PERBINCANGAN MALAM ITU
Kota Malang yang dingin, hawa sejuknya membuat semua orang merasa betah
berada di sana. Selimut tebal menghiasi tubuh-tubuh terlelap. Tujuh anak laki-laki
berusia sekitaran belasan tahun berjajar di dua busa sedikit tebal.
Reynata memandang anak-anaknya iba, sebagai ibu ia sangat ingin
menghadirkan kemewahan bagi anak-anak yang pernah sembilan bulan hidup dalam
rahimnya, namun apa mau dikata ketika taqdir berkata lain. Sejak ayah mereka
meninggal tujuh tahun yang lalu hidup mereka menjadi seadanya, Reynata yang
hanya seorang penulis ditambah usaha loundrynya membuat ia harus membagi antara
mana yang harus dibeli dan mana yang tidak. Namun meskipun demikian sedikitpun
Reynata tidak pernah mengeluh, baginya Tuhan sudah demikian baik membingkis
keindahan dengan hadirnya tujuh orang anak yang dicintainya.
Semasa almarhum suaminya masih hidup anak-anak selalu diajarkan
bagaimana cara bersyukur, saling menyayangi dan tidak pernah membiarkan ibu
mereka merasa sendirian.Ajaran tersebut demikian melekat di hati anak-anak hingga
saat ini.
Sebenarnya penghasilan Reynata cukup bila hanya untuk makan, uang jajan,
biaya listrik juga untuk biaya sekolah. Hanya akan terasa berat bila salah satu dari
mereka harus opnam, atau mungkin bila saat akhir semester tiba. Saat-saat sseperti itu
mereka butuh kekuatan untuk dapat membereskan semuanya. Beruntung sebagai
makhluk reynata merasa punya Tuhan sehingga disaat tersulit sekalipun reynata
merasa punya tempat untuk bersandar dan mohon pertolongan.
Sebagai seorang penulis Rey selalu menyempatkan diri menuliskan karyanya
bila petang telah menjelang dan anak-anak telah tidur tenang di ranjang masing-
masing. Saat seperti itu adalah saat terindah buat rey mencurahkan potongan-
potongan isi hatinya. Terkadang ia menyimpannya di daftar dokument komputernya
saja atau terkadang juga ia mengirimkannya di beberapa group di f*******:. Usai
naskahnya dikirim pasti beberapa orang muncul memberikan komentar mulai dari
yang lucu hingga yang biasa-biasa saja. Saat kantuknya belum tiba ia pasti akan
berceloteh bersama para komentator sampai kantuk datang menerpanya.
Malam itu usai ceritanya terkirim seseorang mengajaknya berbincang lewat
mesenger miliknya.
“Namamu ?” tanya seseorang dengan akun pengguna f*******: bernama
Satka.
“Aku Rey”
“Asli Rey?” tanya disebrang itu muncul lagi.
“Ya, Reynata, kenapa?”
“Perkenalkan aku Satria Perkasa nama akunku Satka”
“Oh...” Jawab Rey sekenanya.
Begitulah Rey menjadi semakin akrab dengan Satria namun hanya di dunia
maya tanpa pernah jumpa meski sekalipun saja. Awal berbincang Rey hanya melihat
Satria sebagai penikmat tulisannya yang aktif bila malam tiba,semakin lama Rey
semakin sering melihat Satria aktif hampir seharian.
Setiap nampak oleh Satria dirinya aktif maka tak bosan Satria memulai
pembicaraan lebih dahulu.
“Rey, apa kabar?”
“Baik”
“Kemana saja dari pagi nggak aktif?”
“Anakku sakit”
“Lho, siapa”
“Anakku”
“Iya, namanya siapa?”
“Muza”
“Sakit apa dia?”
“Entahlah, sejak lahir Muza sudah menderita sakit seperti ini,”
“Kata dokter sakit apa?”
“Entah,”
“Kok dari tadi entah terus, Rey.”
“Iya, entah”
“Aku tidak pernah memeriksakan penyakit Muza dan anakku yang lain secara
intensive Satria.....”
“Kenapa,”
“Ya, gpp. Biasanya bila mereka sakit aku cukup membawa mereka ke dokter
lalu setelah mereka pulih aku akan membawanya pulang.”
“Huft,” balas chat di sebrang.
Sesaat mereka diam hanya saling memandang dari kejauhan, menatap baris
demi baris perbincangan mereka. Sampai kemudian Rey tampak tidak lagi aktif.
Lampu hijaunya sudah hilang. Rey keluar dari percakapan saat Satria berhenti
bertanya.
Satria bingung, sampai malam ia melihat poselnya, berharap Rey memberi
kabar namun sayangnya Rey tak kunjung berkabar hingga tiga hari lamanya.
Satria demikian bingung, ia juga bingung mengapa dirinya menjadi demikian tergantung pada Rey. Wanita yang baru ia kenal bahkan berjumpa pun belum.