Sebelum keberangkatan kami ke tanah suci, aku dan Zahra mengadakan serangkaian agenda ziarah pra-keberangkatan seperti ziarah ke makam almarhumah ibuku, serta ziarah ke makam para waliyullah misalnya wali lokal disini yakni Datuk Galung (sebab rambut beliau semasa hidup digimbal atau digalung) di daerah Bati-Bati. Tak lupa pula kami mengunjungi handa taulan dan kerabat serta tentu saja mengunjungi panutan dan rujukan hidup keluarga kami selama ini yakni guru sekaligus mursyid kami sendiri, Abah Guru KH. Abdulhaq.
Penting bagi kami untuk mengunjungi semua kenalan, selain meminta untuk didoakan agar dilancarkan, juga untuk memberi informasi dan kabar kepada mereka yang kami datangi terkait hal ihwal keberangkatan kami. Perjalanan ini juga memuat ziarah-ziarah religi ke makam-makam para wali sebagai napak tilas perenungan kami kepada mereka yang jasadnya dikatakan mati, namun spirit dan kisah kesolehannya senantiasa hidup.
Mengunjungi makam para wali juga bisa menjadi momentum 'pemanasan' bagi kami, sebab ibadah haji juga dapat dikatakan sebagai ziarah besar, dimana para jemaah tidak hanya akan dibawa pada perjalanan teologis dengan serangkaian prosesinya, tetapi juga pada perjalanan historis akan nostalgia, perenungan dan kontemplasi sejarah agung yang menorehkan keseluruhan riwayat hidup serta perjuangan Nabi dan lahirnya Islam.
Hari ini Zahra dan aku merencanakan akan mengunjungi guru kami, KH. Abdulhaq, pada malam nanti selepas Isya. Beliau berada diurutan terakhir dalam daftar kunjungan kami. Semua sudah kami kunjungi. Keluarga, kerabat, sahabat, baik yang jauh maupun yang dekat. Ziarah ke makam wali juga sudah kami tunaikan. Terakhir yang kami ziarahi lima hari yang lalu ialah makam alim ulama besar nan mahsyur kalimantan, Al-Mukkarom Abah Guru Sekumpul Martapura. Selama dua tahun menikah aku selalu menjadikan haul akbar Abah Guru Sekumpul sebagai agenda tahunan keluarga kami. Aku dan Zahra selalu pergi ke kawasan Sekumpul Martapura, mengikuti haul akbar yang dihadiri dan diperingati oleh ratusan ribu atau bahkan jutaan muhibbin Abah Guru Sekumpul. Haul yang dijadikan tradisi tahunan bagi masyarakat kami umat Islam Kalimantan terutama yang berada di Kalimantan Selatan. Tahun ini kami mengunjungi makam beliau dua kali, sewaktu haul akbar dan sekarang ketika kami akan berangkat ke tanah suci.
"Semua yang ada dalam list sudah kita tunaikan, sekarang tinggal yang terakhir, yakni ke rumah Abah Guru Pelambuan," Zahra duduk di ruang tamu sembari mencoret daftar pada selembar kertas yang ia buat sendiri. Dengan manisnya Zahra menatapku sambil tersenyum lebar. "Ini adalah idemu, melakukan kunjungan serta ziarah para wali. Ide yang bagus sebelum keberangkatan kita. Tadinya kupikir dengan menolak menginap di asrama haji sebelum keberangkatan bukanlah rencana yang baik. Tapi ini worth it."
"Apa kau senang? Kulihat kau cukup bahagia dan menikmati ziarah serta kunjungan yang kita lakukan sebelum keberangkatan. Syukurlah kalau kau menikmatinya."
"Aku cukup menikmatinya sayang. Ini bisa menjadi semacam healing atau hiburan agar tidak tegang sebelum keberangkatan. Terlebih ... kegiatan ini mampu mengusir kegelisahanku akan mimpi yang kualami beberapa hari yang lalu." Istriku Zahra ternyata masih memikirkan perihal mimpinya pada malam itu. Dia cukup terpengaruh dengan mimpi buruknya tersebut.
"Astaga, apa kau masih belum bisa sepenuhnya melupakan mimpi itu? Sebegitu buruknya kah mimpi tersebut hingga kau sulit melupakannya bahkan begitu terpengaruh olehnya?"
"Sudah kukatakan itu sangat buruk. Entah kenapa sayang, aku sulit menghapusnya dari ingatanku. Semua detail mimpiku itu sudah kuceritakan padamu bukan," Zahra menghapus senyum yang tadi menghiasi wajahnya. Kini senyum itu berganti dengan muramnya ekspresi.
Zahra ternyata benar-benar tertekan dengan mimpi buruk yang dialaminya beberapa hari lalu.
Aku mulai menghampiri istriku, duduk di sampingnya di sebuah sofa di ruang tamu. Sekali lagi kutenangkan Zahra. Entah bagaimana sebuah mimpi dapat begitu mempengaruhi seseorang seperti ini. Walau diriku sendiri sudah pernah menyadari kekuatan dari sebuah mimpi. Mimpi yang mengtautkan diriku dengan beberapa orang dalam perjalanan ke Palestina waktu itu. Mimpi yang sudah merubah jalan hidup seorang wanita dan memberinya keselamatan hingga surga. Namun kurasa mimpi Zahra kali ini berbeda dengan mimpiku kala itu.
Tidak semua mimpi memiliki arti. Tidak semua mimpi harus dipikirkan dan ditafsirkan. Terkadang ianya hanyalah serangkaian bunga-bunga tidur yang skemanya tak beraturan. Akan tetapi tidak jarang bahwasanya suatu mimpi pun, memang memuat suatu pesan.
Mimpi sebagai wasilah (media) yang memberi kemampuan bernubuat atau melihat suatu gambaran refleksi masa depan. Sebagai sarjana S2 sekaligus yang bergelut di bidang komparasi agama (Muqorinul Adyan), aku teringat akan sebuah ayat dalam kitab TaNaKh, tepatnya salah satu kitab dalam perjanjian lama yaitu kitab Yoel, ada pada pasal 2 ayat 28 nya.
"Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia, maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat; orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi, teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan."
Ayat tersebut memberi gambaran seseorang yang dijamah oleh Rohul Qudsi akan mampu bernubuat, melihat kebenaran dalam mimpi, serta mendapatkan visi penglihatan dari sang ilahi. Ayat yang menegaskan kekuatan dari sebuah mimpi. Mimpi yang mengandung kebenaran sendiri dikatakan oleh hadist Nabi merupakan 1/46 dari bagian kenabian.
Saat ini aku merasa kasihan dengan istriku. Aku hanya bisa menenangkannya dan memberinya pengertian bahwa mimpi hanyalah sebuah mimpi. Dia tak perlu merisaukan sebuah mimpi buruk, walau seburuk apapun gambaran yang ada di dalamnya.
"Sudah berapa kali kukatakan sayang, jangan kau ingat lagi mimpi itu. Tak perlu merisaukan sebuah mimpi. Lagipula kau bukan seorang Rasul, Nabi atau bahkan wali yang terkadang mendapatkan ilham melalui mimpi. Aku sangat yakin aku tidak menikahi seorang wali." Aku terkekeh sedikit menggoda Zahra sembari mendekat ke arahnya lalu mengusap punggungnya. "Sudahlah, lupakan saja. Itu hanya sebuah mimpi buruk. Jika terus memikirkannya maka pikiranmu akan selalu terganggu olehnya. Kau juga akan sakit nanti. Sebentar lagi kita akan berangkat haji Zah. Jaga kesehatanmu, untuk ibadah haji kita nanti."
"Aku sudah berusaha melupakannya sayang, hanya saja ..." Zahra termenung dalam, larut pada ekspresi kesedihan. "Hanya saja itu begitu menyakiti hatiku."
"Soal aku yang kau lihat berada di samping wanita lain?"
Zahra mengangguk pelan. "Bukan hanya itu. Seolah-olah mimpi itu memuat semua kegelisahan. Aku menjadi takut karenanya. Terlebih kita akan berangkat ke tanah suci. Tidakkah mimpi itu merupakan sebuah pertanda suamiku?" Zahra menoleh dan menatap tajam ke dalam mataku. Matanya seakan meminta sebuah jawaban dariku. Sebuah kepercayaan bahwa aku akan bisa menterjemahkan mimpi absurdnya itu.
Tentu saja aku tidak bisa memberikan apa yang Zahra inginkan. Suaminya ini hanyalah manusia biasa yang bahkan tidak dikaruniai berkah atau kemampuan seperti kemampuan mentafsir sebuah mimpi. Sekarang yang bisa kulakukan hanya memberi pengertian lagi pada istriku bahwa tidak semua mimpi buruk akan menjadi kenyataan, apalagi mimpinya terkait dengan gambaran kehancuran dunia atau akhir zaman.
"Tapi ada mimpi yang menjadi kenyataan, 'kan? Seperti yang kau alami dan kau ceritakan terkait perjalananmu ke Palestina waktu itu." Tegas Zahra.
Zahra membandingkan mimpinya dengan mimpiku waktu itu. Aku memang sudah menceritakan semuanya kepada istriku. Apa yang kualami ketika berada di Palestina, semua kuceritakan apa adanya pada Zahra, tak ada yang kututup-tutupi.
"Beda sayang," ucapku.
"Apanya yang berbeda? Aku takut dengan mimpi itu."
"Beda lah, soalnya mimpimu itu terlalu absurd. Tentang kehancuran dunia, kiamat dan kematian massal? Memang terdengar mengerikan, tapi itu layaknya sebuah mimpi buruk pada umumnya. Percaya tidak sayang? Kalau dulu aku juga sering bermimpi buruk nan absurd. Jadi tidak semua mimpi adalah hal yang masuk akal untuk dipikirkan."
"Misalnya seperti apa?" Zahra merasa penasaran dengan mimpi-mimpi absurd yang pernah aku alami. Dia nampaknya sangat ingin tahu tentang itu.
Aku tersenyum. "Misalnya, seperti memimpikan Alien Invasion. Aku sering loh, dulu. Terus ... oh iya! Sehabis nonton film Red Dawn, setelahnya aku malah memimpikan terjadinya invasi korea utara ke negara kita. Aneh bukan?" Kulihat istriku tertawa. Mungkin Zahra merasa geli dengan pengalaman-pengalaman mimpi yang pernah dialami suaminya.
"Jadi tak perlu risau lagi," lanjutku seraya merangkul mesra Zahra. Dia hanya mengangguk.
"Tapi, tapi ... mimpiku terasa sangat nyata."
"Merasa mimpi begitu nyata juga gejala seseorang memasuki fase REM atau Rapid Eye Movement. Karena lelah hari itu, aktivitas otakmu mungkin relatif tinggi."
"Jadi mimpiku bukan Precognitive Dream seperti punyamu dulu?"
"Bukan. Lagipula, bukannya tadi kau bilang sudah cukup tenang dan melupakan tentang mimpi tersebut berkat jalan-jalan kita akhir-akhir ini?"
"Memang iya ayahnya Nuruta. Berkat ide briliant-mu agar kita melakukan wisata ziarah dan kunjungan sebelum keberangkatan, aku menjadi lebih tenang dan santai sekarang. Aku lupa dengan kegelisahanku akan mimpi itu. Tapi semakin berusaha kulupakan, semakin aku teringat dan terganggu olehnya. Aku tak bisa mengendalikan pikiranku."
"Percayalah, semua akan baik-baik saja." Tegasku. "Perjalanan ibadah haji kita bertiga Insha Allah akan dilancarkan, baik sewaktu berangkat maupun pulang nanti. Malam ini kita akan ke rumah Abah Guru KH. Abdulhaq. Itu destinasi terakhir kita sebelum keberangkatan ke tanah suci. Setelah mendengar apa yang beliau sampaikan, serta mendapatkan berkat, restu dan doa dari beliau, kau pasti akan segera tenang kembali. Yakinlah pada Allah Swt, kita akan baik-baik saja." Zahra mengangguk dengan senyuman manisnya. Kurasa dia sudah mulai tenang.
"Oh iya, sepulangnya dari rumah guru, bisakah kita mengunjungi rumah ayah dan ibu?" tanya Zahra. Kedua orangtua Zahra yakni mertuaku memang saat ini sudah lama pindah dari Balikpapan. Keduanya telah kembali bermukim di kota Banjarmasin. Mereka mengambil rumah di sebuah perumahan, masih di kawasan Handil Bhakti, tidak jauh dari rumah kami. Sekitar 15 menit waktu tempuh dengan kendaraan roda dua atau mobil.
Sudah sekitar setahun setengah mertuaku pindah. Sengaja, mertuaku mengatakan ingin lebih dekat dengan kami terutama dengan cucu kesayangan mereka, Nuruta Hudan.
Jadi setiap minggu atau selang beberapa hari mereka sering mengunjungi rumah kami, atau sebaliknya, kami lah yang bertandang ke tempat mereka. Apalagi akhir-akhir ini, disaat kami bertiga akan berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji pertama kami. Mereka sering sekali berkunjung dan membantu segala persiapan yang kami butuhkan.
"Kayaknya tak sempat sayang, soalnya kita kesana sehabis Isya, kalau pulangnya harus ke rumah ibu dulu kan kemaleman. Sementara lusanya kita sudah harus bersiap untuk berangkat. Kita harus menjaga betul-betul kondisi tubuh, jangan sampai sakit sebelum berangkat atau malah sakit pas disana. Terutama untuk Nuruta. Tidak baik buat dia terkena angin malam."
"Benar juga sayang,"
"Kalau mau, minta ayah dan ibu saja yang kemari besok,"
"Iya sayang,"
"Ngomong-ngomong, kita sudah hampir 2 tahun lebih menikah. Anak juga sudah satu. Panggilan sayang atau ayang ke satu sama lain apa tidak membuatmu geli Zah?" tanyaku terkekeh. "Apa tidak sebaiknya kita ganti saja. Misal pakai panggilan Abi dan Ummi gitu,"
"Ngga apa-apa lah, biar berasa masih muda dan kayak masih pacaran kan." Sahut Zahra tertawa.
Rengekan Nuruta dari dalam kamar pun membuyarkan candaan kami berdua. Zahra harus bergegas memeriksa Nuruta yang sepertinya sudah terbangun dari tidur siangnya.
Walau pun untuk sejenak dan sesaat, aku sempat memikirkan mimpi Zahra. Apa iya mimpinya juga merupakan mimpi Meta-Psikis yang berjalin kelindan dengan realita seperti yang dulu aku alami di Palestina?