pernah suka sama Randu. Eeh tapi sepertinya, Mya tidak mungkin cemburu, itu tidak mungkin, karena yang membuat skenario ribet bin rumit agar Randu dan Sonja bisa kembali bersatu adalah Mya. Terus kenapa wajahnya jadi tambah jutek gitu sih? Apalagi kalau melihat ke arahku dan Edel, semakin galak dan jutek saja. Tapi biarin deh, silakan Mya dengan segala kerumitan hidupnya, aku dengan segala kebahagiaanku hari ini karena berhasil mengajak Edel ke pernikahan Randu.
Ya Tuhan, hari ini Edel tampak semakin anggun dan cantik saja. Padahal dia hanya memakai kebaya warna broken white dan rok lilit warna emas berprada, rambut sepundak yang dibiarkan tergerai begitu saja. Hmm, tampak sederhana namun sungguh, kesan berkelas tidak bisa hilang dari seorang Edelweiss Hartono.
Daniel semakin sering tersenyum sendiri, terutama saat membayangkan Edel akan menjadi pendamping hidupnya, berada di pelaminan bersamanya. Uuuh sungguh indah impian itu, hingga dering suara ponsel Edel membuyarkan lamunan indahnya. Perasannya mendadak tidak enak saat melihat wajah Edel yang berubah jadi panik, walau hanya sesaat.
“Dan…” Edel memberikan gesture pada Daniel untuk mendekat padanya, “maaf aku tidak bisa hadir di acara ini hingga selesai. Yasa masuk rumah sakit karena tertabrak sesama pengendara motor, dan namaku dia sebut terus. Aku pamit dulu ya, tolong sampaikan salam pada yang punya hajat.” Edel bergegas hendak pergi usai berkata itu.
“Yasa? Rumah sakit mana? Aku antar ya?” Tawar Daniel dengan harapan Edel akan menerima bantuannya.
“Tidak perlu, Tito sebentar lagi sampai sini. Rumahnya kan tidak begitu jauh dari Cinere, jadi bisa mampir untuk menjemputku. Lagipula, gak enak sama Mas Randu kalau kamu sebagai sahabat dan bos malah pergi di hari pernikahannya. Maaf ya Dan, aku tidak bisa menemani lagi. Aku khawatir Yasa kenapa-napa karena suara Tante Rania sangat panik tadi. Bye… Assalamualaikum.” Sosok tubuh tinggi langsing itu kemudian bergegas menghilang dari pandangan Daniel. Tampak tergesa, panik dan khawatir. Semua karena Yasa.
Andai aku yang terluka dan masuk rumah sakit karena kecelakaan, akankah kamu sepanik itu, Edel? Akankah kamu mengkhawatirkanku, seperti rasa khawatirmu pada Yasa?
Saat itu juga Daniel tahu, tidak ada celah baginya di antara Edel dan Yasa. Tapi Daniel tidak tahu, ada sepasang mata cantik yang memperhatikannya dengan prihatin. Sepasang mata yang selama ini Daniel abai akan kehadirannya. Sepasang mata yang selalu mengingatkannya untuk selalu berbuat baik dan lurus. Sepasang mata yang seringkali menemaninya saat sedang suntuk, walau hanya sekedar minum kopi atau memberikan candaan garing.
Sepasang mata yang sesungguhnya dekat dengannya tapi tidak terasa dekat karena sikap galak dan jutek yang selalu ditunjukkan pemilik mata itu padanya.