Hikmah Haji

1767 Words
Di malam harinya selepas menunaikan sholat Isya kami pun berangkat menuju rumah KH. Abdulhaq. Aku bersama Zahra dengan membawa putra kami Nuruta pergi ke tempat beliau, bertiga menumpangi sebuah mobil sederhana jenis sedan Timor tahun 98 yang kubeli seharga 25 juta. Ini merupakan kunjungan terakhir kami sebelum besok lusanya kami sudah akan berangkat menuju tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Mengunjungi guruku agar meminta doa restu serta untuk mendapatkan bekal rohani dari beliau selain daripada semua persiapan yang telah kami lakukan. Hal ini benar-benar membuat nostalgia. Kunjungan ini mengingatkan kembali bagaimana aku juga mengunjungi beliau ketika dulu saat hendak berangkat ke Palestina sekitar tiga tahun yang lalu. Di depan rumah beliau KH. Abdulhaq pun menyambut hangat kami. Kami bertiga langsung dipersilahkan masuk. Kebetulan di rumah beliau agak sepi, hanya ada beliau seorang. Beliau mengatakan orang rumah lagi pada berangkat ke Tanjung untuk urusan pernikahan keluarga. "Karena Ummi tidak ada disini, tak usah repot-repot Guru. Kami juga sudah minum tadi di rumah." Ucapku ketika mengetahui guruku ingin membuatkan teh untuk kami. "Benar Guru, tak usah repot-repot. Kami kesini hanya untuk berkunjung sebelum keberangkatan kami esok lusa." Sahut Zahra. Sementara Nuruta hanya berpangku manis di pangkuannya. "Oh, jadi esok lusa ya? Iya, iya. Ini memang sudah waktunya. Kloter Banjarmasin dan Palangkaraya sudah pada berangkat. Kalau begitu semoga ibadah kalian lancar disana." "Guru, kami memohon doa restu darimu. Tolong doakan kami. Semoga ibadah haji pertama kami ini berjalan lancar, serta mendapat mabrur-nya haji di mata Allah Swt. Sekalian saya juga ingin meminta tips dan wejangan selama disana Guru, mengingat Guru sendiri sudah begitu pengalaman dan berpengetahuan terkait ibadah haji. Jujur saja, karena ini merupakan ibadah haji pertama kami, dan mungkin yang terakhir, saya ingin ibadah besar ini tidaklah sia-sia, tidak menjadi perjalanan ibadah dengan ritual-ritual lahiriah yang hampa." KH. Abdulhaq dengan mata teduh beliau dan senyum penuh kehangatan beliau, menatapku begitu dalam. Tatapan syarat makna yang seakan memintaku untuk pandai membaca. Membaca apa yang akan keluar dari mulut beliau. Ucapan seorang arifbillah. "Apa kau takut nak Ahmad? Kulihat ada raut wajah ketakutan terpancar di wajahmu." Sontak hal itu mengejutkanku. Aku sendiri bahkan tidak menyadari atau bahkan tidak mengetahui ada ketakutan yang diriku simpan terkait dengan perjalanan haji ini. Sejauh ini aku merasa santai dan bahkan menikmati hari-hari ke belakang saat penantian menunggu hari keberangkatan. Namun tak bisa kupungkiri bahwasanya aku juga gelisah. Kupikir wajar sebab ini pertama kalinya setelah sekian lama aku kembali melakukan perjalanan ke luar negeri. Sementara aku tidak hanya pergi sendiri, melainkan memboyong anak dan istriku kesana. Menyimpan sedikit rasa kekhawatiran kurasa cukup normal. Kegugupan yang pasti dirasakan oleh para jemaah yang baru pertama kali melaksanakan ibadah haji. "Tidak Guru, aku cukup menikmati penantianku untuk bisa menginjakkan kaki di tanah suci. Mungkin ada ketakutan yang tidak kusadari. Apa begitu jelas terlihat di wajahku Guru?" KH. Abdulhaq hanya terdiam sambil tersenyum. "Tak perlu khawatir dan takut, doaku selalu menyertai kalian. Allah akan membukakan pintu jalan terbaik bagi kalian. Selama disana, jangan memikirkan hal lain. Pikirkan ibadah saja. Jangan sampai pikiran akan keduniawian menyeret kalian dari pusaran kekhusyukan yang akan tercipta disana. Ini kesempatan yang setidaknya hanya terjadi sekali seumur hidup. Gunakanlah untuk beribadah sebaik-baiknya." Aku dan Zahra mengangguk. Memasang kedua telinga kami baik-baik untuk setiap perkataan yang mulai guruku katakan. Sementara Nuruta tahu-tahu sudah nampak terlelap di pangkuan Zahra. Untung saja putraku ini memang tidak biasa rewel saat diajak ke tempat orang lain. Sekarang dia malah tertidur dengan nyenyaknya di pangkuan ibunya. "Apa ada hal yang mesti kami lakukan selama disana Guru?" tanya Zahra. "Semisal apa yang harus kami amalkan atau apa yang tak boleh kami lakukan," "Tidak ada putriku, tidak ada hal khusus. Kalian hanya perlu menjalani setiap prosesinya. Kalian juga sudah mengetahui dan mengerti kan apa-apa saja yang akan kalian lakukan dalam ibadah haji? Jadi tak ada yang perlu kutambahkan lagi. Semua yang terkait dengan perkara haji pasti telah kalian pelajari dalam manasik." "Mengerti Guru," sahutku. "Lalu ... Bagaimana pengalaman Guru ketika berhaji dulu? Mungkin bisa dibagi sebagai gambaran untuk kami nanti. Banyak yang bilang kalau ibadah haji akan menjadi refleksi diri. Jika mereka baik, maka mereka akan mendapat hal-hal baik selagi disana. Dan sebaliknya, ketika mereka yang berhaji selama hidupnya kurang baik, maka juga akan mendapatkan berbagai macam kendala dan masalah selama disana. Pengalaman-pengalaman itu yang ingin kutanyakan. Pasti banyak pengalaman khusus dan berkesan yang pernah Guru rasakan selama disana waktu itu." KH. Abdulhaq nampak tersenyum kecut. Beliau nampak tergelitik dengan ucapanku barusan. "Pertama, aku sendiri beserta istri hanya pernah satu kali berhaji nak Ahmad. Itu pun pada tahun 1974, sudah lama sekali. Jadi kalau ditanya untuk pengalaman dan gambaran, sepertinya sudah tidak relevan lagi untuk kalian. Pastinya tempat-tempat disana sudah banyak berubah, berbeda dengan yang dulu. Beberapa teknis dan mekanisme pengelolaan jemaah juga pasti sudah beda. Tak banyak yang bisa kubagi. Intinya kalian rasakan sendiri bagaimana nanti. Kedua, sehubungan dengan 'omongan' yang mengatakan kita akan menerima balasan atau semacam karma baik dan buruk sewaktu berhaji itu tidak bisa dipastikan. Dalam artian untuk beberapa kasus itu memang terjadi, tapi hanya khos atau khusus, tidaklah umm atau umum." "Seperti yang pernah saya dengar tentang jemaah yang tak bisa melihat Ka'bah sewaktu disana disebabkan kedzalimannya pada orang lain." Sahut Zahra. "Benar nak Zahra, terkadang itu bisa terjadi. Tapi pada intinya ibadah haji bukanlah ajang pembalasan amal baik dan buruk. Jadi jangan salah mengartikan jika seandainya para jemaah mendapatkan pengalaman buruk, masalah, kesialan atau kendala disana lalu dicap sebagai hukuman. Ini tidak sepenuhnya benar. Bisa saja orang beriman mendapatkan ujian paling beratnya disana. Karena ibadah haji merupakan ibadah suci untuk memuji keagungan Tuhan, yang esensi puncaknya sendiri adalah pengenalan." "Pengenalan kepada hakikat-hakikat Tuhan?" tanyaku. Guruku menggeleng. "Bukan! Ibadah haji adalah tentang mengenali diri sendiri." "Apa maksudnya itu Guru? Terangkan lebih jauh kepada kami. Semoga pengetahuan dan curahan ilmu dari anda dapat menjadi jembatan wasilah kami agar lebih memahami esensi dari segala ritual yang akan kami kerjakan dalam ibadah haji nanti." "Ibadah haji bukanlah ibadah sembarangan. Ibadah ini sukar dilakukan. Bukan karena haji memerlukan banyak alokasi biaya ataupun dana, tetapi karena penerapan hakiki dan substansi dari kata haji itu sendiri. Kata haji merupakan kata tertua perihal prosesi ibadah kolektif yang pernah dilakukan oleh umat manusia. Haji bahkan telah ada jauh sebelum Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam terlahir ke dunia." "Kata haji merupakan arabisasi dari terma yang sudah dikenal dalam literatur ibrani, Hagg." Tandasku menambahkan. "Hagg dalam bahasa ibrani bermakna festival atau perayaan tahunan. Makna ini paralel dengan agenda haji yang memang dilaksanakan tiap satu tahun sekali. Dan semua orang beriman diminta mengikuti ibadah agung ini setidaknya sekali seumur hidup mereka. Ayat tentang perintah Hagg ini termuat dalam Torah, kitab Musa, yaitu pada kitab keluaran atau Shemot 23:14." Aku pun membacakan rujukan ayat yang dimaksud. "Tiga kali setahun haruslah engkau mengadakan hagg (haji) bagiKu." "Jika terkait bahasa ibrani ataupun topik ahlul jadid dan ahlul qadim, maka itu adalah bidang dan keahlianmu." KH. Abdulhaq tertawa kecil. "Kembali ke pembahasan haji. Tidak semua muslim dapat mencapai taraf level ideal dari ibadah ini nak Ahmad. Hanya mukmin yang sudah menyentuh pengenalan diri yang akan mencapai manisnya hikmah ibadah haji." Aku dan Zahra mendengarkan dengan seksama. Kami berdua duduk fokus seraya mengecap mutiara-mutiara ilmu penuh petuah yang guru kami sampaikan. KH. Abdulhaq memaparkan secara komprehensif esensi dan arti dari ibadah haji. Beliau membawakan penjelasan yang berat dengan begitu ringan melalui corong-corong perspektif sufistik yang kaya ilmu mantiq, lengkap dengan pembawaan dalil baik dari kitabullah Al-Qur'an maupun al-Hadist. "Dari dimulainya miqat sebagai start atau permulaan haji, kita diminta meninggalkan segala status, kedudukan dan nama yang kita miliki. Kita lalu dipakaikan ihram sebagai satu-satunya pakaian yang boleh kita kenakan. Ihram berasal dari kata haram. Artinya pada waktu tersebut, haram untuk mendaku. Haram untuk mengaku sebagai aku. Tidak boleh ada lagi keakuan setelah memasuki waktu itu. Hanya ada persamaan, equality. Semua memakai pakaian yang sama, melakukan gerakan yang sama, mengerjakan tahapan yang sama, dan berjalan ke arah tujuan yang sama dalam ucapan menggema serempak yang sama. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kekuatan hanyalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Semua seakan menjadi satu disitu." KH. Abdulhaq menterjemahkan seruan kalimat Talbiyah pada ibadah haji. Aku dan Zahra hanya mengangguk. Bulu kuduk kami sama-sama merinding oleh pemaparan KH. Abdulhaq terkait betapa agung dan istimewanya ibadah haji. Ibadah yang sebentar lagi akan sama-sama kami jalani dan lalui. Sesuatu yang sudah lama kami nantikan. "Prosesi thawaf mengelilingi Baitullah Ka'bah dengan 7 kali putaran, adalah simbol pergerakan alam yang menjadi satu. Sinergi antara kita sebagai mikro kosmos dengan alam makro kosmos yang lebih besar. Seperti tarian gema kesatuan. Kau pasti mengerti bagaimana cara gerak alam yang kebanyakan memusing dari kanan ke kiri bukan nak Ahmad?" Lagi-lagi aku mengangguk. "Gaya sentrifugal," "Dalam thawaf kita seakan berputar pada poros alam semesta. Tapi sebenarnya kita lah poros tersebut, kitalah pusatnya. Dan dalam aktivitas melempar jumroh kita dihadapkan pada perlawanan terhadap setan, terhadap iblis. Namun bukan setan atau iblis fisikal, apalagi iblis secara harafiah. Melainkan setan yang bersemayam dalam ego kita sendiri, itulah yang kita benci, kita lempar dan lawan dengan batu keimanan. Itu semua dilakukan setelah kita memahami benar-benar karakteristik diri sendiri dalam wukuf kita. Memahami diri sendiri, melihat jauh ke dalam diri. Mengetahui kekurangan dan kelebihan kita." "Haji memang bukanlah ibadah sembarangan," gumamku penuh perenungan. "Ibadah ini begitu agung dan besar." Lanjut beliau. "Semua ritual di dalamnya adalah refleksi dan perlambang akan persatuan dan kesatuan, peleburan status dan identitas, dan berpuncak pada perenungan untuk Arafa yakni mengenali diri sendiri. Itulah kenapa bukit dari inti prosesi ibadah haji tempat melaksanakan wukuf disebut sebagai bukit Arafah. Bukit untuk mengenal diri sendiri, dan mengenali esensi Tuhan yang hakiki." "Karena disanalah kita dituntut untuk mengenali diri kita sendiri." Gumam Zahra juga termangu. "Begitulah nak Zahra. Kalian berdua adalah suami istri. Kalian bisa dikatakan sebagai satu diri sekarang. Jadi bagi suami istri yang menjalankan ibadah haji, satu sama lain tidak hanya dituntut untuk mengenali diri mereka sendiri, melainkan juga pasangan mereka. Nak Zahra ... ujian sesungguhnya adalah ketika kita dituntut untuk mengenali siapa pasangan kita." Istriku bergeming. Ucapan KH. Abdulhaq itu terasa khusus ditujukan untuknya. Seolah dia kembali mentautkan ucapan guruku tersebut dengan salah satu fragmen mimpinya waktu itu. Aku mengangkat kepalaku yang sedari tadi tertunduk karena perenungan, menoleh pada Zahra dan lalu pada guruku. Aku bisa merasakan ada suatu pesan khusus yang ingin beliau tekankan, hanya untuk istriku Zahra. Pesan yang seolah memang ditujukan untuk Zahra semata-mata. Mengingat pengalamanku dulu ketika menerima petuah tersirat guruku sebelum berangkat ke Palestina, ini bukanlah pesan biasa. Ada kandungan misteri yang tersirat di dalamnya. Hanya saja belum ada satupun dari kami berdua yang bisa membaca isyaratnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD