POV Dewi
Semua terlihat heboh saat aku kembali sadar dari kegelapan yang menelanku, Alen tak sekalipun melepas genggaman tangannya. Meski dokter dan para suster sedikit heboh saat itu, dan ada hal yang paling membuatku terkejut lagi saat dokter tersebut membahas sebuah kehamilan.
"Hmm.. seperti dugaan. Ini adalah keajaiban!"
"Kalian tenang saja, ini bukan sekali atau dua kali kami menyaksikan ibu hamil yang selamat dari maut."
"Semua berkat malaikat kecil yang melindungi sang ibu!" ungkap sang dokter lagi dengan wajah cerianya sambil menepuk punggung tanganku.
Aku bingung setengah mati, tak tahu apa yang sedang mereka bahas. Meski sebelumnya apa yang mereka bahas terasa samar, tapi aku bisa mendengar dengan jelas jika sang dokter membahas sebuah kehamilan.
Aku sendiri tak tahu jika aku hamil, seperti apa yang dokter katakan. Kehamilan itu terkadang menimbulkan misteri tersendiri, membawa keajaiban yang terkadang tak mampu dijabarkan. Dokter mengatakan kondisiku sangat parah, namun janin di dalam perutku semua baik-baik saja. Keajaiban dan berkah tuhan menyertai aku. Begitulah yang mereka tekankan dan itu kerap menjadi hal biasa bagi dokter tersebut.
"Selain melihat kematian dan mala petaka, aku juga melihat yang namanya keajaiban dan mukjizat. Semua itu nyata dan ada. Jadi jangan sia-siakan kehidupan kedua yang telah diberikan untukmu!" begitulah pesan dari sang dokter padaku yang masih kebingungan.
"A-apa maksudnya?"
Tak ada satu pun yang menjawab pertanyaanku, semuanya memintaku untuk kembali istirahat. Tentu aku tidak bisa menerima semuanya begitu saja.
"Istirahat? Aku bahkan tidak tahu berapa lama aku sudah terbaring, aku bahkan tak tahu apa yang sudah terjadi padaku dan kalian dengan mudah memintaku kembali tidur?"
Aku cukup marah saat itu, banyak pertanyaan yang ingin aku ungkapkan. Masih banyak hal yang ingin aku dengar sebagai penjelasan. Namun, mereka bertidak seolah menutupi segalanya dariku.
Jelas jika aku mulai berontak, tapi tak satu pun dari merek yang membuka suara dan mau mengatakan yang sebenarnya.
"Lalu, dimana Wildan? Dimana suamiku?"
Jujur aku mencari sosok Wildan, aku juga mencemaskan Wildan. Wildan juga mengalami kecelakaan bersamaku. Aku ingin memastikan keadaan suamiku itu. Meski ibu dan kakakku juga ada di sini bersama Alen. Tapi, aku tak sedikitpun melihat bayangan dari Wildan dan ketiadaannya semakin membuat aku gusar.
"Apa-apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku lagi, namun tak ada yang menjawabku dan semuanya terlihat masam termasuk Alen.
"Alen, jangan bilang kamu juga tidak akan mengatakan apa pun?" aku menatap Alen penuh harapan. Satu-satunya orang yang aku kira akan berada di pihakku.
Alen menatap ibu dan juga kakakku, mengisyaratkan jika ia ingin mengatakan yang sebenarnya padaku. Namun, jelas ibu dan kakakku menggelengkan kepalanya. Itu membuatku semakin geram dan dengan sekuat tenaga aku berusaha bangkit dari tempat tidur.
Tubuhku terasa berat dan lemas, kepalaku sakit dan berdenyut, begitu pula dengan perutku yang terasa mual. Namun, itu bukan yang terpenting bagiku. Aku ingin mengetahui apa yang sebenarnya yang sudah terjadi.
"Aku janji, aku janji akan mengatakannya. Tapi, sekarang istirahat saja. Kamu baru sadar setelah 2 bulan."
Seperti dugaanku, pada akhirnya Alen lah yang selalu mengalah dan menyerah padaku. Ia memelukku dengan erat sambil berjanji akan mengatakannya pelan-pelan padaku. Selama aku menurut untuk menjalani pemulihanku.
"Iya, aku janji akan melakukan yang terbaik untuk kesehatanku. Jadi aku mohon tolong jelaskan semuanya!"
Semua orang memasang wajah tidak enak saat itu yang membuatku juga semakin tidak enak hati. Jujur, aku sendiri tidak siap untuk menerima kenyataan yang mungkin terjadi.
Aku sendiri hanya yakin jika seberat apapun sebuah kenyataan jauh lebih baik dari pada tidak mengetahui apa-apa. Hingga aku pun menguatkan diriku untuk mendengar apa yang akan Alen katakan padaku.
"Di antara kalian bertiga, kondisimu adalah yang terparah. Kamu mengalami koma sejak kecelakaan tersebut."
Alen terdiam sejenak, ia memandang lekat ke arahku yang saat ini juga sudah gemetar kecil. Meski aku sedikit lega, jika memang kondisiku yang terparah artinya Wildan dan Alia juga selamat.
Tangan Alen kini kembali meraih tanganku yang sedikit gemetar, ia menggenggamnya erat seolah menguatkan aku untuk menghadapi kenyataan. Alen pun menjelaskan dengan sangat jelas apa yang terjadi padaku. Sementara ibu dan kakak sudah tertunduk penuh kesedihan dan air mata, saat harus mengungkit kecelakaan itu lagi.
Setelah penjelasan panjang Alen, aku bisa mengambil kesimpulan jika Wildan selama ini tak pernah ada di sisiku. Kondisiku yang buruk membuat keluargaku menerima bantuan dari Alen untuk yang kesekian kalinya.
Ayahku adalah supir keluarga Alen, sehingga sejak kecil Alen yang kerap di antar kemana pun oleh ayahku sudah pasti membuat kami sangat dekat. Ibuku yang juga bekerja sebagai pengasuhnya membuat kami yang seumuran ini tumbuh bersama. Bahkan sejak ayah meninggal, keluarga Alen masih terus membantu kami.
Seperti saat ini, kami lagi-lagi berhutang budi padanya atas perawatanku. Jujur, aku malu berkali-kali berhutang budi pada keluarga mereka. Terlepas jika bantuan itu, bagi mereka bukanlah hal yang seberapa mengingat latar belakang Alen yang juga tidak sembarangan. Tapi, tetap saja sebuah bantuan adalah sesuatu yang sangat berharga.
"Alen, terima kasih karena kamu terus membantu kami. Aku sungguh sudah tak tahu lagi harus berterima kasih dengan cara apa padamu!"
Aku dengan tulus mengatakannya. Aku pun berjanji pada Alen, jika ada hal yang bisa aku lakukan untuk membalas segala hutang budi kami. Aku rela melakukan apapun untuk itu dan Alen hanya tersenyum dengan tulus yang membuatku tak mengerti bagaimana ada malaikat sebaik Alen di dunia ini.
"Lalu, dimana Wildan. Jika aku yang terparah, bukankah artinya Wildan baik-baik saja!"
Pertanyaanku tak jauh dari hal tersebut, meski kami sudah berbincang panjang lebar, tetap saja itu tidak akan membuatku tenang sebelum aku mengetahui kabar dari Wildan suamiku yang kini juga adalah ayah dari anak yang ada di dalam kandunganku.
Semua orang seketika terdiam, sama seperti sebelumnya tak ada yang berani membuka suara tentang Wildan. Tak ada yang mengatakan apapun tentang Wildan.
"Alen, tolong katakan apa yang terjadi pada Wildan?" aku memohon pada Alen.
"Untuk apa kamu bahas pria sialan itu?" ketus ibuku yang tak tahan melihat aku mendesak Alen.
"A-apa maksudnya?"
Aku tercengang dengan apa yang ibu katakan tentang Wildan. Ibu adalah sosok yang penuh kasih sayang. Rasanya tak mungkin ibu sampai mengeluarkan kata sangat kasar untuk Wildan, menantunya sendiri.
"Jika saja kami tahu jika dia sudah memiliki tunangan. Kami tidak akan menikahkan kamu!" ketus ibu lagi yang membuatku mulai mengerti arah pembicaraan ini.
Ibu dan kakak yang tinggal di kampung tentu tidak tahu menahu tentang Wildan. Saat pernikahan kami berlangsung, kakak dan ibu juga tidak curiga sama sekali. Ibu dan kakak memang menolak pernikahan yang meriah, mereka tak ingin membebani Wildan dengan pernikahan yang mereka juga sulit untuk membiayai. Apa lagi, tak ada yang mengenali sosok Wildan di desa itu. Sehingga pernikahan yang sederhana di perkampungan itu pun berlangsung dengan sangat tenang.
"Aku, benar-benar sudah salah melepaskanmu untuk pria seperti itu!" ungkap ibu lagi dengan nada penuh penyesalan.
Wildan yang menjadi sahabatku sejak bangku SMP membuat ibuku mempercayai Wildan dan membiarkan kami menikah. Ibu juga mengatakan jika memang Wildan akan membuatku bahagia. Ibu tidak masalah dengan pernikahan itu. Jadi, aku mengerti seperti apa rasa kecewa ibu pada Wildan.
Sosok yang mungkin ibu kira tidak akan mengkhianatinya, sosok yang mungkin akan menjagaku lebih dari apapun, dan sosok yang pasti akan membuatku bahagia. Aku mengerti betapa kecewanya ibu saat ia mengetahui suami putrinya adalah tunangan orang lain. Saat mengetahui jika pernikahan anaknya bahkan tidak di daftarkan secara resmi.
"Tapi, Bu! Wildan tetaplah suamiku. Dia tetaplah ayah dari anak ini!" ungkapku seraya mengusap perutku dan berharap jika ibu akan sedikit memaafkan Wildan dan mengerti apa yang menjadi kondisi kami.
Akan tetapi, raut wajah ibu dan yang lain terlihat semakin suram. Semuanya saling memandang dan akhirnya kakakku menunjukkan sebuah artikel dari ponselnya padaku.
Artikel yang menuliskan kejadian kecelakaan tersebut. Menuliskan jika Wildan menyelamatkan tunangannya dengan dramatis dan merawat tunangannya hingga ia pulih. Wildan juga mengurus perusahaan tunangannya selama masa pemulihan Alia. Serta artikel yang paling mengejutkan yang aku baca, yaitu saat Wildan dan Alia mengumumkan tanggal pernikahan mereka.
Bagaikan sebuah drama romantis dimana kisah mereka di sorot dan menjadi viral. Saat sang pria melindungi wanitanya dengan gagah. Saat kecelakaan maut yang justru membawa mereka sehidup semati. Menautkan benang takdir untuk saling mengikat. Sebuah artikel yang benar-benar menyesakkan hatiku.
"Ja-jadi selama 2 bulan ini, Wildan tak sekali pun mencari aku?" tanyaku yang disambut anggukan pelan dari semua orang. Menyadarkan aku, jika aku benar-benar tidak berarti bagi Wildan.
Mungkin ini sudah berlangsung 2 bulan bagi semua orang, tapi bagiku kejadian itu masih terasa bagaikan kemarin. Aku yang baru sadar dari koma masih ingat dengan jelas saat-saat kecelakaan itu terjadi. Saat Wildan meraih tangan Alia dan melindunginya. Saat aku menyadari jika ternyata sampai akhir aku tak mendengar ucapan cinta sekalipun dari Wildan.
"Ya, saat itu saja dia tidak mencoba menyelamatkan aku. Sejak aku dan Alia bertengkar saja, Wildan terus menatap Alia, dan saat kecelakaan itu terjadi. Wildan melindungi Alia dengan tubuhnya, memeluk Alia dengan erat."
Tangisku pecah mengisi seluruh ruangan tersebut. Begitu pula dengan tangis dari ibu dan kakakku. Semua memelukku, menguatkan aku dari luka terbesar yang aku alami dari kecelakaan itu. Luka hati yang mungkin tidak akan pulih layaknya luka fisikku.