RINTIK HUJAN YANG DINGIN

1024 Words
Malam itu juga pak Danu datang, ia memarkirkan mobilnya dengan kasar di depan rumah mewahnya, memasuki rumah, melihat bibik dan istrinya Bu Mayang menangis. Bu Mayang menghambur ke pelukan suaminya. "Ada apa ini?" "Bagaimana bisa ?" Bu Mayang hanya menggelengkan kepala resah. Bu Mayang sama sekali tidak tahu bagaimana cara mendiskripsikan keadaan anaknya. Pak Danu melangkah menuju kamar Angelin, melihar pembantu sedang membersihkan kamar itu. Cermin pecah, kertas foto berserakan. Piring berisi makanan yang tercecer, baju-baju Angelin sama halnya berserakan juga. Pak Danu beristighfar berulang-ulang. Ia tidak menyangka kejadiannya demikian parah. Tiga malam Angelin tidak keluar kamar disangkanya Angelin baik-baik saja namun ternyata kejadiannya sedemikian drastis. "Kita ke rumah sakit Mah," Bu Mayang menjjajari langkah Pak Danu dengan sigap. Mereka terdiam sepanjang perjalanan hingga sampai di salah satu rumah sakit swasta di kota Malang. Mereka berjalan berdampingan. Menghubungi Siska menanyakan dimana Angelin dirawat. Siska menjawab, "Ruang Tulip, tante " Mereka berdua melewati lorong panjang, melewati pohon adenium yang berwarna warni. Mereka tidak pernah membayangkan kejadian ini menimpa putrinya. Mereka mempercepat langkahnya. Hingga melihat Siska menunggu di ujung lorong. "Tante Mayang, " suara Siska memanggil. Mayang menghambur ke pelukan tante Mayang. Enam belas tahun berteman dengan Angelin, Siska sudah menganggap Tante Mayang dan Om Danu seperti orang tuanya sendiri. Siska hanya bisa menangis dalam pelukan hangat tante Mayang. Pak Danu mendekati kaca besar ruang Tulip, ia melihat sebuah selang infus melekat di tangan kiri putrinya.Angelin yang selalu dijaganya dengan baik. Angelin yang tidak pernah ia biarkan terjatuh apalagi tubuhnya terluka dari lahir hingga dua puluh sembilan tahun usianya, hari ini justru tergolek tak berdaya di ruang perawatan rumah sakit. Kakinya diikat dengan kain kemudian di ikat ke ujung ranjang. Pak Danu menarik nafas panjang. Pak Danu memasuki ruang Tulip. Melihat Angelin yang terpejam, duduk di samping ranjang anaknya sambil menghela nafas dan berdoa dalam hati. "Tuhan, aku telah menjalankan perintahMu dan menjauhi laranganMu, aku telah beramal, aku telah sholat dan puasa, aku juga telah bersedekah. Bukankah Engkau berjanji akan memberikan kebaikan pada kami. Tapi kenapa kejadian ini menimpaku. " lirih sekali pak Danu berujar dalam hatinya. "Tuhan, mohon selamatkan anakku lahir dan batinnya. Mohon bila aku berbuat dosa hukum aku saja jangan anakku." "Hmmmm" angelin mendesah dalam tidurnya, pak Danu terkejut. Angelin membuka matanya kemudian melihat pak Danu yang duduk di sampingnya. "Papah," suara Angelin parau. Pak Danu mencium kening Angelin dengan penuh rasa sayang. Ayah adalah cinta pertama bagi putrinya. Begitu orang sering berujar dan dalam kehidupan Angelin hal itu sangat benar. Angelin hanya mencintai satu lelaki selama ini yaitu papahnya. Angelin selalu mengagungkan papahnya sebagai lelaki terbaik. Lelaki yang tidak pernah ingin mengkhianati mamahnya appun yang mamahnya buat. Lelaki yang selalu bertanggung jawab pada keluarga. Papah bagi Angelin seperti dewa. Hingga ia mengenal Bayu, Bayu yang menyakitinya, Bayu yang membuat ia tergeletak seperti hari ini. Harusnya Angelin tidak mudah percaya, harusnya Angelin hanya mengingat papahnya. Tapi semua sudah terlanjur. Angelin justru hanyut pada Bayu dan bujuk rayunya, hingga membuat papahnya kecewa. Cinta yang tumpang tindah selalu menghasilkan keadaan yang tidak baik. Hal ini sedang terjadi pada Angelin. Usai merasai kecupan itu Angelin berteriak lagi, Angelin menangis lagi. Angelin marah lagi. Papah demikian kecewa, ketika dua perawat datang dan menyuntikkan obat penenang pada Angelin. Angelin tidur lagi, Angelin terdiam lagi. Papah, mamah juga Siska duduk di luar kamar. Mereka berbincang. "Apa yang terjadi dengan Angelin, Siska?" "Tolong beri tahu om, " "Iya nak, kami tidak tahu apa-apa," Bu Mayang menghiba pada Siska. Siska perlahan-lahan mulai bercerita tentang pertama kali Angelin mengenal Bayu hingga kejadian malam itu di pantai. Ke dua orang tua itu mendengarkan dengan seksama. Bijak sekali pak Danu mendengarkan perihal anaknya. "Dimana rumah Bayu ?" "Siska tidak tahu tepatnya dimana om, " "Papah mau apa tanya Bu Mayang," "Papah mau membunuh Bayu, " Suara marah pak Danu mengejutkan semuanya. "Papah, istighfar pah." "Apa sebaiknya kita menghubungi Satria pah?" Satria, mendadak pak danu mengingat nama itu, anak laki-laki yang lama sekali tidak ia jenguk. Yatim yang juga merupakan darah dagingnya justru tak pernah ia datangi,ia begitu sibuk hingga lupa pada semuanya termasuk tentang Satria. Enam tahun yang lalu sejak Satria telah pandai mengendalikan perusahaan, pak Danu sama sekali tidak menginjakkan kaki ke rumah kakanya. Beberapa kali Satria datang ke rumahnya namun ia sedang berada di luar kota demi bisnisnya. Satria kemenakannya yang jadi yatim piatu sejak kecil. Satria..... ia mengeja nama itu perlahan. Pak Danu kembali duduk di posisinya. menimang ponselnya. Mencari nama Satria. Ia melihat foto profil w******p. Satria sudah dewasa, sudah nampak matang. Sudah sangat tampan. Satria yang malang. Hingga ia mencoba menghubungi Satria Satu, dua, tiga kali panggilan tak terjawab. Satria tidak menjawab telphonnya. Pak Danu melihat jam dinding. Pukul 23.15, mungkin Satria lelah dan sudah tertidur. Pak Danu berkejaran dengan kejadian di masa lalu. Istighfar terus mengalir dari bibir. "Kasihan Satria," Selama ini Satria pasti bersedih, selama ini Satria pasti kesepian tanpa teman. Satria yang malang. Mungkin ini hukuman Tuhan yang sudah mengabaikan kemenakan tercintanya. Sedewasa apapun menjadi yatim piatu dan belum punya pendamping pasti sangat menyakitkan. Melewati banyak malam dengan kesendirian tanpa keluarga pasti menyakitkan. Pak Danu menghela nafasnya satu persatu. Rintik hujan diluar sana mengalirkan hawa dingin yang merayap melewati pori-porinya. Ia bangkit, memasuki ruang kamar tempat Angelin di rawat. Ia melihat Siska sedang sibuk dengan poselnya dan Bu Mayang telah terpejam, mungkin letih karena terlalu banyak menangis. Pak Danu memasuki kamar, menuju kamar mandi, mengambil wudhu kemudian menggelar sajadah. Siska tersenyum tipis pada orang tua itu. Pak Danu memang luar biasa alim, namun bukan berarti tak pernah tak bersalah. Dan, itu wajar. Setiap manusia pasti punya salah juga dosa. Di hamparan sajadah itu pak Danu berkejaran mengungkapkan doa pada pemilik kehidupannya. Berdoa untuk kebaikan Angelin juga kebaikan keluarganya. Dan malam ini, ya khusus malam ini ia menyebut nama Satria dalam doanya. Ini untuk pertama kalinya Pak Danu menyebut Satria dalam puisi cintanya bersama Tuhan. Ia menyesali kesibukannya, ia menyesali ketidak perduliannya. Begitulah selalu, kadang kita lebih sering perduli pada orang lain daripada pada keluarganya sendiri. Rintik hujan makin deras, sederas harapan pak Danu akan kebaikan putri tercintanya.. Angelin. Putri manis yang demikian ia sayangi bahkan melebihi apapun. Semua perjalanannya tertuju semata untuk kebaikan dan kebahagiaan Angelin. Andai Angelin mau sedikit jujur padanya. Pasti keadaannya tidak seperti ini. Mungkin sebagai orang tua ia bisa sedikit membantu. Sungguh, tidak ada satu orang tuapun yang mau hidup anaknya terlunta-lunta. Demikian menyedihkan. Pusaran perasaan tercurah dalam ribuan harapan tentang kebaikan, kebaikan untuk banyak orang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD