bc

Miliki Aku

book_age18+
4.7K
FOLLOW
31.8K
READ
possessive
friends to lovers
playboy
dominant
mistress
cheating
first love
polygamy
selfish
substitute
like
intro-logo
Blurb

"Jika aku tidak bisa memilikimu, maka miliki aku." (Dewi Vietha Milasari)

"Aku tak bisa melepaskannya, tapi aku ingin memilikimu!" (Wildan Finn Alaric)

____

"Ayo kita menikah!"

Dewi mendengar ajakan pernikahan itu dari Wildan. Pria yang diam-diam ia cintai selama 13 tahun. Tapi, jangankan untuk menjawab ajakan tersebut. Menatapnya pun Dewi tidak sanggup lagi.

Bagaimana tidak, Wildan mengajak Dewi menikah dengan tubuhnya yang terselimuti aroma wanita lain dengan tubuh yang penuh dengan tanda merah kecupan dari wanita lain.

Bermula dari sahabat, Dewi Vietha Milasari jatuh cinta pada Wildan Finn Alaric dan memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya. Namun, saat hubungan mereka semakin erat tiba-tiba Wildan berselingkuh, malah lebih tepatnya Dewi yang menjadi selingkuhannya.

Benarkah Wildan berselingkuh?

Mampukah Dewi mempertahankan hubungannya dengan Wildan?

chap-preview
Free preview
1. Kamu tidur dengan wanita itu?
POV Dewi "Kamu tidur dengan wanita itu?" "Kenapa tubuhmu memiliki aroma yang sama dengan wanita itu?" "Kenapa? Kenapa, aromanya sama dengan wanita itu?" Aku menarik kasar baju Wildan dengan air mata yang sudah memenuhi pipiku. Pandangan mataku terasa kabur, penuh dengan air mata yang menggenang. Begitu pula dengan rasa sesak yang aku rasakan. Hatiku terasa remuk dengan debaran yang kencang nyaris memekakkan telingaku. Perasaan asing yang sangat menyakitkan, perasaan tidak nyaman yang terus menjeratku dalam hingga aku tidak bisa lepas dari jeratan itu. Mengikat seluruh tubuhku hingga aku tak mampu lagi bergerak. Sesak dan memuakkan. Tangisanku semakin pecah saat Wildan sama sekali tidak menjelaskan apapun tentang aroma yang melekat pada tubuhnya itu. Wildan hanya menunduk dengan dalam dan membiarkan aku terus menarik kasar bajunya dan menghentak tubuh Wildan dengan segenap luapan emosiku. "Jawab, dong. Kenapa kamu diam aja?" Aku menarik baju Wildan dengan seluruh tenagaku hingga kancing baju itu terlepas dan memerlihatkan tubuh Wildan yang memiliki beberapa tanda merah. Tanda yang tidak asing, sebuah tanda yang mungkin juga di buat oleh wanita itu pada tubuh Wildan. "Hah, apa lagi ini!" pekikku yang tidak menyangka melihat hal tersebut terdapat di tubuhnya. Kepalaku terasa berat, napasku tercekat begitu saja, terasa sangat sesak. "Wildan, jelaskan apa maksudnya semua ini? Kamu, tidur dengan wanita itu?" Lagi, Wildan hanya diam tanpa dalih apapun. Membuatku semakin geram dengan keheningan darinya. Aku butuh penjelasan. Sebuah penjelasan yang membuat hatiku lebih tenang. Membuatku yakin jika apa yang sedang aku pikirkan adalah hal yang salah. Meyakinkan aku jika Wildan tidak akan melakukan hal yang seperti itu. Aku merapatkan gigiku, menahan seluruh amarah yang menyelimuti tubuhku. Kakiku terasa lemas, tapi aku harus bisa bertahan. Membuatku tidak punya pilihan lain selain mengubur seluruh perasaanku dan menyeka kasar air mata yang sudah menutupi pandanganku. "Aku pergi! Aku mual mencium aroma wanita itu darimu!" Segenap energi aku kerahkan untuk pergi dari tempat itu. Kepergian yang terasa seperti aku yang tidak akan pernah ada lagi di sisinya kelak. Tapi, aku sudah tidak tahan lagi menghirup aroma wanita lain dari tubuh pria yang aku cintai. Aku benar-benar mual dengan aroma menyengat itu. Aroma yang kini melekat di seluruh tubuh Wildan. Aku masih ingat dengan jelas aroma menyengat itu. Aroma yang sama dengan wanita yang sempat aku lihat pergi bersama dengan Wildan waktu itu. Wanita yang menyapanya dengan senyuman lebarnya. "...." Tanpa kata perpisahan. Kini aku meninggalkan Wildan begitu saja. Wildan yang hanya terdiam di tempat, tanpa kata, tanpa dalih, dan tanpa ucapan maaf. "Hiks... Dia bahkan nggak minta maaf." Langkah kakiku semakin terasa berat. Aku membiarkannya melangkah kemanapun. Selama itu bisa membawaku jauh dari tempat itu. Tapi, hidungku masih mampu mencium aroma menyengat itu meski aku sudah tak lagi di sisi Wildan. Aroma itu tertanam begitu saja. Memuakkan dan semakin membuatku sesak. "Sekarang, aku harus bagaimana? Kenapa semuanya malah jadi begini, sih?" Aku mulai mencoba mereka dari mana letak kesalahan awal hubunganku dengan Wildan yang menjadi kacau seperti ini. Aku yakin jika sebelumnya kami baik-baik saja. Hubungan ini semula tidak seperti ini. "Hmm.. semua salah sejak awal. Sejak awal, harusnya aku diam saja. Mungkin saat ini aku hanya akan menangis dalam diam seperti biasanya!" Isak tangisku semakin menjadi-jadi. Satu hal yang paling aku sesali adalah pengakuan yang sempat aku utarakan pada Wildan. Perasaan yang sudah aku pendam sejak 13 tahun yang lalu. Masih teringat dengan jelas di ingatanku tentang bagaimana kisah manis kita dahulu. Saat aku masih menyimpan rapat debaran hatiku. Menyembunyikan dengan rapat perasaan cintaku yang terus tertuju padanya. Tibalah saat dimana kakiku tidak sanggup lagi melangkah. Tubuhku terasa sangat lemas dan rasa kecewa yang terus menyelimuti hatiku. "Tuhan, kenapa kau biarkan rasa ini ada jika memang kau tidak bisa membuatnya ada di sisiku. Untuk apa semua perasaan ini jika akhirnya harus aku buang. Kenapa? Kenapa harus aku?" Doaku seakan hanya sebuah angan. Faktanya seperti apapun aku berusaha membuangnya. Perasaan ini masih terus ada. Aku sama sekali tidak bisa membuangnya. Sekeras apapun usahaku untuk melupakannya, hatiku selalu kembali untuknya. "Ah, benar. Selama ini saja dia nggak pernah bilang kalau dia mencintaiku." Saat aku menyadari sebesar apa anganku. Saat itu pula aku mengingat dengan jelas jika selama ini sekalipun aku tidak pernah mendengar Wildan mengatakan jika ia mencintaiku. Seketika hatiku terasa begitu sesak. Napasku semakin tercekat dan tenggorokanku terasa sangat kering. Aku kehilangan kekuatan untuk bertahan. Pandangan mataku juga mulai buram dan kepalaku terasa sangat berat. "Dewiiiii!!!" Tiba-tiba aku mendengar suara yang tidak asing. Suara yang langsung bisa aku kenali. Wildan memanggilku dengan lantang. Ia terlihat berlari mendekat dengan napasnya yang jelas terengah-engah. "Apa lagi?" tanyaku tak lagi bertenaga. Aku menduga jika dia mungkin dia akan menjelaskan segalanya, mungkin dia akan meminta maaf, atau mungkin dia akan mengatakan seluruh isi hatinya. Aku menunggu hal itu. Meski aku terkesan mengusirnya dan tak ingin mendengarkan apapun darinya. Tapi, aku berharap ia mengungkapkan sesuatu yang bisa membuat hatiku tenang. Menghilangkan rasa yang semakin menyeretku tenggelam dalam sesaknya sebuah perasaan cinta tak terbalas. Wildan mengatur napasnya, ia menatapku dengan tatapan sendu. Mulai memegang bahuku dan berkata. "Aku nggak mau kehilangan kamu!" Begitu mendengar apa yang Wildan katakan. Aku hanya bisa kembali menggigit ujung bibirku, menarik dalam napasku yang terasa semakin sesak. Lagi, Wildan hanya mengatakan hal ambigu itu padaku. Ia tidak mengatakan isi hatinya dengan jelas. Hal yang sama dengan apa yang selama ini selalu Wildan katakan. Wildan selalu bertindak seolah ia tak ingin jauh dariku. Ia selalu bersikap baik yang membuatku merasa jika ia memiliki perasaan yang sama denganku. Meski dia menerimaku sebagai kekasihnya. Tapi, dia tidak pernah mengatakan jika ia mencintaiku atau dia yang menginginkan aku sepenuh hatinya. "Aku benar-benar nggak mau kita berpisah seperti ini!" ucap Wildan lagi padaku. Kenangan setiap aku mengatakan jika aku mencintai Wildan tiba-tiba mengalir dalam ingatanku. Memperjelas jika sekalipun Wildan tidak pernah mengatakan cintanya. Wildan hanya tersenyum dengan tenang dan mencium bibirku dengan lembut. "Apa kamu mencintaiku?" Hal itu yang membuatku terpacu untuk menanyakannya. Aku terpacu untuk membuatnya mengungkapkan isi hatinya yang selalu menjadi misteri bagiku. Aku ingin membuatnya marah, membuatnya meluapkan seluruhnya. Mengatakan dengan jelas jika ia mencintaiku atau tidak. Tapi, sampai akhir Wildan hanya mengatakan jika ia tidak ingin kehilangan aku di sisinya. Aku murka, marah dengan sikapnya itu. Aku benci dengan bungkam yang ia jaga itu. "Jadi kamu, cinta aku atau nggak?" tanyaku sekali lagi. Wildan terlihat ragu. Tapi, aku tak ingin mendengar jawaban yang tidak pasti lagi. Aku pun semakin geram dan menepis tangannya. "Udah, cukup! aku menyerah! Aku nggak bisa bersama orang yang tidak mencintai aku!!" Aku mengatakannya dengan lantang. Aku sendiri heran dari mana asal energiku untuk berteriak sekeras itu padanya. Mungkin karena aku sudah tak sanggup lagi menahannya atau karena aku yang sudah lelah mencintai tanpa dicintai. Akan tetapi, apa yang aku lihat justru membuatku semakin tercengang. Wildan menitikkan air matanya. Air mata yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Membuatku bertanya arti dari air mata itu penuh dengan rasa penasaran. "Ayo kita menikah!" Aku mendengar samar Wildan mengatakan hal itu padaku. Ajakan yang lebih terdengar bagaikan sebuah mimpi. "Dewi, ayo kita menikah!" Kali ini aku mendengarnya dengan jelas. Tapi, bagaimana aku bisa menjawab ajakan tersebut. Wildan mengajakku menikah dengan tubuhnya yang penuh dengan kecupan merah dari wanita lain yang memenuhi tubuhnya, dengan tubuh yang terus mengeluarkan aroma dari wanita itu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
19.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
203.3K
bc

My Secret Little Wife

read
115.9K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.8K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook