7. A-aku akan menganggapnya sebagai anakku sendiri!

1764 Words
POV Dewi Mimpiku sirna, harapanku pudar begitu saja. Segala kenanganku selama ini bersama Wildan seolah berputar cepat. Memperlihatkan segala hal yang ingin aku ingat dan semua yang ingin aku lupakan. "Hiks.. Wildan, kenapa?" Rasa penasaranku hanya berputar dengan arti diriku untuknya. Aku penasaran kenapa ia mengajakku menikah, kenapa yang ia raih adalah tangan Alia dan kenapa ia mengabaikan aku hingga saat ini. Aku sungguh tak berani berasumsi. Aku tak berani menduga apa pun. Satu hal yang aku bisa pastikan. Aku harus mendengarnya dengan jelas dari Wildan. Akan tetapi, apa yang aku pikirkan jelas di tentang oleh keluargaku. Terutama kakakku. Kiki Sulandari, kami berbeda hanya dua tahun dan ia menentang keras apapun yang berhubungan dengan Wildan. "Awas saja, kalau kamu mencoba untuk kembali dengan pria itu!" ancam Kiki padaku. Sekali lagi, aku hanya bisa memendam perasaanku. Menahan segalanya sampai keadaan kembali tenang. Terlebih saat ini, aku juga masih dalam kondisi pemulihan. "Apa kamu juga akan menentangku?" iseng aku bertanya pada Alen. Aku menyadari keluargaku yang kecewa pada Wildan. Tapi, aku masih berharap ada salah satu yang akan berpihak padaku. "Selama kamu bahagia, aku akan selalu ada di pihakmu!" Jawaban Alen yang sudah menjadi ciri khas dari Alen. Ia sedari dulu selalu bersikap lembut dan mendukungku. Ia selalu ada di sisiku, mendukungku dan mengikuti apapun yang aku inginkan darinya. Sosok yang tidak pernah aku ragukan berada di pihakku. Aku senang bukan main, bersyukur karena ada Alen di sisiku. Merasa jika aku tidak sendirian. Selalu ada Alen yang akan mendukungku. "Kamu sahabat terbaikku," pujiku untuk Alen yang kesekian kalinya. Alen hanya tersenyum teduh dan aku cukup bersyukur karena dia ada di sisiku seperti saat ini. Meski ia juga kerap menjadi bual-bualan Kiki karena membelaku, tentunya. Seperti kali ini, setelah aku berjuang mati-matian untuk rehabilitasi. Lagi-lagi aku dan Kiki berdebat. Perdebatan yang selalu sama, tentang ia yang menentang hubunganku dengan Wildan. "Aku muak berdebat denganmu, Dewi. Apa tidak ada pembahasan lain? Apa kamu memikirkan kehamilanmu? Apa kamu menjaga bayi di perutmu?" sentak Kiki yang khawatir padaku. "Banyak hal yang harusnya kamu pikirkan dulu. Bukan malah menanyakan pria itu berkali-kali." Kiki memijat keningnya. Ia terlihat pusing dan benar-benar lelah padaku. Aku sadar aku sedikit keterlaluan. Tapi, bagiku Wildan masihlah suamiku. Dia ayah dari anak yang ada di perutku. "Kak, aku sudah mulai pulih. Apa aku tidak bisa bertemu dengan Wildan. Sekali saja. Banyak hal yang ingin aku tanyakan padanya!" Aku terus memelas pada Kiki, semua seolah ada pada kehendaknya. Ia juga tak lagi mengizinkan aku memegang ponsel. Ia cemas jika aku mungkin akan menghubungi Wildan. Lelah, dengan perdebatan yang itu-itu saja. Aku juga ingin menyerah dengan keadaan ini. Tapi, hidupku terlalu hancur untuk menyerah begitu saja. Aku juga merasa kecewa pada diriku yang bertindak bodoh. Namun, aku ingin mendengar langsung apa penjelasan dari Wildan. "Sekali saja, aku ingin mengetahui kenyataannya langsung dari Wildan. Aku ingin mendengar dari mulutnya langsung jika ia memang mempermainkan aku. Jika, ia memang tidak mencintaiku dan aku ingin mendengar darinya jika yang ia pilih adalah Alia. Aku ingin mendengar itu langsung darinya!" Sungguh, aku butuh penjelasan. Aku tidak terima begitu saja diperlakukan seperti ini. Aku menginginkan kebenaran agar aku bisa menentukan apa yang harus aku lakukan. "Untuk apa?" Kiki tampak semakin menyalak padaku. Ia terlihat murka dan tak sanggup lagi menahan segala emosinya. "Untuk apa kamu mendengar segalanya lagi? Bukankah semua sudah jelas. Apa yang ada di berita itu juga sudah jelas. Apa lagi yang kamu butuhkan. Sejak awal saja dia tidak menikahimu secara resmi!" "Eh... " Kiki terlihat panik. Ia salah bicara. Ia menyinggung hal yang selama ini tidak pernah kami bahas. Membuatnya seolah tidak pernah terjadi dan kini ia tanpa sengaja mengungkit hal tersebut. Aku yang sedari awal sudah menahan air mataku. Kini kembali menetes. Suaraku nyaris tak bisa keluar, serak dan parau. Namun, aku masih ingin mengungkapkan isi hatiku. Aku ingin meluapkannya tak peduli kelak mereka akan marah padaku atau tidak. "Iya, aku tahu. Aku yang bodoh mau saja menikah dengan Wildan kala itu. Aku yang bodoh karena rela menikah tanpa mendaftarkannya secara resmi. Tapi, jika seperti ini. Bagaimana dengan hidupku? Bagaimana dengan anakku?" Isakan tangisku membuncah. Tak terhitung berapa kali aku menangis, tak terhitung berapa kali hatiku remuk dan kembali aku susun. Semua hanya karena kebodohanku. Tapi, sepertinya bukan hanya aku yang sudah mencapai batasnya. Semua juga merasakan kekesalan yang sama, sakit yang sama dan semua hanya karena kebodohanku yang percaya begitu saja pada Wildan. "Lalu, sejak awal kenapa kamu malah menikah dengannya? Sekarang lihat sendiri apa yang terjadi? Jangankan untuk mempertahankannya di sisimu. Kamu bahkan sulit untuk bercerai darinya!" Kiki mulai merendahkan suaranya. "Tidak, siapa juga yang akan bercerai darinya. Aku hanya tidak ingin menyerah dengan mudah. Aku ingin mendengar penjelasan dari Wildan. Aku ingin tahu yang sebenarnya terjadi," sanggahku yang masih keras kepala. Tentu, Kiki semakin emosi. Ia kembali membentakku. Menyalahkan kebodohanku dan mengingatkan aku segala yang telah Wildan lakukan. "Mau sampai kapan kita berdebat seperti ini? Ini tidak akan ada habisnya. Aku mohon, menyerahlah. Hentikan saja hubungan kalian. Lupakan dia, Dewi!" "Mana bisa aku melupakannya begitu saja! Aku tak ingin anakku tumbuh tanpa sosok ayah!" cecarku meski aku tahu itu juga termasuk hal yang mustahil. "Kan ada aku!" Seketika Alen mengeluarkan suaranya. Membuat semua menatapnya tajam. Ucapannya yang tidak bisa aku mengerti juga membuatku memikirkan ulang apa yang baru saja aku dengar. "Eh, ah.. hm... itu.. Maksudku. Kan ada kita. Kita bisa membesarkannya dengan baik." Alen terlihat gugup. Tatapan matanya bergetar, ia panik dan salah tingkah. "I-itu jika memang dia butuh keluarga bukankah kita saja sudah cukup," ucapnya lagi gugup dengan tatapan kami yang masih mengarah padanya. "A-aku juga mau membesarkannya kalau kamu mengizinkan aku juga merawatnya. Dia tidak akan kekurangan apapun!" "Pokoknya begitu!" Alen langsung lari, ia pergi begitu saja. Meninggalkan kami yang saat itu terdiam mematung. Aku menatap pintu yang baru saja ia tutup, bingung dan terdiam begitu saja. Mencoba mencerna apa yang baru saja ia ucapkan padaku. Begitu pula dengan Kiki, ia menghela napasnya dan sekali lagi ia memperingatkan aku. "Aku hanya tak ingin kamu terluka untuk yang kesekian kalinya. Kami saja sudah cukup untuk membesarkannya. Meski tanpa sosok ayah. Kami rasa kami sanggup memberikan kasih sayang yang besar untuknya." Aku terdiam mendengar nasihat Kiki padaku. Aku tahu segala bentakkannya selama ini adalah untuk kebaikanku. Namun, tiba-tiba saja, pintu yang tadinya sudah tertutup itu tiba-tiba terbuka kembali dengan kepala Alen yang menyembul di balik pintu tersebut. "Dewi, aku serius. Dia bahkan boleh terdaftar di keluargaku jika memang diperlukan. A-aku akan menganggapnya sebagai anakku sendiri!" Alen yang berteriak itu kemudian kembali terlihat gugup dan panik. "Eh, maksudnya karena dia anakmu, aku juga akan menganggapnya sebagai anakku!" teriak Alen dengan kedua tangannya yang ia genggam erat. Menggemaskan, seperti anak kecil yang tengah meminta pergi berlibur. "Hmmm.. bahkan Alen rela melakukan hal itu untukmu. Kenapa kamu malah memikirkan pria yang bahkan tak mencarimu, pria yang mungkin tidak tahu akan keberadaan bayi di perutmu," ungkap Kiki setengah berbisik padaku. "Haruskah aku merelakan Wildan, haruskah aku membesarkannya tanpa mengenalkan sosok ayah kandungnya? Bagaimana jika Wildan ternyata tidak mencampakkan aku?" Aku tidak bisa berbohong dengan apa yang aku rasakan. Aku sungguh mencintai Wildan, aku menyangkal sekuat tenaga apa yang ia lakukan. Aku tak ingin mengakui kebodohanku yang meyakini jika ia mencintaiku. Jika yang Wildan inginkan tetaplah aku. Pikiran tersebut terus berulang, kerinduan dan juga kecemasan yang sama selalu berputar. Perdebatan yang sama juga selalu muncul. Hingga waktu ternyata berputar lebih cepat dari apa yang aku duga. "Aku kira aku tidak akan bisa hidup tanpa Wildan. Tapi, sekarang ternyata kehamilanku sudah masuk 5 bulan!" Walau hari yang dilalui selalu sama. Ternyata kehamilanku bisa membuat aku bertahan, melebihi apa yang aku bayangkan. Selama ini, aku merindukan sosok Wildan, aku penasaran dengan banyak hal, aku menyimpan banyak pertanyaan tentangnya. Tapi, jika aku mengingat ada bayi dalam perutku. Aku juga menantikan kehadirannya. Aku sedikit berharap untuk bisa memeluknya, mendambakan kehadirannya dan semoga dia selalu ada di sisiku sampai sisa umurku. Harapan yang aku pupuk setiap kali aku menanti kehadiran bayiku. Sebab, kali ini yang aku punya hanyalah dia. Sejak kecelakaan itu, aku kehilangan hidupku. Aku tidak mungkin kembali ke perusahaan dimana kami dulu bekerja bersama, aku juga tak mungkin kembali padanya di rumah sederhana kami, sebab kini ia telah secara resmi sebagai tunangan orang lain dan aku hanyalah sosok yang tak di kenal siapapun. Tanpa status yang kuat meski kami sudah menikah. "Jangan melamun, tidak baik untuk ibu hamil!" Alen membawakan segelas jus padaku. Ia tersenyum lembut dan mengusap perutku. "Balonnya sudah besar!" ucapnya lagi yang membuat kerutan di keningku bertambah. "Tuh.. Tuuh..." Alen meletakkan jari telunjuknya tepat di keningku yang berkerut. Sambil meledekku, "Jelek banget, sumpah. Itu jidat yang lebar jadi penuh lika-liku!" Aku hanya cemberut kesal. Akan kebiasaan baru Alen belakangan ini. Aku sampai lupa seperti apa sosoknya dulu. Tapi, sekarang Alen cukup menyebalkan. Walau terkadang ia bersikap manis dan menggemaskan. Kali ini, Alen beralih ke pipiku. Ia menekannya sesuka hati dan sesekali mencubitnya ringan. "Besok kamu USG, kan? Biar aku antar," ucap Alen seraya mencubit pipiku. Aku hanya bisa pasrah dengan tingkah bocah satu itu. Aku pun mengangguk, menyetujui tawarannya untuk mengantarkan aku ke dokter kandungan. "Hmm.. balon pasti sehat. Dia akan menjadi anak yang mirip denganku!" Ctaaaaak... Aku memukul pundak Alen. Kesal bukan main, "Bagaimana bisa anakku malah mirip denganmu?" Alen hanya terkekeh geli dan sambil membawa pergi gelas jus tadi. "Kenapa juga dia panggil anakku sesuka hatinya. Kamu dipanggil balon!" Aku berbicara pada perutku yang sudah terasa lebih membesar. Mengusapnya dan tersenyum dengan lembut. Jujur, aku tahu semua itu adalah usaha keras Alen untuk menghiburku. Aku bersyukur karena Alen selalu ada untukku. Ia menemaniku tanpa mengeluh. "Ah, andaikan Wildan punya sedikit saja sikap seperti Alen!" "Eh ..." Aku tersentak, aku menyesal. Aku tak boleh membandingkan Alen dengan Wildan. Mereka adalah dua orang yang berbeda. Mereka tak bisa di bandingkan. Sebab, setiap orang itu istimewa dan aku yakin tidak akan ada yang tidak marah jika dibandingkan dengan orang lain. "Apa yang aku lakukan. Aku tidak boleh begini! Sekarang aku harus fokus pada bayiku. Melahirkannya dan kemudian mencari Wildan." Bukan karena aku masih tidak menyerah pada Wildan. Tapi, untuk menyerah pun aku membutuhkan alasan. Membutuhkan penjelasan yang benar. Jika semua sudah berakhir. Aku ingin berakhir dengan baik. Melepaskannya dengan berani. Akan tetapi, semua hanyalah anganku. Faktanya begitu aku melihat berita tentangnya lagi. Hatiku kembali bergetar, rasa rinduku kembali meluap. Keinginanku untuk mendekapnya selalu kembali muncul. "Ah, aku ternyata masih mencintai Wildan!" "Hiks.. Aku merindukanmu, Wildan. Lihat ini, anak kita. Di perutku ada anak kita!" Lagi, di kamarku yang hening, di malam yang sudah menjelang pagi. Aku kembali menangis. Menahan mulutku agar tidak bersuara, agar mereka tak tahu jika aku masih memikirkan Wildan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD