Kain Kiswah

1567 Words
Guruku kemudian izin masuk sebentar ke kemar beliau untuk mengambil sesuatu. Zahra termangu, larut dalam pikirannya sendiri. Aku yang memperhatikan gelagat berbeda Zahra lantas bertanya. "Apa yang sedang kau pikirkan?" "Tidak, tidak ada." Jawab singkat Zahra. Aku tahu betul bahwa Zahra menyimpan sesuatu dalam benaknya. Mungkin ucapan guruku barusan begitu sampai dan merasuk ke dalam sanubari istriku Zahra. Semoga saja Zahra mampu meresapinya, yang dikemudian hari dapat menjadikan dirinya istri yang berintrospeksi. Tak lama kemudian guruku kembali keluar dari kamar beliau dengan menenteng sesuatu di tangan. Sebuah benda kecil berwarna hitam yang samar-samar belum bisa kulihat bentuknya. Guruku kembali duduk sambil menghadap kami berdua. Sedari tadi kami bertiga memang duduk lesehan di ruang tamu rumah beliau seperti biasa. Karena rumah guruku ini memang tidak ada sofa, kursi atau meja sejak dulu. Tamu-tamu beliau yang datang selalu lesehan di sebuah bentangan karpet yang bersih dan nyaman. Mataku melirik pada sebuah benda yang sedang digenggam oleh KH. Abdulhaq. Beliau tersenyum sembari menatap benda yang sedang beliau genggam erat di tangan. Apa itu? Apakah itu sebuah jimat atau semacamnya? Rasanya tidak mungkin. Sebab jimat bagi kalangan syariat dikatakan haram digunakan. Walaupun kami kalangan tarekat sering terstigma buruk dan disalah artikan sebagai pelaku bidah atau pengguna wifiq dan jimat, tetapi penggunaan jimat sebenarnya tidak lumrah dan jarang kami gunakan. Apa sebenarnya yang beliau bawa dari dalam kamar tadi? Aku tak berani menanyakannya. "Nak Ahmad, nak Zahra. Ini bukanlah apa-apa. Hanya sekedar cinderamata istimewa yang telah lama kusimpan." KH. Abdulhaq memperlihatkan benda yang sedari tadi beliau genggam. Ternyata benda berwarna hitam yang dibawa oleh KH. Abdulhaq dari dalam kamar tersebut adalah sepotong atau secarik kecil kain. Aku mengira kain hitam tersebut adalah potongan kain Kiswah yang biasa dipakai untuk menutupi dan menyelimuti bangunan suci Ka'bah. Tebakanku tidak salah. Ternyata itu memang secarik kecil kain Kiswah. KH. Abdulhaq mengatakan kain Kiswah tersebut sudah begitu lama beliau simpan. "Kain Kiswah itu, pasti anda dapatkan ketika berhaji dulu ya Guru?" ucapku. "Bukan, aku mendapatkan kain ini jauh sebelum aku berangkat haji. Sekitar 4 tahun sebelum keberangkatan hajiku waktu itu aku mendapatkan kain Kiswah ini. Seorang teman atau lebih tepat disebut salah satu murid yang dulu memberikannya padaku. Dia seorang petugas di kedutaan Arab Saudi. Kebetulan pada masa itu memang tidak sembarang orang bisa mendapatkan potongan dari kain bekas penutup Ka'bah ini. Aku beruntung diberikan ini." "Jadi sudah bertahun-tahun lamanya anda menyimpan kain tersebut," "Ya nak Ahmad. Tetapi kain ini bukanlah apa-apa bagiku. Tidak dianggap sebagai jimat keberuntungan, tidak juga dianggap sebagai benda pusaka yang mendatangkan keberkahan. Sejatinya ini hanyalah kain biasa sebagaimana kain-kain lainnya. Aku hanya mengambil ibroh dari keberadaan kain ini. Kiswah inilah yang menambah kerinduanku akan tanah suci ketika dulu belum pernah sama sekali menginjakkan kaki disana. Kain ini memberiku kekuatan dan keyakinan, bahwa jika memang sudah waktunya, jika memang telah ditakdirkan, dan jika ada garis rezeki untuk pergi kesana, niscaya pasti akan mampu berangkat kesana. Lalu 4 tahun kemudian kesempatan itu benar-benar datang. Akhirnya aku pun bisa melaksanakan ibadah haji bersama istri, seperti kalian berdua sekarang. Jadi bersyukurlah. Sebab tidak semua orang dapat pergi walau sangat ingin. Kepergian kalian kesana merupakan panggilan Allah. Maka jawablah panggilan tersebut nantinya dengan khusyuk dan dengan keimanan yang kokoh." "Tentu. Insha Allah Guru," sahutku. "Insha Allah," timpal Zahra. KH. Abdulhaq kemudian mengatakan akan memberikan kain Kiswah yang telah bertahun-tahun lamanya beliau simpan itu untuk kami. Bahkan secara mengejutkan beliau menyodorkan kain Kiswah tersebut ke arah Zahra. Secara khusus beliau memberikannya kepada istriku. Tentu ini sedikit mengejutkanku. Antara heran dan penasaran. Alih-alih menyodorkan kain tersebut ke arahku sebagai murid beliau, guruku malah memberikannya pada Zahra yang disambut dengan enggan oleh Zahra. Istriku sempat menoleh padaku dengan ekspresi bingungnya sebelum menerima kain itu. Aku hanya membalas dengan mengangguk ringan seraya tersenyum sebagai isyarat kepada Zahra untuk mengatakan padanya 'terima saja'. "Kalian simpanlah. Jaga kain Kiswah tersebut. Jadikan selalu pengingat, karena jalanmu di depan bisa saja begitu sukar." KH. Abdulhaq bicara seraya masih menatap Zahra. "Tidak ada yang tahu bagaimana liku kehidupan berumah tangga," lanjut beliau. "Insha Allah, akan selalu kami simpan dan jaga kain ini Guru. Terima kasih banyak." Sahut Zahra. "Kiswah merupakan kain hitam yang berfungsi sebagai penutup dan pakaian bagi bangunan paling suci nan agung. Rumah Tuhan itu sendiri." Tegas KH. Abdulhaq. "Kiswah tidak hanya penghias Baitullah, tetapi ianya juga merupakan selubung." "Selubung?" gumam Zahra. "Benar nak Zahra. Walau warnanya sangat hitam, tanpa corak warna ataupun keindahan yang bisa memanjakan mata, akan tetapi Kiswah menutupi esensi keindahan yang sebenarnya. Ka'bah merupakan bangunan persegi yang didalamnya memiliki rongga atau ruang. Ini melambangkan batang tubuh manusia itu sendiri sebagai Baitullah yang hakiki." "Qolbul mukmin baitullah," sahutku bergumam mengucapkan salah satu sabda Nabi. "Ya nak Ahmad. Hati seorang mukmin adalah bait Allah. Rumah bagi-Nya. Kosong dan rongga di dalamnya merepresentasikan kekosongan identitas yang tidak ada siapapun selain diri-Nya. Hati dan jati diri manusia yang sejatinya kosong tersebut bisa terisi oleh apa saja. Maka pandai-pandai lah melihat, pandai-pandai lah mengenali. Jangan sampai salah dalam menilai." Sekali lagi dapat kulihat guruku memfokuskan perkataan itu untuk istriku Zahra. "Seperti Kiswah yang hitam dan tak indah ini. Selubung selalu menghalangi pandangan manusia dari apa yang ada di dalamnya. Seperti kain Kiswah ini, sehitam apapun kain selubung yang dibentuk oleh seorang manusia, jika kau mampu menyingkap selubung yang menutupinya maka kau akan mendapati kesejatian yang berada di dalamnya. Sama seperti Kiswah yang menyelubungi kesucian bangunan Ka'bah. Sesuatu yang sejatinya suci dan baik akan selalu baik, walau sehitam apapun selubungnya." Tegas KH. Abdulhaq. Aku dan Zahra terdiam. Aku meminta Zahra untuk menyimpan baik-baik kain Kiswah yang diberikan KH. Abdulhaq kepada kami. Sekali lagi aku dan Zahra berterima kasih pada KH. Abdulhaq karena telah mempercayakan kami menyimpan warisan kain Kiswah yang beliau miliki. Biarpun beliau menekankan bahwa kain tersebut tidak begitu memiliki arti atau keistimewaan tertentu secara fungsi, namun kami tetap dipinta oleh beliau untuk takzim, menjaga dengan baik dan penuh adab kain Kiswah tersebut. Selanjutnya KH. Abdulhaq hanya menjelaskan tentang teknis-teknis terkait pelaksanaan prosesi ibadah haji kepada kami. "Tempat yang akan kalian datangi adalah tanah suci. Tempat dimana segala kebaikan dan keagungan Tuhan digemakan. Tempat terbitnya keimanan. Berhaji ke kota Mekkah, laksana memenuhi panggilan Allah secara langsung. Baitullah ... merupakan tujuan, yang harus dituju oleh semua orang beriman. Jika selama hidup fisiknya tak bisa mengunjungi Ka'bah, setidaknya hati dan jiwa harus senantiasa terpaut kesana. Merindukannya. Berapa banyak orang yang tidak seberuntung kalian, bisa memenuhi panggilan menuju tanah suci. Ke rumah-Nya. Mekkah adalah tempat pilihan. Kota paling suci dan sakral di muka bumi. Tempat yang harus dituju." "Tetapi tempat yang akan dipilih TUHAN, Allahmu, dari segala sukumu sebagai kediaman-Nya untuk menegakkan nama-Nya di sana, tempat itulah harus kamu cari dan ke sanalah harus kamu pergi." Sambungku seraya mengutip salah satu ayat perjanjian lama yakni Ulangan 12:5. "Apa itu salah satu ayat dalam Taurat? Ayat ahlul qadim?" tanya KH. Abdulhaq tersenyum. Aku mengangguk. Beliau memang tidak sefamiliar diriku terkait teks-teks di luar Islam karena memang bukan diskursus atau bidang yang beliau geluti. "Bagaimana caranya agar kami bisa tahu, atau setidaknya mendapatkan indikasi bahwa ibadah haji kami diterima Guru?" tanyaku. "Kami hanya ingin khusyuk selama disana, tetapi menjadi jemaah haji yang ideal di mata Allah itu rasanya sangat sulit." "Tidak ada yang sulit nak Ahmad. Bahkan berhaji bukanlah tentang sah atau tidak sah, diterima atau tidak diterima, khusyuk atau tidak khusyuk. Tetapi tentang kadar penempatan diri masing-masing. Disana hanya tentang refleksi kehidupan sebelum dan sesudah berhaji nanti. Kalian sendirilah yang harus menemukan cara itu." "Cara ideal untuk melakukan refleksi?" gumamku. "Aku belum begitu paham," "Kamu sendiri kurasa sudah cukup mengerti dan memahami perkara ini, Ahmad Rizalul Qur'ani." Tegas guruku. "Kau merupakan murid terbaikku. Bashirahku dapat melihat jauh mukasyafah yang sudah kau alami. Dirimu memiliki alat dan ilmu untuk memahani ini sendiri nak. Bimbinglah istri dan keluargamu agar juga dapat memahaminya." Aku terdiam. Guruku memujiku begitu tinggi. Aku bahkan tidak mengerti jika harus diminta mencari jawaban dari pertanyaanku sendiri. Bicara dengan Guruku di moment-moment krusial semacam ini memang terkadang menyingkap hijab misteri. Getaran kali ini begitu sama dan persis dengan yang kurasakan waktu itu. Ketika hendak berangkat ke Palestina. Terlebih saat guruku memberikan kain Kiswah milik beliau kepada Zahra. Rasanya ada kekasyafan yang tak bisa terbaca. Ada suatu maksud dari percakapan malam ini. Tidak ada yang tahu. Hanya Allah Swt saja yang mengetahui segalanya dalam cakupan rahasia-Nya. Nuruta tiba-tiba terbangun. Tidak seperti anak lain, dia tidak langsung rewel saat terbangun dari tidurnya. Nuruta meregangkan lengan-lengan kecilnya. Kedua matanya perlahan terbuka sambil mengusap wajah dengan tangannya yang mungil. "Ah, anak ama dah bangun," Zahra mengusap kepala Nuruta. "Malam sudah sangat larut." Ucap KH. Abdulhaq. "Lihat Nuruta, dia masih begitu mengantuk. Sepertinya kalian harus segera pulang. Kasihan si kecil jika terlalu larut. Dia butuh tidur yang nyaman mengingat lusa kalian bertiga sudah akan berangkat." "Baiklah Guru, terima kasih waktu dan ilmunya malam ini. Kami izin pamit dulu. Doakan aku dan anak istriku, semoga kami mampu melaksanakan haji dengan khidmat dan kembali pulang dengan keadaan selamat, sehat wal afiat. Doa dan restumu sangat kami butuhkan." "Tak usah dipinta pun aku pasti akan mendoakan kalian," jawab KH. Abdulhaq tersenyum lebar. "Terima kasih banyak Guru atas waktu dan ilmu berharganya malam ini. Sebisa mungkin akan kami laksanakan apa yang bisa kami jalankan." Sahut Zahra. Aku, Zahra dan Nuruta lalu izin pamit pulang. Aku mencium tangan guruku, memeluk beliau dengan penuh takzim. Aroma tubuh beliau akan menjadi pengingat kerinduan selama disana nanti. Aku pun berjanji akan menemui beliau sesegera mungkin setelah pulang dari berhaji nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD